Lintas Fokus – (Bencana Nasional) Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan lagi peristiwa lokal yang bisa dianggap rutin musim hujan. Data resmi yang dirilis pemerintah dan diberitakan berbagai media internasional menunjukkan bahwa hingga awal Desember 2025, sedikitnya sekitar 860 lebih orang meninggal dunia, lebih dari 500 orang masih dinyatakan hilang, dan jutaan warga terdampak di tiga provinsi di Sumatra. Ratusan ribu pengungsi tersebar di puluhan kabupaten dan kota, dengan banyak yang harus bertahan di tenda darurat, sekolah, hingga rumah ibadah yang mendadak berubah fungsi menjadi tempat penampungan.
Dampak kerusakan infrastruktur juga masif. Jembatan putus, jalan nasional tertimbun longsor, jaringan listrik dan telekomunikasi terputus di sejumlah wilayah, membuat distribusi bantuan tersendat. Pemerintah pusat merespons dengan mengerahkan TNI untuk membangun jembatan darurat Bailey, melakukan pengiriman logistik melalui udara, serta memasang instalasi air bersih portabel di beberapa titik paling parah. Namun, di lapangan masih banyak laporan warga yang mengaku tidak tersentuh bantuan selama berhari hari karena akses yang tertutup lumpur dan puing.
Tragedi banjir Sumatera ini terjadi setelah badai langka yang disebut sebagai siklon di Selat Malaka memicu hujan ekstrem selama beberapa hari. Fenomena ini dinilai para ahli sebagai bentuk baru risiko iklim di kawasan yang sebelumnya relatif jarang diterjang siklon tropis. Kombinasi hujan lebat, deforestasi di daerah aliran sungai, serta tata ruang yang tidak disiplin membuat air meluap tanpa kendali, membawa material kayu, lumpur, dan batu ke permukiman penduduk.
Di tengah skala bencana yang sedemikian besar, tuntutan agar banjir Sumatera segera ditetapkan sebagai Bencana Nasional terus menguat. Organisasi masyarakat sipil, pemuka agama, hingga beberapa pakar kebencanaan menyampaikan bahwa kapasitas pemerintah daerah sudah jebol dan memerlukan orkestrasi nasional secara penuh. Namun sampai artikel ini ditulis, pemerintah menegaskan bahwa status Bencana Nasional belum diperlukan dan penanganan tetap berada dalam kerangka darurat provinsi dengan dukungan pusat.
Aturan Main Penetapan Bencana Nasional di Indonesia
Untuk memahami kenapa banjir Sumatera belum berstatus Bencana Nasional, kita perlu mundur sejenak ke kerangka hukum yang berlaku. Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa penetapan status dan tingkat bencana dilakukan dengan mempertimbangkan lima indikator utama: jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, luas wilayah terdampak, serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Selain itu, kemampuan pemerintah daerah dalam menangani bencana juga menjadi pertimbangan penting. Jika dampak bencana melampaui kapasitas daerah dan memerlukan intervensi penuh pemerintah pusat, barulah status dapat dinaikkan menjadi Bencana Nasional.
Kewenangan penetapan Bencana Nasional ada di tangan Presiden. Presiden akan mempertimbangkan rekomendasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kementerian teknis, serta pemerintah provinsi terdampak. Pedoman internal BNPB menegaskan bahwa status ini bukan sekadar label, melainkan pintu masuk bagi restrukturisasi komando penanganan darurat, percepatan penganggaran, kemudahan mobilisasi alat berat, hingga kemudahan bantuan internasional yang lebih luas.
Sejak aturan tersebut berlaku, hanya sedikit peristiwa yang naik menjadi Bencana Nasional. Berbagai publikasi hukum dan catatan media mencatat tiga contoh utama: gempa dan tsunami Flores 1992, tsunami Aceh 2004, serta pandemi Covid 19. Pada tsunami Aceh misalnya, korban jiwa di Indonesia menembus lebih dari 170 ribu orang dengan kerusakan total di hampir seluruh sektor kehidupan masyarakat. Bencana sebesar ini secara jelas jauh melampaui kemampuan pemerintah daerah, sehingga Presiden ketika itu menerbitkan Keputusan Presiden yang sekaligus menetapkan hari berkabung nasional.
Artinya, Bencana Nasional dalam konteks Indonesia adalah status yang sangat jarang dipakai dan lebih merupakan instrumen politik hukum yang ekstraordinari. Banyak bencana besar lain seperti gempa Palu, gempa Lombok, maupun banjir bandang di daerah lain yang ditangani tanpa cap Bencana Nasional, meski kerusakan dan korban juga besar. Inilah konteks penting ketika publik mempertanyakan mengapa banjir Sumatera yang merenggut ratusan korban jiwa belum memperoleh status serupa.
Kenapa Banjir Sumatera Belum Dianggap Bencana Nasional?
Pertanyaan besar publik adalah: jika korban banjir Sumatera sudah ratusan dan jutaan orang terdampak, mengapa status Bencana Nasional belum juga keluar? Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto menjelaskan bahwa indikator skala korban dan tingkat kesulitan akses ke lokasi bencana menjadi faktor kunci. Menurutnya, walaupun angka korban sangat tinggi, pengelolaan logistik dan operasi SAR masih dinilai bisa ditangani melalui status darurat di tingkat provinsi dengan dukungan penuh pemerintah pusat.
Istana melalui sejumlah pejabat juga menyampaikan argumen senada. Ketua MPR RI Ahmad Muzani, misalnya, menyatakan bahwa pemerintah pusat bersama pemerintah daerah masih dapat mengendalikan situasi sehingga belum ada kebutuhan mendesak untuk menetapkan darurat Bencana Nasional. Presiden Prabowo Subianto sendiri dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa pemerintah sudah mengerahkan TNI, Polri, dan berbagai kementerian untuk mempercepat penanganan, mulai dari membangun jembatan darurat, pengiriman logistik udara, hingga penyediaan hunian sementara.
Dari sisi akademisi, ada pandangan yang berbeda. Pakar kebencanaan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menilai bahwa secara teknis, status Bencana Nasional belum dianggap diperlukan karena pemerintah daerah masih bisa bekerja dan struktur pemerintahan di tingkat provinsi maupun kabupaten tidak lumpuh total. Namun pakar hukum lingkungan yang diwawancarai media hukum menilai sebaliknya: melihat jumlah korban, luas wilayah, dan kerusakan ekonomi, banjir Sumatera secara substansi sudah memenuhi kriteria Bencana Nasional menurut UU 24/2007.
Di luar perdebatan teknis, ada faktor lain yang kerap disorot pengamat, yaitu konsekuensi politik dan fiskal dari status Bencana Nasional. Penetapan status ini berpotensi mengubah prioritas anggaran, membuka ruang audit dan evaluasi yang lebih ketat, serta menempatkan pemerintah pusat di garis depan tanggung jawab. Sebagian pihak menduga kehati hatian ini ikut mempengaruhi lambatnya keputusan, meski pemerintah tetap menyangkal bahwa pertimbangan politik menjadi faktor utama.
Wajib Tahu:
Sejak reformasi kebencanaan modern dan lahirnya UU 24/2007, hanya segelintir peristiwa yang berstatus Bencana Nasional, sementara ratusan bencana lain berskala besar ditangani tanpa label tersebut.
Apa Dampaknya Jika Banjir Sumatera Tidak Segera Jadi Bencana Nasional?
Pertanyaan berikutnya yang tak kalah penting adalah: apa arti praktis bagi masyarakat ketika banjir Sumatera belum dinaikkan menjadi Bencana Nasional? Dari sisi regulasi, pemerintah berargumentasi bahwa bantuan pusat tetap bisa turun meski statusnya hanya darurat provinsi. Hal ini terbukti dengan pengiriman anggaran, logistik, dan personel dari berbagai kementerian dan lembaga ke Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Dengan kata lain, menurut pemerintah, absennya label Bencana Nasional tidak otomatis menghambat penanganan.
Namun dari perspektif tata kelola, status Bencana Nasional membawa beberapa implikasi penting. Pertama, koordinasi komando penanganan darurat akan langsung berada di bawah Presiden, sehingga kebijakan lintas kementerian lebih mudah diputuskan. Kedua, mobilisasi sumber daya skala besar, termasuk permintaan bantuan internasional, cenderung lebih cepat karena ada payung hukum yang jelas. Ketiga, status ini memperkuat posisi korban untuk menuntut pemulihan pascabencana yang lebih menyeluruh, termasuk relokasi, rehabilitasi infrastruktur, dan pemulihan ekonomi jangka panjang.
Sejumlah analis kebijakan publik menilai bahwa tanpa status Bencana Nasional, ada risiko penanganan banjir Sumatera terfragmentasi dalam berbagai skema program kementerian yang berjalan sendiri sendiri. Padahal, kerusakan yang terjadi mencakup rumah penduduk, fasilitas kesehatan, sekolah, jalan nasional, hingga jaringan listrik dan telekomunikasi yang saling terhubung. Tanpa orkestrasi nasional yang kuat, proses pemulihan bisa memakan waktu jauh lebih lama dan meninggalkan banyak kelompok rentan yang tertinggal.
Di sisi lain, bencana ini juga membuka kembali diskusi lama tentang tata ruang dan deforestasi di Sumatra. Pakar dari UMY mengingatkan bahwa kerusakan daerah aliran sungai, alih fungsi hutan, dan kapasitas drainase yang tidak memadai membuat hujan ekstrem berubah menjadi bencana berantai. Jika hanya fokus pada penanganan darurat tanpa mengubah kebijakan tata ruang, risiko bencana serupa bahkan yang lebih besar akan terus menghantui, berapa pun status yang nanti dipilih, apakah Bencana Nasional atau bukan.
Pada akhirnya, perdebatan mengenai status Bencana Nasional untuk banjir Sumatera tidak bisa dipisahkan dari rasa keadilan masyarakat yang menyaksikan angka korban terus bertambah. Fakta bahwa baru beberapa peristiwa dalam sejarah Indonesia yang menyandang label ini membuat publik bertanya, apakah standar yang digunakan pemerintah terlalu tinggi atau justru tidak transparan. Di tengah derita pengungsi yang kehilangan rumah dan mata pencaharian, kejelasan sikap negara menjadi hal yang sangat dinanti.
Sumber: Reuters




