Lintas Fokus – Dalam hitungan hari, hubungan China dan Jepang kembali memanas setelah Beijing mengeluarkan peringatan perjalanan yang meminta warganya menghindari kunjungan ke Jepang. Pemicu utamanya adalah pernyataan Perdana Menteri Sanae Takaichi di parlemen tentang kemungkinan respons militer jika China menyerang Taiwan dan situasi itu dinilai mengancam kelangsungan negara.
Takaichi, yang baru resmi menjabat sebagai perdana menteri pertama perempuan dalam sejarah Jepang pada 21 Oktober 2025, dikenal berhaluan konservatif dan memiliki sikap keras terhadap Beijing. Saat menjawab pertanyaan anggota parlemen pada 7 November, ia menyatakan bahwa serangan bersenjata terhadap Taiwan dapat dikategorikan sebagai situasi yang mengancam keberlangsungan negara, yang secara hukum membuka pintu bagi penerapan hak “pertahanan kolektif” bersama sekutu seperti Amerika Serikat.
Bagi Beijing, penyebutan skenario militer secara lugas oleh seorang pemimpin Jepang dianggap provokatif. Media dan pejabat China mengecam pernyataan tersebut, menuduh Tokyo “bermain api” di isu yang dianggap sebagai inti kepentingan nasional China. Ketegangan meningkat setelah konsul jenderal China di Osaka mengunggah komentar bernada mengancam terhadap Takaichi di media sosial, yang kemudian dihapus, namun cukup untuk membuat pemerintah negeri sakura tersebut memanggil duta besar China dan melayangkan protes resmi.
Tokyo di sisi lain berusaha menegaskan bahwa posisi dasarnya tidak berubah: Jepang tetap mengakui kebijakan satu China sebagaimana tertuang dalam komunike bersama tahun 1972, namun menekankan pentingnya perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. Pemerintah di Tokyo berulang kali menambahkan bahwa pernyataan Takaichi bersifat hipotetis dan tidak dimaksudkan sebagai ancaman, meski nada dan timing-nya jelas menimbulkan kegelisahan baru di Beijing.
Dari Parlemen ke Travel Warning: Respons Keras Beijing
Respons China tidak berhenti pada protes diplomatik. Pada Jumat malam, kedutaan besar China di Jepang mengunggah pengumuman di platform WeChat yang memperingatkan warganya agar menghindari perjalanan ke Jepang “dalam waktu dekat”. Alasannya, pernyataan para pemimpin Jepang soal Taiwan disebut telah merusak suasana pertukaran antar-masyarakat dan menimbulkan “risiko signifikan terhadap keselamatan pribadi dan jiwa warga negara China di Jepang”.
Peringatan tersebut menjadi sinyal politik yang tegas. Dalam satu kalimat, Beijing mengirim pesan kepada Tokyo, Taipei, dan juga Washington bahwa setiap pembicaraan mengenai kemungkinan keterlibatan militer Jepang di Taiwan tidak akan dibiarkan lewat begitu saja. China kemudian memanggil duta besar Jepang, sementara Tokyo juga memanggil duta besar China untuk menyampaikan keberatan atas travel warning yang dinilai “tidak sejalan” dengan upaya membangun hubungan yang saling menguntungkan.
Dampak praktisnya langsung terasa. Tiga maskapai besar China, yaitu Air China, China Southern, dan China Eastern, menawarkan pengembalian dana penuh atau perubahan jadwal tanpa biaya tambahan bagi penumpang yang sudah memegang tiket ke Jepang hingga akhir tahun ini. Langkah tersebut mendorong banyak calon wisatawan menahan diri, di tengah meningkatnya narasi risiko keamanan bagi warga China di luar negeri.
Tidak hanya wisatawan jangka pendek yang disasar. Beijing juga mengirim sinyal kepada pelajar dengan mendorong warga untuk mempertimbangkan ulang rencana studi di Jepang, menyebut adanya kekhawatiran keamanan dan meningkatnya sentimen negatif terhadap orang asing. Jika arus mahasiswa China ke universitas-universitas di Jepang ikut berkurang, dampaknya bukan hanya keuangan kampus, tetapi juga ekosistem riset dan pertukaran akademik yang selama ini menjadi salah satu jembatan penting hubungan kedua negara.
Di Tokyo, pemerintah berusaha memadamkan api. Direktorat Jenderal Biro Asia dan Oseania di Kementerian Luar Negeri, Masaaki Kanai, dikabarkan akan terbang ke Beijing untuk menjelaskan bahwa komentar Takaichi tidak menandai perubahan resmi kebijakan keamanan dan meminta China menahan diri dari langkah-langkah yang semakin merusak hubungan.
Wajib Tahu:
Dalam kerangka hukum keamanan baru Jepang, istilah “situasi yang mengancam kelangsungan negara” menjadi ambang penting yang memungkinkan Pasukan Bela Diri terlibat dalam operasi militer kolektif bersama sekutu. Selama ini para pemimpin Jepang sangat jarang menyebut skenario itu secara terbuka untuk kasus Taiwan, sehingga pernyataan Takaichi terasa berbeda dan mengundang reaksi keras dari China.
Guncangan Ekonomi: Pariwisata dan Ritel Jepang Terancam
Di luar perdebatan hukum dan geopolitik, dampak paling cepat terlihat justru di lantai bursa. Di awal perdagangan Senin, saham-saham sektor pariwisata dan ritel Jepang anjlok setelah travel warning China diumumkan. Saham perusahaan kosmetik Shiseido tercatat turun sekitar 9 persen, grup department store Takashimaya lebih dari 5 persen, dan Fast Retailing, pemilik merek Uniqlo, juga terkoreksi lebih dari 4 persen.
Investor membaca sinyal yang sama: jika wisatawan China menahan diri untuk terbang ke Jepang, maka pusat perbelanjaan, destinasi wisata, hingga hotel akan merasakan pukulan langsung. China selama ini menjadi penyumbang wisatawan asing terbesar bagi Jepang, dengan pola belanja yang kuat di produk kecantikan, fesyen, dan elektronik konsumen.
Kekhawatiran itu bukannya tanpa preseden. Saat sengketa Kepulauan Senkaku pada 2012 memuncak, kunjungan wisatawan China ke Jepang dilaporkan turun sekitar seperempat dan memberikan hantaman nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Analis di Nomura Research Institute memperkirakan bahwa penurunan serupa kali ini bisa menggerus lebih dari setengah laju pertumbuhan ekonomi tahunan Jepang, jika kondisi memburuk dan berkepanjangan.
Kini bayang-bayang skenario itu kembali menghantui. Travel warning disertai manuver kapal penjaga pantai China di sekitar Kepulauan Senkaku, yang diklaim Beijing sebagai Diaoyu, menambah ketidakpastian. Kapal-kapal penjaga pantai China dilaporkan masuk ke wilayah yang dikontrol Jepang, memaksa penjaga pantai untuk mengusir mereka, sementara Taiwan mencatat peningkatan aktivitas militer China di sekitar wilayahnya.
Bagi pelaku usaha Jepang, kombinasi ketegangan geopolitik dan penurunan wisatawan ini mengingatkan bahwa ketergantungan pada pasar China membawa peluang sekaligus risiko. Di satu sisi, wisatawan dan konsumen China adalah motor penting penjualan. Di sisi lain, kebijakan politik Beijing dapat sewaktu-waktu mengerem arus turis dan belanja, seperti yang kini terlihat setelah pernyataan Taiwan dari Takaichi.
Dampak Regional: Sinyal Keras bagi Asia Timur dan Indonesia
Konflik diplomatik terbaru ini bukan hanya soal hubungan dua negara. Ia menjadi bagian dari dinamika yang lebih luas di Asia Timur, di mana Taiwan menjadi titik ketegangan utama. Dengan menyebut kemungkinan respons militer secara terbuka, mengisyaratkan bahwa krisis Taiwan tidak lagi dipandang sebagai konflik jauh di luar kepentingannya, melainkan sebagai faktor yang langsung menyentuh keamanan nasionalnya sendiri.
Bagi China, sikap tersebut berbahaya karena memperkuat persepsi bahwa Jepang semakin bergeser dari “ambiguitas strategis” menuju posisi yang lebih tegas bersama Amerika Serikat dan sekutu lain. Tidak heran jika media milik Partai Komunis menyebut pernyataan Takaichi sebagai “provokasi yang berbahaya” dan memperingatkan bahwa intervensi Jepang di Selat Taiwan dapat berujung pada kekalahan militer yang “menghancurkan”.
Indonesia dan negara ASEAN lain mungkin tidak terlibat langsung, tetapi gelombang dampaknya mudah terasa. Ketegangan di antara dua kekuatan ekonomi besar seperti China dan Jepang bisa menggoyang pasar keuangan regional, mengubah pola investasi, hingga mempengaruhi arus wisatawan di Asia. Maskapai, agen perjalanan, dan pelaku pariwisata Indonesia perlu mencermati jika wisatawan China mengalihkan destinasi ke luar Jepang, karena potensi pergeseran arus ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan.
Di sisi lain, perkembangan ini juga menggarisbawahi pentingnya stabilitas di Selat Taiwan bagi jalur perdagangan maritim yang dilalui kapal-kapal dari dan ke Indonesia. Banyak komoditas dan produk manufaktur yang dikirim melalui jalur dekat Jepang dan Taiwan. Jika ketegangan meningkat menjadi insiden militer, biaya pengiriman dan premi asuransi dapat naik, yang pada akhirnya akan dirasakan konsumen di kawasan.
Bagi publik Indonesia, drama diplomatik antara Jepang dan China ini juga membuka mata tentang bagaimana satu kalimat di parlemen dapat bertransformasi menjadi travel warning yang mengguncang bursa saham dan mengubah keputusan jutaan wisatawan. Di era keterhubungan ekonomi yang sangat dalam, pernyataan politik tidak lagi berhenti sebagai headline, tetapi langsung menyentuh bisnis, lapangan kerja, dan rencana liburan banyak orang.
Pada akhirnya, Jepang kini berada di persimpangan yang rumit: di satu sisi ingin menunjukkan ketegasan terhadap tekanan militer China di sekitar Taiwan dan Kepulauan Senkaku, di sisi lain harus menjaga kenyataan bahwa ekonomi domestiknya masih sangat diuntungkan oleh wisatawan dan investasi dari negeri tetangga yang sama. Bagaimana Takaichi menyeimbangkan dua kepentingan yang tampak berlawanan ini akan menjadi ujian besar bagi kepemimpinannya, dan akan terus diawasi pelaku pasar, pemerintah kawasan, serta masyarakat internasional dalam beberapa minggu dan bulan ke depan.
Sumber: Reuters




