Lintas Fokus – Pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025, nama Marsinah akhirnya disebut resmi dari mimbar Istana Negara sebagai salah satu Pahlawan Nasional baru Indonesia. Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar itu kepada aktivis buruh yang sejak tiga dekade lalu dikenang sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan di pabrik dan ruang kerja.
Bagi banyak orang, momen ini terasa seperti lembar baru dalam sejarah hubungan negara dan buruh. Nama yang dulu hanya hidup dalam poster aksi, spanduk demonstrasi, dan ziarah sunyi di pemakaman Nglundo, kini tercantum sejajar dengan tokoh besar lain yang juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tahun ini, mulai dari Abdurrahman Wahid hingga Soeharto.
Pengakuan negara ini tidak menghapus luka lama, tetapi memberi pesan kuat bahwa perjuangan seorang buruh perempuan muda yang dibunuh secara keji pada 1993 tidak lagi hanya menjadi catatan pinggiran. Marsinah resmi diakui sebagai wajah keberanian kaum pekerja, dan namanya tercetak dalam daftar resmi Pahlawan Nasional Republik Indonesia.
Mengapa Gelar Pahlawan Nasional Untuk Marsinah Diakui Negara
Perjalanan menuju penetapan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional bukan proses singkat. Selama bertahun-tahun, serikat buruh, aktivis hak asasi manusia, akademisi, hingga pemerintah daerah Nganjuk mendorong agar negara mengakui jasa dan pengorbanannya. Usulan itu berkali-kali disuarakan dalam peringatan Hari Buruh dan Hari Pahlawan, sampai akhirnya resmi ditindaklanjuti Kementerian Sosial pada 2025 sebagai calon penerima gelar Pahlawan Nasional.
Tahapannya mengikuti prosedur resmi: pengajuan dari daerah dan organisasi, kajian oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat, lalu rekomendasi kepada Dewan Gelar di Istana sebelum Presiden menandatangani keputusan. Dalam proses ini, aspek keteladanan Marsinah sebagai pembela hak buruh, keberaniannya menghadapi tekanan aparat, dan dampak moral dari tragedi pembunuhannya menjadi pertimbangan utama.
Yang membuat gelar ini begitu signifikan adalah latar belakang Marsinah. Ia bukan jenderal, bukan politisi, dan bukan pejabat tinggi. Ia seorang buruh pabrik arloji yang menggantungkan hidup dari upah minimum, lalu memilih berdiri di garis depan ketika hak rekan-rekannya diinjak. Dengan menetapkan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional, negara mengirim sinyal bahwa keberanian dari lantai pabrik pun layak menjadi teladan bagi generasi mendatang.
Pada saat yang sama, penetapan ini juga memicu diskusi publik. Sebagian analis menyoroti kontras antara masuknya nama Soeharto dan Marsinah dalam daftar Pahlawan Nasional tahun yang sama, mengingat kasus pembunuhan Marsinah terjadi di era Orde Baru. Namun bagi keluarga dan jaringan buruh, fokus utama mereka adalah pengakuan terhadap perjuangan Marsinah dan pengingat keras bahwa pelanggaran terhadap hak pekerja tidak boleh terulang.
Jejak Perjuangan Marsinah Dari Desa Nglundo ke Pabrik Arloji
Marsinah lahir di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Nganjuk, Jawa Timur, pada 10 April 1969. Masa kecilnya tidak lepas dari kesulitan. Ibunya meninggal ketika ia masih sangat kecil, dan ia banyak diasuh neneknya. Di sekolah dasar, ia dikenal sebagai anak rajin, kritis, dan suka membaca, meski berasal dari keluarga sederhana.
Setelah lulus SMA, Marsinah merantau ke Sidoarjo. Ia bekerja sebagai buruh di PT Catur Putra Surya, sebuah pabrik arloji di Porong. Di sanalah ia mulai terlibat lebih aktif di serikat pekerja dan diskusi soal upah, jam kerja, dan kondisi produksi. Rekan-rekannya menyebut Marsinah bukan hanya pekerja yang tekun, tetapi juga berani bertanya dan mengingatkan bahwa buruh punya hak yang dijamin undang-undang.
Puncak ketegangan terjadi pada awal Mei 1993. Saat itu, buruh di pabrik tempat Marsinah bekerja memprotes kebijakan perusahaan yang dianggap melanggar ketentuan upah minimum dan hak kerja lainnya. Aksi mogok digelar pada 3 dan 4 Mei 1993, dengan tuntutan yang antara lain berkaitan dengan perbaikan upah dan penghapusan kebijakan sepihak.
Marsinah berada di garis depan. Ia ikut menyusun tuntutan, memimpin rapat, dan menggalang keberanian rekan buruh yang khawatir pada tekanan aparat. Ketika beberapa pekerja dibawa ke markas militer dan dipaksa menandatangani pengunduran diri, Marsinah justru mendatangi kantor Kodim untuk mencari kejelasan nasib mereka. Langkah yang sangat berani untuk seorang buruh perempuan berusia dua puluh empat tahun.
Keberaniannya tidak berhenti di situ. Di tengah iklim politik yang represif, Marsinah menolak tunduk pada ketakutan. Sikap inilah yang kemudian membuat berbagai lembaga hak asasi manusia menganugerahkan penghargaan Yap Thiam Hien secara anumerta, menjadikannya simbol perjuangan hak asasi buruh Indonesia jauh sebelum gelar Pahlawan Nasional diberikan.
Tragedi 1993 dan Misteri Keadilan Yang Belum Tuntas
Setelah aksi mogok dan perundingan yang menegangkan, situasi berubah gelap. Pada 5 Mei 1993, Marsinah dinyatakan menghilang. Beberapa hari kemudian, 8 Mei 1993, jasadnya ditemukan di sebuah gubuk dekat hutan jati di wilayah Wilangan, Nganjuk, jauh dari pabrik dan tempat tinggalnya. Laporan otopsi menunjukkan adanya tanda-tanda penyiksaan berat sebelum ia dibunuh.
Kasus ini segera mengguncang Indonesia. Aktivis, mahasiswa, organisasi buruh, dan lembaga hak asasi manusia menekan negara agar mengusut tuntas. Sejumlah petinggi dan karyawan PT Catur Putra Surya ditahan dan diadili, begitu juga seorang perwira militer. Namun bertahun-tahun kemudian, Mahkamah Agung membebaskan para terdakwa, sementara dalang dan pelaku utama pembunuhan Marsinah tidak pernah terungkap secara meyakinkan.
Hingga hari ini, berbagai laporan dan kajian menyebut kasus Marsinah sebagai salah satu pelanggaran HAM berat yang belum menemukan keadilan penuh. Nama Marsinah hadir dalam laporan lembaga bantuan hukum, dokumenter, hingga buku-buku sejarah ketenagakerjaan sebagai contoh bagaimana kekerasan bisa digunakan untuk membungkam suara buruh.
Dalam konteks itulah, gelar Pahlawan Nasional untuk Marsinah memiliki bobot moral yang sangat besar. Pengakuan negara datang terlambat, tetapi menjadi pengingat bahwa tragedi 1993 bukan sekadar catatan masa lalu. Ia adalah peringatan agar aparat, pengusaha, dan pengambil kebijakan tidak lagi menormalisasi kekerasan terhadap pekerja yang menuntut hak.
Wajib Tahu:
Marsinah adalah satu dari sedikit buruh perempuan yang bukan hanya dijadikan ikon perjuangan serikat pekerja, tetapi kini juga tercatat resmi sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Ia sebelumnya telah menerima penghargaan Yap Thiam Hien sebagai pengakuan atas perjuangan hak asasi manusia, menjadikannya sosok unik yang jembatani dunia gerakan buruh dan advokasi HAM.
Dari Makam Sunyi ke Panggung Negara: Warisan Marsinah Bagi Generasi Muda
Sebelum negara mengakui Marsinah sebagai Pahlawan Nasional, para buruh lebih dulu menempatkannya di hati mereka. Setiap peringatan Hari Buruh, ratusan pekerja dari berbagai serikat melakukan ziarah ke makam Marsinah di Desa Nglundo, Nganjuk. Di sana, mereka menabur bunga, membacakan puisi, dan mengingatkan generasi baru bahwa hak yang mereka nikmati hari ini dibayar mahal oleh orang-orang seperti Marsinah.
Setelah pengumuman resmi dari Istana, tradisi ziarah ini mendapat makna tambahan. Bagi keluarga, gelar Pahlawan Nasional bukan saja kebanggaan, tetapi juga pengakuan bahwa duka mereka selama puluhan tahun tidak sia-sia. Kakak Marsinah menyampaikan terima kasih kepada Presiden dan semua pihak yang mengawal proses panjang ini, sambil mengingat betapa keras dan tulusnya perjuangan sang adik bagi buruh kecil.
Bagi gerakan buruh, penetapan ini adalah momentum strategis. Dengan menjadikan aktivis buruh sebagai Pahlawan Nasional, negara mengirim pesan bahwa isu upah layak, jam kerja manusiawi, dan perlindungan terhadap pekerja bukan sekadar urusan teknis ketenagakerjaan, melainkan bagian dari perjuangan kebangsaan. Hal ini dapat memperkuat posisi tawar buruh dalam dialog sosial dan perumusan kebijakan ke depan.
Untuk generasi muda, terutama pekerja dan mahasiswa yang mungkin hanya mengenal nama Marsinah lewat potongan kabar di media sosial, gelar Pahlawan Nasional ini adalah undangan untuk menggali lebih dalam. Membaca kisah hidupnya, menelusuri kronologi 1993, dan memahami konteks politik Orde Baru akan membantu mereka melihat bahwa keberanian berbicara tidak pernah datang tanpa risiko, tetapi juga tidak pernah benar-benar hilang jejak.
Pada akhirnya, pengakuan negara tidak mengembalikan nyawa Marsinah, dan tidak serta merta menutup luka keluarga maupun kawan-kawannya. Namun dengan menyebut namanya dalam deret resmi Pahlawan Nasional, Indonesia menegaskan bahwa sejarah bangsa ini tidak hanya dibangun oleh para jenderal di medan perang, tetapi juga oleh buruh pabrik yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Dari desa kecil di Nganjuk, suara Marsinah kini menggema sampai ke istana dan ruang kelas, mengingatkan kita bahwa keberanian adalah warisan paling berharga yang bisa ditinggalkan seorang pahlawan.
Sumber: Bloomberg Technoz
