26.8 C
Jakarta
Monday, December 8, 2025
HomeOpiniBencana Jadi Panggung? Bongkar Drama Pejabat di Tengah Derita

Bencana Jadi Panggung? Bongkar Drama Pejabat di Tengah Derita

Date:

Related stories

“Makan Gratis, Rasa Cemas”: Saat Alarm Publik Menyalakan Sirene Hak Asasi

Lintas Fokus - Dalam beberapa pekan terakhir, ribuan siswa...

Jokowi Resmi Masuk “Panggung Global”: Momentum Berharga atau Cermin Masalah Lama?

Lintas Fokus - Ketika Bloomberg New Economy mengumumkan jajaran...

Keracunan MBG Meledak di Mana-mana, Evaluasi Masih Pelan: Siapa Bertanggung Jawab?

Lintas Fokus - Gelombang Keracunan MBG beberapa pekan terakhir...

Tim Reformasi Polri di Cermin: Siapa Menunjuk Siapa?

Lintas Fokus - Mari kita telisik dengan kening berkerut...

“Tot tot wuk wuk” di Jalan: Saatnya Berhenti Menoleransi Privilege Palsu

Lintas Fokus - Gelombang kegelisahan publik memuncak. Di banyak...
spot_imgspot_img

Lintas Fokus Secara geografis, Indonesia memang rumah tetap bagi Bencana. Kementerian Pertahanan menyebut posisi Indonesia di cincin api Pasifik, pertemuan beberapa lempeng tektonik, serta iklim tropis membuat negeri ini akrab dengan gempa, tsunami, letusan gunung api, banjir, dan longsor sepanjang tahun. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mempertegas kenyataan itu: sepanjang 2024 tercatat 3.472 kejadian Bencana dengan 540 orang meninggal, 63 hilang, 11.531 luka luka, dan lebih dari 8,1 juta orang terdampak serta mengungsi.

Memasuki 2025, ritme belum juga melambat. Katadata yang mengolah data BNPB mencatat, sejak 1 Januari sampai 28 November 2025 sudah terjadi 2.942 Bencana di Indonesia, hampir separuhnya adalah banjir, disusul cuaca ekstrem dan kebakaran hutan maupun lahan. Puncaknya, dunia menyaksikan banjir dan longsor dahsyat di Sumatra yang dipicu siklon langka, menewaskan lebih dari 800 orang dan jutaan warga terdampak di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Angka angka ini cukup untuk membuat siapa pun terdiam. Namun di atas puing rumah, tenda pengungsian, dan lumpur yang belum kering, ada satu panggung lain yang hampir selalu ikut berdiri: panggung milik para pejabat publik. Di sana, kamera berbaris rapi, rombongan protokoler membuka jalan, dan rompi bertuliskan jabatan tiba lebih cepat daripada sebagian bantuan logistik.

Tempo, misalnya, sampai menurunkan laporan khusus mengenai “serba serbi isu pejabat cari panggung di tengah banjir Sumatera” yang mengulas perdebatan publik soal motif kunjungan para politisi ke lokasi banjir. Di media sosial, istilah wisata Bencana kembali jadi bahan obrolan, lengkap dengan foto dan video kunjungan yang dipersoalkan warganet.


Politik Bencana di Layar Kamera

Fenomena Bencana yang berubah menjadi panggung sebenarnya bukan kabar baru di Indonesia. Setiap kali kejadian besar, pola yang muncul sering terasa mirip. Sirene mobil dinas mengantar rombongan pejabat, sesi konferensi pers digelar di depan tenda pengungsian, dan kamera televisi pun menyiarkan gambar pejabat memeluk anak kecil, membagi selimut, atau berdiri di samping tumpukan bantuan dengan logo jelas menghadap lensa.

Di tengah Bencana kebakaran hutan dan kabut asap beberapa tahun lalu, misalnya, publik sempat dihebohkan pernyataan politisi Fadli Zon yang menyebut kunjungan Presiden Jokowi ke hutan terbakar sebagai wisata. Istilah itu kemudian hidup lama, menjadi kata kunci setiap kali ada kunjungan pejabat ke lokasi yang dinilai lebih penuh simbol dibanding solusi.

Perdebatan tidak berhenti di sana. Tulisan dan khotbah publik tentang krisis kepemimpinan di balik panggung Bencana bermunculan, menyoroti bagaimana penderitaan warga bisa berubah menjadi latar dekoratif bagi pidato dan foto bersama. Tirto bahkan menyoroti bagaimana praktik wisata Bencana pernah menjadi bahasan serius, karena lokasi Bencana dan tragedi kemanusiaan kerap dijadikan objek kunjungan yang samar batasnya antara edukasi dan eksploitasi.

Dalam konteks banjir Sumatra 2025, isu serupa muncul lagi. Tempo menulis tentang tudingan sebagian publik bahwa sebagian kunjungan pejabat ke lokasi banjir lebih mirip panggung pencitraan, sementara pihak yang dikritik menolak label tersebut dan menyebut kunjungan itu sebagai bentuk empati dan koordinasi langsung. Pada level data, BNPB sedang menghitung korban tewas dan hilang, sementara pada level wacana, publik menghitung berapa lama kamera bertahan di lokasi setelah rombongan meninggalkan tenda pengungsian.

Di atas kertas, kunjungan pejabat diperlukan untuk memastikan koordinasi, mengecek langsung kebutuhan korban, serta mengirim sinyal bahwa negara hadir. Namun di lapangan, kualitas kunjungan itulah yang dipertanyakan: apakah Bencana benar benar diperlakukan sebagai situasi darurat, atau sekadar latar belakang bagi narasi bekerja keras yang ditata untuk siaran berita malam.

Wajib Tahu:

Beberapa kajian komunikasi politik di Indonesia mencatat bahwa kehadiran pejabat di lokasi Bencana sering dibingkai sebagai bukti kepemimpinan, sementara efektivitas penanganan justru lebih ditentukan oleh kesiapan sistem, anggaran mitigasi, dan koordinasi teknis yang jarang muncul di layar TV.


Bencana dan Seni Pencitraan Pejabat Publik

Salah satu alasan mengapa Bencana begitu menggoda sebagai panggung adalah karena ia menghadirkan drama lengkap dalam satu bingkai: air mata, tenda sobek, anak kecil yang digendong prajurit, dan latar yang cukup kuat untuk menciptakan kesan kepemimpinan tegas sekaligus penuh belas kasih. Dalam situasi seperti ini, pejabat yang tampil di garis depan dengan rompi, sepatu boots, dan wajah serius mendapatkan ruang siar gratis di berbagai kanal media.

Catatan Tempo tentang banjir Sumatera menunjukkan bagaimana kunjungan partai dan pejabat ke lokasi banjir langsung memicu tudingan mencari panggung, sementara pihak terkait berusaha menjelaskan bahwa mereka sekadar menunaikan kewajiban moral. Di sisi lain, pengamat dan aktivis lingkungan mengingatkan bahwa panggung Bencana ini sering melupakan pertanyaan yang jauh lebih penting: mengapa tata ruang dibiarkan semrawut, kenapa pengawasan terhadap pembukaan lahan dan perusakan daerah aliran sungai begitu lemah, dan kenapa anggaran mitigasi kalah seksi dibanding proyek infrastruktur yang fotonya lebih mudah dijual di baliho.

Ketika banjir dan longsor di Sumatra menewaskan ratusan orang dan memaksa lebih dari satu juta warga mengungsi, lembaga internasional seperti Reuters dan media Eropa menyoroti juga faktor deforestasi dan penataan ruang yang buruk sebagai faktor pemberat. Di dalam negeri, diskusi mengenai Bencana tidak hanya soal berapa banyak bantuan yang dikirim, tetapi juga seberapa serius pemerintah menutup keran izin yang membuat lereng gundul dan daerah resapan air berubah menjadi kebun atau permukiman.

Ironisnya, di tengah penderitaan yang nyata, Bencana tetap menghadirkan traffic, rating, dan klik. Foto pejabat yang sedang menyeka keringat di lumpur, video berdurasi tiga puluh detik yang menampilkan pembagian paket sembako dengan kardus penuh logo, hingga potongan pernyataan bahwa negara selalu hadir, semuanya berseliweran di lini masa warganet. Bencana menjadi kata kunci yang menjual, dan di atasnya berdiri seni pencitraan yang semakin halus.


Jalan Keluar Dari Politik Panggung Bencana

Pertanyaannya, apakah publik harus pasrah melihat terus menjadi panggung yang sama dari tahun ke tahun. Di satu sisi, kita memang membutuhkan kehadiran pejabat di lokasi Bencana sebagai penanggung jawab anggaran dan kebijakan. Di sisi lain, tanpa tekanan publik yang sehat, sulit berharap panggung berubah menjadi ruang kerja yang sungguh sungguh, bukan sekadar latar foto.

Beberapa organisasi masyarakat sipil dan akademisi mendorong perubahan cara pandang terhadap Bencana. Mereka menekankan pentingnya transparansi data, penguatan anggaran mitigasi, serta penilaian kinerja pejabat berdasarkan indikator yang jelas seperti kecepatan respon, jumlah korban yang diselamatkan, hingga keberhasilan mengurangi risiko di masa berikutnya. Media pun didorong untuk tidak hanya menyiarkan gambar dramatis, tetapi juga secara konsisten mengawasi tindak lanjut setelah kamera dimatikan.

Pada saat yang sama, publik mulai lebih kritis membaca gestur pejabat di tengah Bencana. Istilah seperti wisata, panggung, dan pencitraan di lokasi muncul bukan dari ruang kosong, melainkan dari akumulasi pengalaman warga yang merasa lebih sering menjadi latar, bukan subjek utama dalam kebijakan penanggulangan Bencana.

Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari rangkaian Bencana beberapa tahun terakhir, khususnya banjir besar di Sumatra 2025, mungkin inilah saatnya menggeser fokus. Pejabat yang datang ke lokasi seharusnya dinilai bukan dari seberapa sering tampil di layar, tetapi seberapa jauh kebijakan yang ia dorong sebelum Bencana terjadi, dan seberapa sistematis pemulihan yang ia kawal setelah Bencana berlalu. Tanpa itu, panggung akan terus berdiri, sementara penontonnya adalah jutaan korban yang tidak pernah diminta pendapat saat tirai politik ditutup.

Sumber: Katadata

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img