Lintas Fokus – Penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya memeriksa tiga tersangka terkait tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo pada Kamis, 13 November 2025. Nama yang paling disorot publik adalah Roy Suryo, didampingi kuasa hukumnya, bersama Rismon Sianipar dan Tifauziah Tyassuma. Ketiganya memenuhi panggilan di Gedung Ditreskrimum dan menyatakan siap menjalani pemeriksaan serta menunjukkan bukti yang mereka bawa. Detik mencatat momen kedatangan sekaligus mengulangi pernyataan Kapolda Metro Jaya bahwa perkara ini dipecah dalam dua klaster tersangka.
Sorotan hari itu juga datang dari kanal video yang menayangkan update langsung situasi pemeriksaan. DetikUpdate merangkum bahwa pemeriksaan dilakukan Subdit Keamanan Negara, sementara para tersangka menyatakan siap adu bukti. Kehadiran Roy Suryo secara fisik di markas Polda sekaligus menutup spekulasi ketidakhadiran yang sempat beredar di media sosial.
Langkah pemanggilan ini mengikuti rangkaian pernyataan resmi kepolisian pada 7 November 2025 mengenai penetapan delapan tersangka. Media arus utama memotret penetapan itu sebagai tonggak baru perkara, mengingat isu ijazah Jokowi sudah berulang kali memantik perdebatan dan gugatan sejak 2022. CNN Indonesia melaporkan penetapan delapan tersangka dengan pembagian klaster, yang menjadi basis kerja penyidik memanggil saksi dan tersangka pekan ini.
Roy Suryo, Status Hukum, dan Pasal yang Disangkakan
Status Roy Suryo sebagai tersangka ditegaskan polisi saat memanggilnya untuk pemeriksaan perdana. Dalam keterangan yang dihimpun Detik, penyidik menerapkan pasal berlapis pada dua klaster tersangka. Pada klaster pertama, kombinasi pasal yang digunakan antara lain Pasal 310, 311, 160 KUHP serta Pasal 27A jo Pasal 45 ayat (4) dan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE. Pada klaster kedua, kombinasi pasal meliputi Pasal 310, 311 KUHP dan Pasal 32 ayat (1) jo Pasal 48 ayat (1) serta Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1) UU ITE, berikut ketentuan yang sama soal Pasal 27A dan Pasal 28 UU ITE. Rincian pasal ini menggambarkan fokus pada delik pencemaran nama baik, penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan, hingga dugaan manipulasi dokumen elektronik.
Pemeriksaan Roy Suryo dan dua tersangka lain menjadi uji penting konstruksi sangkaan. SINDOnews menyoroti bahwa pemeriksaan perdana sebagai tersangka berpotensi diikuti langkah penahanan jika penyidik menilai alat bukti telah cukup. Tim kuasa hukum menyatakan klien mereka kooperatif, sementara polisi menekankan proses berjalan sesuai hukum acara pidana. Di titik ini, asas praduga tak bersalah harus dijaga agar narasi publik tetap seimbang.
Di beberapa kanal pemberitaan lain, Roy Suryo menyebut dirinya siap adu bukti. Pernyataan tersebut menandai strategi pembelaan berbasis dokumen dan argumen teknis. Terlepas dari klaim para pihak, tindak lanjut perkara tetap berada pada ruang pembuktian penyidik hingga penuntutan, sebelum akhirnya diuji di pengadilan.
Wajib Tahu:
UGM secara berkala menegaskan bahwa Joko Widodo adalah alumnus Fakultas Kehutanan UGM dan telah lulus 5 November 1985. Klarifikasi resmi universitas ini menjadi rujukan penting setiap kali isu ijazah mencuat di ruang publik.
Kronologi Panjang Polemik Ijazah Jokowi
Polemik ijazah Jokowi tidak muncul tiba-tiba. Pada 2022, muncul gugatan perdata yang kemudian dicabut di PN Jakarta Pusat. Detik mengabarkan surat pencabutan perkara saat itu, sementara kanal pemeriksa fakta pemerintah daerah dan situs cekfakta menempatkan berbagai klaim yang beredar sebagai konteks keliru atau belum terbukti. Pada 2023 hingga 2025, isu kembali mengemuka lewat berbagai laporan dan narasi di media sosial. Rangkaian inilah yang menjadi latar ketika polisi menetapkan delapan tersangka pada 2025, salah satunya Roy Suryo.
Dalam skema kerja penyidikan, pemanggilan tersangka dan saksi adalah fase untuk memverifikasi narasi yang berkembang di ruang publik dengan alat bukti yang sah. Itulah mengapa kehadiran Roy Suryo sebagai tersangka di Polda Metro Jaya menjadi titik krusial. Media menyorot detail waktu pemanggilan, kedatangan, serta sikap para pihak di kepolisian sebagai parameter kepatuhan hukum dan kooperasi. Hal-hal teknis ini penting karena akan menopang akurasi pemberitaan berikutnya, termasuk jika nanti ada gelar perkara lanjutan atau pengembangan pasal.
Membaca ulang dinamika sejak 2022 juga membantu publik memahami batas antara opini, ekspresi akademik, dan dugaan tindak pidana. Ketika opini dan klaim dipublikasikan dalam bentuk konten digital, konsekuensi pasal UU ITE dapat muncul, terutama jika dianggap menyerang kehormatan atau menyebarkan informasi yang memicu kebencian. Pada fase ini, Roy Suryo akan berhadapan dengan pembuktian pernyataan, konteks, dan dampak yang ditimbulkan oleh konten digital yang dipersoalkan.
Dampak bagi Ruang Digital dan Tata Kelola Informasi
Kasus yang menempatkan Roy Suryo sebagai tersangka menjadi cermin betapa rapuhnya ekosistem informasi jika penyebaran klaim sensitif tidak diimbangi verifikasi. Di ruang digital, kecepatan berbagi sering mengalahkan ketelitian. Akibatnya, konten yang belum teruji bisa membentuk persepsi publik seolah-olah fakta. Penetapan tersangka dan pemeriksaan menyasar bukan hanya penulis atau pengunggah, tetapi juga jejaring yang ikut memperkuat muatan di berbagai platform.
Bagi masyarakat, pelajarannya jelas. Pertama, biasakan membaca sumber primer dan pernyataan resmi, terutama dari institusi yang menjadi objek klaim. UGM telah menyediakan klarifikasi berkala tentang status alumni Jokowi, sehingga rujukan faktual selalu tersedia. Kedua, pahami konsekuensi hukum ketika menyebarluaskan konten yang menyasar kehormatan seseorang. Ketiga, dorong literasi digital agar bedah klaim berbasis dokumen menjadi budaya, bukan sekadar debat viral.
Di sisi penegakan, polisi telah memetakan dua klaster tersangka lengkap dengan konstruksi pasalnya. Media menggambarkan pemeriksaan Roy Suryo cs sebagai babak baru yang mengarah pada penguatan pembuktian. Publik akan menunggu apakah setelah pemeriksaan perdana ini ada langkah lanjutan seperti penahanan, tambahan tersangka, atau pelimpahan berkas. Di level kebijakan, kasus ini diharapkan mendorong ekosistem platform untuk memperkuat sistem pelaporan, moderasi konten sensitif, serta transparansi koreksi ketika informasi terbukti keliru.
Sumber: CNN Indonesia
