Lintas Fokus – Keputusan Mola TV untuk menghentikan layanan pada 31 Desember 2025 menjadi salah satu kabar paling mengejutkan di industri streaming Indonesia akhir tahun ini. Di laman resmi dan aplikasi, perusahaan menampilkan banner bertajuk “Pemberitahuan Resmi” yang berisi informasi bahwa layanan Mola akan berhenti beroperasi di semua platform pada tanggal tersebut.
Dalam pengumuman itu, Mola TV menyampaikan terima kasih kepada pelanggan yang telah setia dan menyisipkan permintaan maaf jika ada layanan yang belum memenuhi harapan. Redaksi CNN Indonesia dan sejumlah media teknologi mencatat bahwa setelah 31 Desember 2025, layanan tidak lagi dapat diakses melalui aplikasi maupun perangkat lain.
Yang menambah sorotan, laporan Selular.id mengungkap bahwa Mola TV menyatakan masa aktif langganan yang tersisa tidak akan diganti dalam bentuk kompensasi apa pun. Pelanggan yang masih memiliki sisa periode berlangganan, termasuk yang baru membeli paket “Year End Closing” seharga sekitar Rp39.000 per bulan, tidak akan mendapatkan refund meski layanan akan berakhir di penghujung tahun.
Per hari ini, 7 Desember 2025, Mola TV masih berjalan normal dan pelanggan masih bisa menonton konten yang tersedia. Namun, hitungan mundur menuju penutupan layanan sudah dimulai, dan setiap pengguna pada dasarnya sudah menerima sinyal resmi bahwa akun mereka akan berakhir tanpa perpanjangan otomatis. Bagi banyak pelanggan, ini terasa seperti akhir mendadak dari sebuah “rumah tontonan” yang sempat menjadi pilihan utama, terutama penggemar olahraga.
Perjalanan Bisnis: Dari Premier League Sampai Akhir Kontrak
Untuk memahami besarnya dampak kabar ini, perlu melihat kembali jejak Mola TV di Indonesia. Layanan streaming ini mulai dibangun sekitar 2018 dan resmi meluncur pada 2019, didukung oleh Grup Djarum melalui PT Global Media Visual dan brand elektronik Polytron. Sejak awal, Mola TV hadir dengan strategi ambisius: menggabungkan siaran olahraga, video on demand, film internasional, dan konten orisinal dalam satu platform berlangganan.
Popularitas melejit ketika mereka berhasil mengamankan hak siar eksklusif Liga Inggris (Premier League) di Indonesia dan Timor Leste untuk musim 2019-2020 dan 2021-2022. Di periode itu, kata “nonton bola di Mola TV” menjadi kalimat yang sangat akrab di kalangan penggemar sepak bola. Banyak rumah tangga dan warung kopi berlangganan khusus demi bisa menyaksikan klub favorit berlaga setiap pekan.
Seiring waktu, Mola TV tidak hanya dikenal sebagai “platform bola”, tetapi juga menambah deretan konten lain, mulai dari film festival, dokumenter, serial anak, sampai program orisinal berlabel Mola. Ekspansi pun dilakukan ke sejumlah negara, termasuk Singapura, Malaysia, Italia, dan Inggris, meski fokus penonton terbesar tetap berada di Indonesia.
Di sisi teknis, Mola TV pernah digandeng oleh beberapa perusahaan teknologi global untuk mengoptimalkan kualitas streaming, termasuk untuk menayangkan ajang besar seperti Euro 2020 dalam format UHD HDR. Langkah ini memperkuat citra Mola TV sebagai pemain lokal yang berani mengusung standar teknologi tinggi, bersaing dengan layanan internasional yang sudah lebih dulu mapan.
Keberanian itu berbuah pengakuan, namun juga membawa konsekuensi biaya yang tidak kecil. Hak siar olahraga internasional dan investasi infrastruktur streaming membutuhkan modal besar dan kontinuitas. Di tengah persaingan dengan raksasa global seperti Netflix, Disney+, dan pemain regional lain, mempertahankan kombinasi konten premium dan harga bersaing menjadi tantangan strategis yang tidak sederhana bagi Mola TV.
Mengapa Layanan Ini Ditutup dan Apa Dampaknya Bagi Pelanggan
Sampai saat ini, Mola TV belum secara terbuka menjelaskan alasan detail di balik penutupan layanan, selain pemberitahuan singkat bahwa operasi akan berhenti di semua platform pada 31 Desember 2025. Laporan DealStreetAsia menyebutkan bahwa pengumuman itu disampaikan langsung oleh perusahaan di situs resmi, tanpa penjabaran mengenai nasib karyawan dan arah bisnis berikutnya.
Namun, sejumlah analis dan pengamat industri OTT melihat penutupan Mola TV dalam konteks yang lebih luas. Industri streaming global tengah berada di fase konsolidasi dan rasionalisasi biaya. Persaingan hak siar olahraga semakin mahal, sementara konsumen di banyak negara, termasuk Indonesia, mulai lebih selektif dalam mengelola jumlah langganan bulanan. Situasi ini membuat model bisnis seperti Mola TV, yang mengandalkan kombinasi olahraga dan VOD, berada di bawah tekanan berat.
Bagi pelanggan, dampak paling langsung dari penutupan Mola TV adalah hilangnya akses terhadap seluruh konten setelah 31 Desember 2025 dan ketiadaan kompensasi atas sisa masa langganan, sebagaimana dikonfirmasi dalam laporan Selular.id yang mengutip respons resmi Mola kepada pelanggan di media sosial. Hal ini menimbulkan kekecewaan, terutama bagi pengguna yang baru memperpanjang paket atau membeli promo akhir tahun.
Dari sisi regulasi konsumen, situasi ini juga memunculkan diskusi baru. Apakah penyedia layanan digital boleh menghentikan layanan tanpa memberikan pengembalian dana untuk masa berlangganan yang belum terpakai, selama klausul tersebut tercantum di syarat dan ketentuan? Pertanyaan seperti ini diperkirakan akan semakin sering muncul seiring bertambahnya jumlah layanan berlangganan di ranah digital.
Bagi pelanggan setia, pertanyaan paling praktis adalah: “Setelah Mola TV tutup, ke mana saya harus pindah?” Alternatif layanan streaming olahraga dan hiburan di Indonesia masih cukup banyak, namun komposisi konten tentu berbeda. Tidak semua platform menyediakan paket kombinasi olahraga dan film dengan struktur seperti yang dulu ditawarkan Mola TV, sehingga konsumen harus menyesuaikan kembali ekspektasi dan anggaran.
Wajib Tahu:
Mola TV pernah menjadi pemegang hak siar eksklusif Premier League di Indonesia untuk musim 2019-2020 dan 2021-2022, sebuah pencapaian besar bagi layanan streaming lokal sebelum akhirnya memutuskan menutup layanan pada akhir 2025.
Masa Depan Industri Streaming Setelah Mola TV Keluar dari Peta
Penutupan Mola TV menandai berakhirnya salah satu eksperimen paling berani di dunia streaming Indonesia. Di satu sisi, ini menunjukkan bahwa menjadi pionir tidak selalu berarti bertahan paling lama. Di sisi lain, pengalaman Mola TV menyimpan banyak pelajaran bagi pemain lain yang tengah menggarap pasar serupa.
Pertama, kasus Mola TV memperlihatkan betapa mahalnya mempertahankan hak siar olahraga internasional dalam jangka panjang. Hak siar Premier League, Bundesliga, atau ajang olahraga besar lain kerap menjadi magnet pelanggan, tetapi juga bisa menjadi beban jika pertumbuhan pelanggan tidak sebanding dengan biaya lisensi. Dalam beberapa tahun terakhir, terlihat pergeseran hak siar dari satu platform ke platform lain, yang menggambarkan betapa dinamis dan rapuhnya model bisnis ini.
Kedua, fokus Mola TV pada kombinasi olahraga dan konten hiburan premium mengajarkan bahwa diferensiasi saja tidak cukup. Di tengah tren “subscription fatigue”, konsumen menuntut fleksibilitas, kejelasan harga, dan pengalaman pengguna yang mulus. Penutupan Mola TV yang disertai keputusan tidak memberikan kompensasi atas sisa langganan akan menjadi catatan penting bagi publik dalam menilai transparansi dan tanggung jawab penyedia layanan digital di masa depan.
Ketiga, keluarnya Mola TV membuka ruang bagi pemain baru atau lama untuk mengisi ceruk pasar yang ditinggalkan. Penggemar olahraga yang terbiasa menonton pertandingan lewat Mola TV akan mencari rumah baru untuk tontonan mereka. Ini bisa dimanfaatkan oleh platform lain yang siap menawarkan paket kompetitif, baik berupa fokus olahraga, maupun bundling dengan layanan broadband dan TV kabel.
Bagi regulator dan pelaku industri, momen ini juga menjadi kesempatan untuk menata ulang standar perlindungan konsumen di ranah OTT. Kontrak digital sering kali hanya dibaca sekilas oleh pengguna, sementara risiko penutupan layanan sangat nyata. Kasus Mola TV bisa menjadi momentum untuk mendorong kewajiban komunikasi yang lebih jelas, misalnya batas minimal waktu pemberitahuan penutupan dan skema penanganan sisa langganan.
Pada akhirnya, Mola TV akan tercatat sebagai pemain lokal yang pernah “mengguncang” peta streaming, terutama ketika menguasai hak siar Premier League dan memberi pengalaman baru menonton bola lewat internet. Setelah 31 Desember 2025, nama Mola TV mungkin tidak lagi muncul di layar aplikasi, tetapi jejaknya akan tetap menjadi bagian penting dari sejarah industri streaming Indonesia.
Sumber: CNN Indonesia




