26 C
Jakarta
Friday, December 19, 2025
HomeNasionalKontroversi Bencana Nasional: Banjir Sumatera “Terkendali”, Benarkah?

Kontroversi Bencana Nasional: Banjir Sumatera “Terkendali”, Benarkah?

Date:

Related stories

Fakta Pahit Banjir Sumatera: Kok Belum Jadi Bencana Nasional?

Lintas Fokus - (Bencana Nasional) Banjir dan longsor yang...

Banjir Sumatera Menggila: Fakta Mengerikan yang Wajib Kamu Cek Hari Ini

Lintas Fokus - Dalam beberapa hari terakhir, publik Indonesia...

Manuver Mengejutkan: Hotman Paris Tersingkir dari Panggung Hukum Nadiem

Lintas Fokus - Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook...

Tragedi Alvaro: Fakta Mengerikan di Balik Hilangnya Sang Bocah

Lintas Fokus - Kasus Alvaro Kiano Nugroho mengoyak hati...

Alarm Serius TPPO Kamboja: Sinyal Bahaya dari Krisis Kerja di Indonesia

Lintas Fokus - Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang...
spot_imgspot_img

Lintas Fokus Isu Bencana Nasional kembali menjadi kata kunci yang menyulut perdebatan publik, kali ini terkait banjir dan longsor besar di Sumatera. Di ruang percakapan masyarakat, satu pertanyaan menonjol: ketika korban besar, wilayah luas terdampak, dan proses pemulihan diproyeksikan memakan waktu lama, apakah status Bencana Nasional seharusnya segera ditetapkan?

Namun, pernyataan pejabat publik justru mengarahkan perhatian pada hal lain: negara mengakui bencana itu serius, tetapi menilai situasi tetap terkendali dan penanganan berjalan dengan kekuatan pemerintah pusat serta daerah. Dalam pengantar Sidang Kabinet Paripurna, Presiden menyebut ada dorongan agar peristiwa ini dinyatakan Bencana Nasional, lalu menegaskan bahwa wilayah terdampak berada di tiga provinsi dari total 38 provinsi, sehingga situasinya “terkendali” dan terus dimonitor. Presiden juga menekankan pemerintah sudah mengerahkan sumber daya besar dan menyiapkan skema rehabilitasi dan rekonstruksi.

Di titik inilah pembaca perlu memisahkan dua hal yang sering tercampur: “bencana besar” dan “status Bencana Nasional” tidak selalu identik. Penetapan status bukan sekadar soal emosi publik, melainkan soal indikator, kewenangan, dan konsekuensi kebijakan.

Wajib Tahu:

Penetapan status darurat bencana skala nasional secara hukum merupakan kewenangan Presiden, sementara provinsi oleh gubernur dan kabupaten/kota oleh bupati atau wali kota. Artinya, dorongan status Bencana Nasional selalu berujung pada satu simpul: keputusan politik dan administratif di tingkat pusat, bukan sekadar opini warganet.

Mengapa Status Bencana Nasional Jadi Perdebatan?

Perdebatan status Bencana Nasional biasanya muncul ketika publik melihat tiga hal sekaligus: korban meningkat, infrastruktur lumpuh, dan pemulihan diperkirakan panjang. Dalam bencana Sumatera ini, Presiden sendiri menyampaikan bahwa proses kembali normal tidak realistis diselesaikan dalam hitungan hari, bahkan menyebut kemungkinan butuh 2 sampai 3 bulan agar aktivitas benar-benar normal.

Di sisi lain, data awal yang dirilis BNPB pada fase tanggap darurat menunjukkan skala dampak yang berat. Dalam pembaruan BNPB per 1 Desember 2025 pukul 17.00 WIB, tercatat ratusan korban meninggal, ratusan hilang, ribuan luka-luka, dan ratusan ribu mengungsi di wilayah terdampak. Angka-angka seperti ini sangat mudah memantik dorongan publik agar status dinaikkan menjadi Bencana Nasional, karena istilah itu terasa seperti “tombol percepatan” bantuan.

Tetapi di lapangan, pemerintah dapat mengerahkan kekuatan nasional tanpa harus menempelkan label Bencana Nasional terlebih dahulu. Presiden merinci pengerahan puluhan ribu personel, puluhan helikopter, belasan pesawat, pengiriman alat berat, pembangunan jembatan bailey, hingga rencana pembangunan ribuan rumah yang mulai dikerjakan cepat. Inilah argumen yang sering dipakai pejabat: negara hadir, logistik bergerak, dan sistem komando berjalan, sehingga status Bencana Nasional dinilai tidak otomatis menjadi prasyarat respons besar-besaran.

Apa Kata Presiden dan Pemerintah Pusat?

Pernyataan pejabat publik paling tegas terkait isu Bencana Nasional datang langsung dari Presiden. Dalam forum kabinet, Presiden mengatakan ada pihak yang “teriak-teriak” meminta agar dinyatakan Bencana Nasional, lalu menegaskan kembali bahwa bencana berada di tiga provinsi dan situasi terkendali, serta pemerintah memonitor terus sambil menyiapkan badan atau satgas rehabilitasi dan rekonstruksi.

Poin pentingnya bukan hanya soal menolak atau menerima label, melainkan narasi yang dipilih pemerintah: penanganan dipresentasikan sebagai operasi negara yang sudah berjalan, bukan respons yang menunggu perubahan status. Presiden bahkan menyebut adanya tawaran bantuan dari pemimpin negara lain, tetapi ia menyampaikan Indonesia mampu menangani krisis tersebut.

Sementara itu, Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto juga menjelaskan bahwa bencana di tiga provinsi tersebut masih berstatus bencana daerah tingkat provinsi, serta mengingatkan bahwa sejarah Indonesia sangat jarang menetapkan Bencana Nasional. Ia menyebut yang pernah ditetapkan sebagai bencana nasional antara lain Covid-19 dan tsunami 2004, sedangkan banyak bencana besar lain tidak otomatis menyandang status itu.

Jika Anda mengejar inti “fakta dari pernyataan pejabat publik”, maka garis besarnya jelas: pemerintah pusat menilai respons nasional sudah berlangsung, koordinasi berjalan, dan alasan “terkendali” digunakan untuk menjawab tuntutan Bencana Nasional.

Kriteria Resmi Penetapan dan Dampaknya

Secara hukum, status dan tingkat bencana nasional maupun daerah memuat indikator yang meliputi: jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah terdampak, serta dampak sosial ekonomi. Ini tercantum dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Lalu, siapa yang berwenang menetapkan status darurat bencana skala nasional? Dalam ketentuan penetapan status darurat bencana, skala nasional dilakukan oleh Presiden. Ini mengunci perdebatan ke satu realitas: status Bencana Nasional bukan “naik otomatis” hanya karena bencana besar, melainkan keputusan yang mempertimbangkan indikator dan kemampuan penanganan.

Dari sisi dampak kebijakan, penetapan Bencana Nasional sering diasosiasikan publik dengan akses dukungan yang lebih luas, percepatan koordinasi lintas lembaga, dan legitimasi komando nasional yang lebih kuat. Namun praktiknya, sebagian instrumen itu bisa tetap berjalan di bawah status bencana daerah ketika pemerintah pusat mengerahkan sumber daya dan mendukung anggaran, seperti yang dirinci Presiden: pengiriman dana operasional ke pemerintah daerah, pengerahan personel, hingga percepatan pembangunan hunian.

Dengan kata lain, label Bencana Nasional bukan satu-satunya cara untuk “membesarkan” respons negara. Ia lebih tepat dipahami sebagai keputusan tata kelola yang membawa konsekuensi administratif dan koordinatif, bukan sekadar cap yang menambah simpati.

Prediksi Arah Kebijakan: Naik Status atau Fokus Pemulihan?

Melihat nada pernyataan pejabat publik, arah kebijakan saat ini cenderung fokus pada pemulihan cepat ketimbang perubahan label. Presiden berbicara soal pembentukan satgas atau badan rehabilitasi dan rekonstruksi, pembangunan hunian sementara dan hunian tetap, serta target konkret seperti ribuan rumah mulai dibangun. Dari sudut komunikasi publik, ini memberi sinyal bahwa pemerintah ingin publik mengukur keberhasilan dari output pemulihan, bukan dari status Bencana Nasional.

Namun, ada satu faktor yang bisa mengubah dinamika: pembaruan data korban dan kerusakan. Reuters melaporkan bahwa per 15 Desember 2025, jumlah korban jiwa mencapai lebih dari seribu dan ratusan orang masih hilang berdasarkan data resmi, serta biaya rekonstruksi diproyeksikan besar. Jika angka resmi terus meningkat dan beban pemulihan melampaui kemampuan daerah secara nyata, tekanan untuk opsi Bencana Nasional bisa naik lagi, terutama dari sisi kebutuhan pengambilan keputusan lintas kementerian dan konsolidasi anggaran.

Untuk pembaca Indonesia yang sedang mengikuti isu ini demi kepastian informasi, pegangan paling aman adalah dua hal: pertama, rekam jejak pernyataan pejabat publik yang menekankan “terkendali” dan “mampu ditangani”; kedua, indikator hukum yang memang memberi ruang penetapan Bencana Nasional tetapi tidak menjadikannya otomatis. Pada akhirnya, publik berhak kritis, tetapi kritik paling kuat selalu lahir dari data resmi, dasar hukum, dan evaluasi transparan tentang kecepatan pemulihan di lapangan.

Sumber: Reuters

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img