Lintas Fokus – Nama Dewi Astutik sudah lama beredar di lingkaran penegak hukum Indonesia sebagai salah satu buronan paling dicari dalam kasus narkotika. Perempuan 43 tahun asal Ponorogo, Jawa Timur, itu disebut Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai otak penyelundupan dua ton sabu yang nilainya diperkirakan mencapai sekitar Rp5 triliun. Kasus besar ini terungkap setelah aparat menggagalkan pengiriman sabu di kapal MT Sea Dragon Tarawa di perairan Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, pada Mei 2025.
Dalam sejumlah keterangan resmi, BNN menjelaskan bahwa Dewi Astutik berperan pada level pengendali. Ia tidak muncul sebagai eksekutor di lapangan, tetapi diduga kuat mengatur alur pendanaan, logistik, hingga komunikasi lintas negara untuk jaringan sindikat yang beroperasi di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara.
Jejak Dewi Astutik sendiri sudah diikuti cukup lama. Situs resmi Polri menyebut, ia pernah terdata sebagai pekerja migran yang sudah bertahun-tahun menetap di luar negeri dan diduga mulai membangun jaringan bisnis gelapnya dari sana. Bahkan, ia disinyalir memakai identitas milik adik kandungnya sebagai dokumen resmi untuk mengelabui aparat.
Dari analisis BNN, nama Dewi Astutik kemudian dihubungkan dengan beberapa orang WNI yang lebih dulu tertangkap bersama muatan sabu dalam jumlah besar di kapal tersebut. Kepala BNN saat itu, Komjen Marthinus Hukom, secara terbuka menyebut bahwa Dewi termasuk figur puncak dalam struktur jaringan yang dikendalikan.
Peran Dewi Astutik sebagai pemain besar makin jelas ketika BNN memetakan koneksi jaringan Golden Triangle, salah satu wilayah paling rawan produksi dan distribusi narkotika di dunia yang mencakup Myanmar, Laos, dan Thailand. Dalam pemaparan terbaru, Kepala BNN RI Komjen Suyudi Ario Seto menyebut hanya ada dua nama utama asal Indonesia yang mendominasi kawasan tersebut, yaitu Fredy Pratama dan Dewi Astutik.
Operasi Senyap Penangkapan Dewi Astutik
Setelah lama berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO) BNN dan masuk red notice Interpol, buruan atas Dewi Astutik akhirnya berujung di Sihanoukville, Kamboja. BNN menjelaskan, titik terang operasi muncul pada 17 November 2025 ketika intelijen mendeteksi pergerakan target di negara tersebut. Informasi itu segera ditindaklanjuti lewat koordinasi intensif dengan Atase Pertahanan RI, BAIS TNI, KBRI Phnom Penh, dan otoritas keamanan Kamboja.
Tim BNN bergerak ke Phnom Penh pada 30 November untuk mematangkan operasi. Setelah aspek diplomatik dan legal terpenuhi, eksekusi dilakukan pada Senin 1 Desember 2025 sekitar pukul 13.39 waktu setempat di area lobi sebuah hotel di Sihanoukville. Dalam rilis resmi, BNN menyebut Dewi Astutik diamankan saat turun dari mobil Toyota Prius putih bersama seorang pria yang kini juga sedang didalami keterkaitannya. Penangkapan berlangsung cepat, tanpa tembakan, dan langsung dilanjutkan dengan proses verifikasi identitas.
Sesaat setelah itu, Dewi Astutik dibawa ke Phnom Penh untuk proses administratif sebelum dipulangkan ke Indonesia. Kepala BNN menegaskan bahwa operasi ini adalah contoh nyata sinergi lintas lembaga: BNN, BAIS TNI, Kepolisian Kamboja, KBRI Phnom Penh, Interpol, hingga instansi lain seperti Bea Cukai dan Kementerian Luar Negeri.
Penangkapan ini juga sekaligus menunjukkan bahwa pelarian lintas negara bukan lagi “zona aman” bagi buronan kasus narkoba kelas kakap. BNN mengingatkan, red notice yang sudah diterbitkan sejak 2024 membuat ruang gerak Dewi Astutik semakin sempit, hingga akhirnya tertangkap lewat operasi senyap di Kamboja.
Wajib Tahu:
BNN menyebut penyelundupan dua ton sabu yang dikaitkan dengan Dewi Astutik berpotensi menjerat sekitar delapan juta jiwa jika peredaran barang haram itu tidak digagalkan, angka yang menggambarkan skala ancaman jaringan ini bagi Indonesia.
Peran Jaringan dan Dampak bagi Perang Narkoba
Setelah Dewi Astutik ditangkap di Kamboja, fokus penegak hukum tidak berhenti pada sosok individu. BNN secara terbuka menjelaskan bahwa Dewi diduga menjadi rekrutor jaringan narkoba lintas benua yang beroperasi dari Asia Timur, Asia Tenggara, hingga Afrika. Ia juga dilaporkan sebagai buronan otoritas Korea Selatan, sehingga proses penanganan perkaranya berpotensi menyentuh kerja sama penegakan hukum di lebih dari dua negara.
Liputan6 dan sejumlah media nasional menggarisbawahi bahwa Dewi Astutik dikenal di lingkungan jaringan sebagai “Mami” atau menggunakan beberapa alias lain. Perannya tidak sekadar menyalurkan barang, melainkan mengatur alur pendanaan, memanfaatkan jalur laut dan darat, serta menghubungkan pemasok di Golden Triangle dengan pasar di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Jaringan yang dikaitkan dengan Dewi disebut bukan hanya bermain di sabu. Beberapa laporan menyebut jejaring ini juga menyentuh peredaran kokain dan ketamin, dengan pasar utama di Asia Timur dan Asia Tenggara. Dengan skala operasi sebesar itu, penangkapan satu figur kunci diharapkan memudahkan BNN memetakan alur uang, aset, hingga nama nama lain yang selama ini berada di balik layar.
Kepala BNN dalam sejumlah kesempatan menegaskan bahwa keberhasilan mengungkap kasus dua ton sabu merupakan salah satu pengungkapan terbesar dalam sejarah Indonesia. Namun ia juga mengingatkan bahwa perang terhadap narkoba bukan hanya soal jumlah barang sitaan, melainkan juga isu kemanusiaan, mengingat jutaan orang bisa terdampak jika jaringan seperti yang diduga dikendalikan Dewi Astutik tidak segera diputus.
Di sisi lain, publik juga disodori fakta bahwa Dewi Astutik memulai kariernya sebagai pekerja migran. Cerita ini menjadi pengingat bahwa jalur perekrutan jaringan narkoba kerap masuk melalui celah ekonomi dan kerentanan sosial, terutama di wilayah yang warganya banyak bekerja ke luar negeri. Aparat mengingatkan, pencegahan harus menyentuh aspek edukasi dan perlindungan pekerja migran agar mereka tidak dijadikan tameng oleh sindikat.
Respons Publik, Proses Hukum, dan PR Pemerintah
Penangkapan Dewi Astutik di Kamboja memicu respons luas di Indonesia. Di Ponorogo, warga mengaku mengenal sosok yang fotonya beredar sebagai “PA”, tetapi banyak yang terkejut ketika namanya dikaitkan dengan jaringan narkoba internasional. Sebagian warga bahkan menyebut baru menyadari skala kasus ini setelah BNN mengumumkan nilai barang bukti yang mencapai Rp5 triliun.
Secara resmi, BNN menyatakan bahwa Dewi Astutik akan menjalani pemeriksaan intensif di Indonesia untuk menelusuri aliran dana, aset, dan keterlibatan pihak lain, termasuk kemungkinan kaitan lebih jauh dengan gembong narkoba Fredy Pratama. Pemeriksaan ini menjadi kunci untuk memastikan apakah penangkapan satu tokoh besar benar benar diikuti dengan pemutusan jaringan hingga ke level paling bawah.
Bagi pemerintah, kasus ini menjadi alarm bahwa kerja sama internasional bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Tanpa dukungan KBRI Phnom Penh, BAIS TNI, Kepolisian Kamboja, dan Interpol, operasi terhadap Dewi Astutik hampir pasti akan jauh lebih rumit. Penangkapan di Sihanoukville menunjukkan bahwa pendekatan diplomatik yang kuat dapat berjalan seiring dengan operasi penindakan yang tegas.
Di sisi lain, publik juga diingatkan untuk tetap menjunjung asas praduga tak bersalah. Meski BNN menyebut Dewi Astutik sebagai aktor utama penyelundupan dua ton sabu, pembuktian tetap akan dilakukan di pengadilan. Proses peradilan yang transparan dan akuntabel menjadi bagian penting dari upaya memutus jaringan sekaligus menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
Ke depan, ujian terbesar bagi pemerintah bukan hanya memastikan Dewi Astutik dan jaringan terdekatnya mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum, tetapi juga memperkuat sistem pencegahan. Mulai dari pengawasan pelabuhan dan perbatasan, penguatan kerja sama intelijen, hingga edukasi masyarakat mengenai bahaya narkoba dan pola perekrutan sindikat. Penangkapan di Kamboja baru langkah besar pertama, sedangkan tantangan sesungguhnya adalah mencegah lahirnya “Dewi Astutik” berikutnya di masa depan.
Sumber: Liputan 6
