Lintas Fokus – Avatar kembali ke layar lebar, kali ini lewat bab ketiga yang diberi judul Avatar: Fire and Ash. Film ini disutradarai James Cameron, dengan naskah yang ia tulis bersama Rick Jaffa dan Amanda Silver, dan diproduksi oleh Lightstorm Entertainment serta didistribusikan oleh 20th Century Studios. Fire and Ash menjadi sekuel langsung Avatar: The Way of Water (2022) dan melanjutkan kisah keluarga Sully di Pandora dengan konflik yang jauh lebih gelap dan emosional.
Film berdurasi sekitar 197 menit ini sudah menjalani world premiere di Dolby Theatre, Hollywood, pada 1 Desember 2025 dan dijadwalkan rilis di bioskop Amerika Serikat pada 19 Desember 2025, dengan perilisan global menyusul di berbagai wilayah, termasuk Asia. Dengan budget di atas 400 juta dolar AS, Fire and Ash tercatat sebagai salah satu film termahal yang pernah dibuat dan menjadi ujian berikutnya bagi ambisi teknologi Cameron setelah keberhasilan dua film Avatar sebelumnya.
Di balik skala produksinya, Fire and Ash menarik perhatian karena membawa fokus baru pada elemen api di Pandora dan memperlihatkan sisi Na’vi yang jauh lebih abu-abu secara moral. Cameron sendiri menjelaskan bahwa ia ingin keluar dari pola “manusia selalu jahat, Na’vi selalu baik” dan memperlihatkan sudut pandang yang lebih kompleks.
Gelombang Baru Pandora di Layar Lebar
Secara garis besar, Avatar: Fire and Ash melanjutkan kisah Jake Sully dan Neytiri setelah trauma besar di akhir The Way of Water. Mereka masih harus melindungi keluarga dan klan mereka, kali ini berhadapan dengan ancaman yang datang bukan hanya dari manusia, tetapi juga dari sesama Na’vi. Jake Sully kembali diperankan Sam Worthington, sementara Neytiri tetap dimainkan Zoe Saldaña. Sigourney Weaver hadir sebagai Kiri, Stephen Lang sebagai Quaritch, dan jajaran pemain lain seperti Kate Winslet, Cliff Curtis, serta generasi muda Britain Dalton, Trinity Jo-Li Bliss, dan Jack Champion kembali meneruskan peran yang sudah diperkenalkan di film kedua.
Fire and Ash mengambil latar waktu setelah keluarga Sully meninggalkan Omatikaya dan beradaptasi dengan Metkayina. Luka atas kematian Neteyam masih sangat terasa dan menjadi salah satu tema emosional utama film ini. Reaksi awal dari penonton pemutaran perdana menggambarkan Fire and Ash sebagai film yang sarat emosi, dengan fokus kuat pada cara keluarga ini memproses kehilangan sekaligus kembali terseret dalam perang yang tidak pernah mereka pilih.
Secara visual, Fire and Ash kembali mengandalkan teknologi motion capture dan efek visual mutakhir. Pengembangan teknologi untuk pengambilan gambar di bawah air yang sudah dimulai sejak The Way of Water semakin dimatangkan, sementara desain lokasi baru seperti wilayah vulkanik dan wilayah udara yang menjadi rumah bagi klan tertentu menambah variasi visual Pandora.
Cameron sejak awal memang menyiapkan beberapa sekuel sekaligus, dan proses syuting Fire and Ash dilakukan berbarengan dengan The Way of Water di Selandia Baru sejak 2017 hingga selesai pada akhir 2020. Hal ini memungkinkan kesinambungan cerita dan penampilan para aktor yang tetap konsisten, terutama pemeran generasi muda yang tumbuh bersama karakternya.
Fire and Ash dan Suku Api Na’vi
Salah satu elemen paling dibicarakan dari Fire and Ash adalah munculnya klan baru Na’vi yang dikenal sebagai Ash People, kelompok Na’vi yang hidup di lingkungan vulkanik dan membawa elemen api ke dalam mitologi Pandora. Di sini, Cameron dengan sengaja membalik perspektif yang selama ini ia bangun. Jika di dua film pertama manusia digambarkan sangat destruktif dan Na’vi cenderung suci, Fire and Ash memperlihatkan bahwa Na’vi pun dapat menjadi pihak yang kejam ketika sejarah dan situasi memaksa.
Ash People dipimpin Varang, diperankan Oona Chaplin, yang digambarkan sebagai pemimpin keras tetapi sangat protektif terhadap kaumnya. Cameron menyebut Varang sebagai sosok yang bagi penonton mungkin tampak antagonis, tetapi bagi kaumnya adalah pahlawan yang menyelamatkan mereka dari kehancuran. Pendekatan inilah yang membuat Fire and Ash terasa lebih kelam dan kompleks, karena konflik tidak lagi sekadar “manusia melawan Na’vi”, melainkan juga benturan nilai di dalam masyarakat Pandora sendiri.
Selain Ash People, Fire and Ash juga memperkenalkan Wind Traders, klan Na’vi pengembara udara yang dipimpin Peylak, diperankan David Thewlis. Mereka digambarkan sebagai pedagang nomaden yang menguasai langit Pandora dengan kapal terbang raksasa, yang secara visual menjadi salah satu set performance capture terbesar yang pernah dibangun untuk franchise ini. Kehadiran Wind Traders menambah lapisan baru dalam geopolitik Pandora dan membuka ruang cerita untuk sekuel berikutnya.
Di tataran tema, Fire and Ash membawa metafora kuat tentang siklus kebencian. Cameron dalam sebuah penjelasan menyebut bahwa api dalam judul Fire and Ash merepresentasikan kemarahan, kebencian, dan kekerasan, sementara abu adalah sisa dari semua itu: duka, kehilangan, dan trauma yang sulit dihapus. Film ini mencoba menunjukkan bagaimana siklus tersebut mudah sekali berulang jika tidak ada keberanian untuk memutusnya, baik dari sisi manusia maupun Na’vi.
Wajib Tahu:
Judul Fire and Ash resmi diumumkan James Cameron pada 2024, sekaligus mengonfirmasi fokus film pada Ash People sebagai suku Na’vi yang berhubungan dengan elemen api dan memutarbalikkan pandangan lama bahwa semua Na’vi selalu berada di sisi “baik”.
Produksi Raksasa dan Warisan Jon Landau
Di balik layar, Fire and Ash bukan hanya proyek teknologi, tetapi juga karya yang sarat muatan personal. Film ini diproduseri James Cameron bersama mendiang Jon Landau, produser yang sudah menjadi mitra dekat Cameron sejak Titanic dan Avatar pertama. Landau meninggal dunia pada Juli 2024 akibat kanker, dan Cameron menyebut kepergian sahabat sekaligus partner kreatifnya itu sebagai “shock” besar bagi seluruh tim.
Pada saat world premiere Fire and Ash di Dolby Theatre, Cameron menyampaikan penghormatan khusus untuk Landau dan menyebut bahwa semangat sang produser “masih mengisi” seluruh franchise Avatar. Sebuah tribute untuk Landau ditampilkan di akhir film sebagai bentuk penghargaan terhadap kontribusinya selama lebih dari tiga dekade bekerja bersama Cameron.
Secara teknis, Fire and Ash berdiri di atas pengembangan panjang yang sudah disiapkan lebih dari satu dekade. Penggunaan teknologi motion capture di bawah air, desain makhluk dan lingkungan baru, serta penggabungan elemen udara dan api pada set Wind Traders dan Ash People memperlihatkan bagaimana tiap sekuel Avatar digunakan sebagai laboratorium inovasi visual.
Tidak kalah menarik, Cameron juga menegaskan bahwa meskipun isu kecerdasan buatan sedang ramai di Hollywood, ia tidak akan menggunakan generative AI untuk menggantikan aktor dalam Fire and Ash maupun film Avatar lain. Menurutnya, kekuatan franchise ini justru berasal dari performa aktor yang ditangkap lewat teknologi, bukan digantikan sepenuhnya oleh mesin. Pernyataan ini menjadi sinyal penting di tengah kekhawatiran industri film mengenai masa depan kerja kreatif di era AI.
Respons Awal dan Harapan Penonton Indonesia
Sejak pemutaran perdana, Avatar: Fire and Ash langsung mendapat respons sangat positif dari berbagai kritikus internasional. Sejumlah ulasan awal menyebut film ini sebagai “ultimate cinematic spectacle” dan memuji cara Cameron terus mendorong batas teknologi visual di layar lebar. Beberapa jurnalis film bahkan menilai Fire and Ash sebagai entri terbaik dalam trilogi sejauh ini, dengan kombinasi cerita keluarga, tragedi, dan eskalasi konflik yang terasa lebih matang.
Tentu tidak semua penilaian hanya berisi pujian. Ada yang menyoroti durasi Fire and Ash yang sangat panjang dan pola cerita yang masih mengandalkan formula klasik, tetapi kritik tersebut umumnya diimbangi pengakuan bahwa pengalaman visual dan dunia Pandora yang semakin kaya tetap membuat film ini terasa wajib tonton di layar IMAX atau format premium lain.
Bagi penonton Indonesia, kehadiran Fire and Ash hampir pasti akan menjadi salah satu magnet utama di kalender film akhir tahun 2025. Dengan rekam jejak dua film sebelumnya yang sukses besar di pasar internasional, termasuk Asia Tenggara, potensi minat penonton terhadap bab ketiga ini sangat tinggi. Informasi resmi dari Disney dan Avatar menyebut Fire and Ash akan hadir dengan rating PG-13 dan tetap mengusung perpaduan aksi, petualangan, serta sains fiksi yang bisa dinikmati penonton umum, termasuk keluarga yang mengikuti kisah Sully sejak film pertama.
Bagi penggemar lama, Fire and Ash menawarkan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang menggantung sejak The Way of Water, terutama terkait masa depan keluarga Sully, evolusi karakter Neytiri yang semakin gelap, dan sejauh mana Jake mampu memimpin keluarganya di tengah konflik yang terus membesar. Bagi penonton baru, film ini berfungsi sebagai pintu masuk ke dunia Pandora dengan skala cerita dan visual yang sudah berada di puncak kemampuan teknologi saat ini.
Dengan dua sekuel berikutnya yang sudah dijadwalkan untuk tahun 2029 dan 2031, Fire and Ash menjadi penentu nada untuk fase kedua perjalanan Avatar. Jika sambutan penonton global sekuat reaksi awal kritikus, tidak berlebihan jika Fire and Ash akan dicatat sebagai salah satu tonggak penting sinema blockbuster modern dan menegaskan kembali posisi Avatar sebagai franchise yang belum kehilangan daya pukau.
Sumber: Avatar
