Lintas Fokus – Kebakaran dahsyat yang kini menyita perhatian dunia pecah di kompleks apartemen Wang Fuk Court, distrik Tai Po, New Territories, Hong Kong, sejak Rabu siang 26 November 2025. Api yang awalnya diduga muncul di area perancah dan jaring pelindung proyek renovasi luar gedung dengan cepat merambat ke beberapa blok hunian, mengubah deretan menara 31 lantai itu menjadi siluet hitam penuh asap.
Otoritas menyebut titik terbakar pertama kali dilaporkan sekitar pukul 14.50 waktu setempat. Dalam tempo kurang dari satu jam, level peringatan dinaikkan hingga ke peringkat tertinggi, alarm nomor 5, menandakan situasi luar biasa yang sulit dikendalikan. Api merambat melalui perancah bambu dan jaring hijau yang menyelimuti fasad gedung, sebelum menembus ke unit-unit apartemen yang sebagian besar dihuni keluarga pekerja dan lansia.
Lebih dari 1.200 personel pemadam dan paramedis dikerahkan, didukung 128 mobil pemadam dan 57 ambulans. Para petugas bekerja sepanjang malam, bergantian menembus kepulan asap pekat dan puing yang berjatuhan dari ketinggian, sementara helikopter memantau dari udara untuk memastikan tidak ada titik api yang luput dari pengawasan. Sejumlah lantai dan bagian perancah bahkan dilaporkan runtuh akibat panas yang ekstrem.
Di permukaan jalan, ratusan warga berkerumun dengan wajah cemas, sebagian masih mengenakan piyama dan membawa koper kecil, menunggu kabar keluarga yang terjebak. Peristiwa ini memaksa sekitar 900 orang mengungsi ke tempat penampungan sementara, di antaranya Kwong Fuk Shopping Centre dan beberapa fasilitas umum lain di sekitar Tai Po.
Kebakaran Wang Fuk Court segera dinyatakan sebagai salah satu bencana terburuk dalam sejarah modern Hong Kong. Media lokal menyebutnya sebagai kebakaran paling mematikan sejak peristiwa tragis tahun 1957, ketika kebakaran di kawasan Canton Road menewaskan 59 orang.
Korban, Penyelamatan, dan Amarah Warga
Hingga Kamis siang waktu Hong Kong, otoritas menyebut sedikitnya 55 orang meninggal dunia, termasuk satu petugas pemadam yang gugur saat bertugas. Lebih dari 70 orang dilaporkan luka-luka, dengan belasan di antaranya dalam kondisi kritis. Di saat yang sama, sekitar 279 orang masih tercatat hilang, membuat angka resmi korban kemungkinan masih akan bertambah seiring berlanjutnya operasi pencarian.
Petugas pemadam kebakaran menggambarkan situasi di dalam gedung sebagai “neraka vertikal”. Lorong sempit dan tangga yang dipenuhi asap pekat membuat proses evakuasi berjalan lambat. Banyak penghuni yang menutup rapat jendela selama pekerjaan renovasi berlangsung, sehingga tidak mendengar sirene peringatan. Beberapa saksi mata menceritakan bagaimana mereka harus merayap di lantai untuk menghindari asap tebal sebelum akhirnya berhasil mencapai lantai dasar.
Kebakaran ini juga menelan korban di kalangan petugas. Seorang pemadam berusia 37 tahun dilaporkan meninggal setelah terjebak di salah satu lantai saat berusaha membuka jalan evakuasi. Pemerintah Hong Kong menyampaikan belasungkawa resmi, sementara rekan-rekannya menyebut kepergiannya sebagai bukti betapa ganasnya kebakaran yang mereka hadapi di Wang Fuk Court.
Di sisi lain, kemarahan publik mengarah kepada pihak pengembang dan kontraktor renovasi. Polisi Hong Kong telah menangkap tiga orang dari perusahaan konstruksi yang mengerjakan proyek tersebut, dengan sangkaan pembunuhan karena dugaan kelalaian berat. Mereka diduga menggunakan bahan pelapis dan penutup jendela dari material sangat mudah terbakar, serta memasang styrofoam yang menutup sebagian jendela dekat lobi lift sehingga menghalangi jalur keluar asap maupun jalur penyelamatan.
Pemerintah pusat di Beijing pun turun tangan. Presiden Xi Jinping dilaporkan meminta otoritas Hong Kong melakukan segala upaya untuk memadamkan kebakaran, menyelamatkan korban, dan melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap penyebab tragedi. Pesan itu menandai betapa seriusnya peristiwa ini di mata pemerintah Tiongkok, mengingat Wang Fuk Court merupakan kompleks hunian bersubsidi milik negara yang menampung lebih dari 4.600 warga.
Wajib Tahu:
Kebakaran Wang Fuk Court digolongkan sebagai alarm nomor 5, level tertinggi dalam sistem Hong Kong, hanya beberapa kali digunakan sejak penyerahan wilayah itu ke Tiongkok, dan ini adalah kebakaran paling mematikan di kota tersebut dalam lebih dari 60 tahun.
Dugaan Kelalaian Konstruksi di Balik Tragedi
Seiring meredanya api di beberapa blok, fokus pemberitaan beralih ke pertanyaan besar: bagaimana Kebakaran bisa menyebar begitu cepat di kompleks yang tergolong modern dan berpenghuni padat ini?
Penyelidikan awal kepolisian mengungkap bahwa di bagian luar gedung terpasang jaring pelindung dan terpal kedap air yang tidak memenuhi standar ketahanan api. Di sekitar jendela lobi lift ditemukan panel styrofoam yang sangat mudah terbakar. Ketika api menyambar dari perancah, material-material ini diduga bertindak seperti “bahan bakar tambahan” yang mempercepat merambatnya Kebakaran dari satu blok ke blok lain.
Rekaman video amatir yang beredar di media sosial memperlihatkan percikan api di area perancah bambu sebelum jilatan api menjalar ke seluruh fasad. Meski penyebab awal masih dalam penyelidikan, polisi menyebut ada indikasi kuat berkaitan dengan pekerjaan renovasi yang “sangat ceroboh”. Otoritas juga membuka penyelidikan terpisah terkait dugaan korupsi dalam proyek renovasi bernilai ratusan juta dolar Hong Kong itu, terutama terkait pemilihan material dan pengawasan mutu.
Tragedi ini memantik perbandingan dengan peristiwa Grenfell Tower di London pada 2017, ketika panel pelapis mudah terbakar di fasad gedung menjadi faktor utama cepatnya api merambat. Sejumlah pengamat menilai, dunia belum sepenuhnya belajar dari insiden tersebut, terbukti dari masih digunakannya material berisiko di banyak proyek renovasi gedung tinggi, termasuk di Wang Fuk Court.
Bagi otoritas Hong Kong, konsekuensi politiknya juga tidak kecil. Pertanyaan tentang pengawasan keselamatan, standar material, hingga penggunaan perancah bambu di lingkungan perkotaan yang padat kembali menyeruak. Pemerintah setempat sebenarnya sudah mengumumkan rencana mengurangi penggunaan perancah bambu pada awal tahun, tetapi Kebakaran ini menonjolkan fakta bahwa transisi tersebut belum berjalan secepat yang dibutuhkan.
Peringatan Keras bagi Kota-kota Padat Asia, Termasuk Indonesia
Bagi pembaca Indonesia, tragedi di Wang Fuk Court bukan sekadar peristiwa jauh di luar negeri. Kebakaran di kompleks apartemen Hong Kong ini mengirim sinyal keras kepada kota-kota padat di Asia, termasuk Jakarta, Surabaya, dan Medan, yang semakin banyak dihiasi hunian vertikal.
Pertama, Kebakaran tersebut menunjukkan bahwa risiko terbesar bukan hanya berasal dari instalasi listrik atau kelalaian penghuni, tetapi juga dari keputusan teknis yang diambil kontraktor dan pemilik gedung. Material pelapis, penutup jendela, hingga desain jalur evakuasi bisa menentukan perbedaan antara insiden kecil dan bencana massal.
Kedua, koordinasi antara manajemen gedung, pemerintah kota, dan otoritas pemadam sangat krusial. Di Hong Kong, lebih dari 1.200 petugas dikerahkan dalam waktu singkat, namun tetap kewalahan karena jangkauan api begitu luas dan banyak penghuni tidak segera menyadari adanya Kebakaran. Bagi kota-kota besar di Indonesia yang infrastrukturnya belum sekuat Hong Kong, kesiapan ini perlu dievaluasi lebih kritis.
Ketiga, transparansi setelah bencana juga menjadi sorotan. Pemerintah Hong Kong secara rutin memperbarui data korban dan status investigasi, sementara media internasional menyorot setiap perkembangan mulai dari penangkapan kontraktor hingga bantuan untuk korban. Pola ini bisa menjadi contoh bagaimana otoritas Indonesia seharusnya mengelola komunikasi publik ketika terjadi Kebakaran besar di lingkungan permukiman padat.
Kebakaran Wang Fuk Court mengingatkan bahwa keamanan gedung tinggi tidak boleh dipandang sebagai urusan teknis semata. Ia adalah soal nyawa ribuan keluarga yang mempercayakan hidup mereka pada beton, baja, dan standar keselamatan yang seharusnya diawasi ketat. Di tengah maraknya pembangunan apartemen di berbagai kota Indonesia, tragedi ini seharusnya menjadi alarm yang sangat keras supaya setiap pemangku kepentingan – dari pengembang, kontraktor, pemerintah, hingga penghuni – menempatkan keselamatan sebagai prioritas tertinggi, bukan sekadar formalitas di atas kertas.
Sumber: Reuters
