Site icon Lintas Fokus

Saham BBCA Lagi Diskon atau Sudah Mahal? Bongkar Data Asli Bank Paling Cuan di BEI

Analisa Saham BBCA

Analisa Saham BBCA

Lintas Fokus Bagi banyak investor ritel Indonesia, Saham BBCA sudah lama identik dengan frasa “blue chip wajib punya”. Bank Central Asia adalah salah satu bank paling menguntungkan di Indonesia, dan historinya menunjukkan kinerja stabil bahkan saat siklus ekonomi berputar. Namun, pertanyaan yang selalu muncul ulang adalah sederhana: di harga sekarang, BBCA masih menarik, atau justru sudah terlalu mahal?

Per penutupan perdagangan 10 Desember 2025, harga Saham BBCA berada di kisaran Rp 8.075 per lembar setelah sempat menyentuh area 8.400–8.500 di akhir November. Pergerakan sebulan terakhir cenderung melemah tipis dengan volatilitas yang relatif terkontrol, mencerminkan karakter defensif saham perbankan besar. Dari sisi valuasi, data Yahoo Finance dan MarketScreener menunjukkan kapitalisasi pasar BBCA sekitar Rp 995–998 triliun dengan rasio price to earnings (P/E) trailing sekitar 17–18 kali dan estimasi P/E 2025 di kisaran 17,3 kali.

Menariknya, pada Agustus 2025 posisi BBCA sebagai emiten dengan kapitalisasi terbesar di BEI sempat digeser oleh Barito Renewables Energy (BREN) yang menembus lebih dari Rp 1.050 triliun.Artinya, BBCA kini berada di posisi dua besar namun tetap menjadi barometer utama sektor perbankan dan salah satu konstituen paling berpengaruh di IHSG.

Dari sisi yield, BBCA dikenal royal membagikan dividen. Data TradingView dan MarketScreener menunjukkan dividend yield 2024 sekitar 3,1 persen dan proyeksi yield 2025 mendekati 3,8 persen, dengan payout ratio historis di kisaran 65–70 persen. Untuk investor yang mencari kombinasi capital gain dan aliran dividen stabil, profil ini menjadikan Saham BBCA tetap menarik dibanding banyak saham lain di BEI.


Fundamental Saham BBCA: Kuat Tapi Tidak Lagi Murah?

Laporan kinerja sembilan bulan pertama 2025 memberi gambaran jelas seberapa solid fundamental BBCA saat ini. Hingga akhir September 2025, BCA dan entitas anak mencatat total kredit sebesar Rp 944 triliun atau tumbuh 7,6 persen secara tahunan, didorong terutama oleh segmen korporasi dan UKM. Dana pihak ketiga mencapai Rp 1.205 triliun naik 7 persen YoY, dengan dana murah (CASA) sekitar Rp 999 triliun yang bertumbuh 9,1 persen dan membuat proporsi CASA di kisaran 83–84 persen, salah satu yang tertinggi di industri.

Dari sisi laba, BBCA membukukan laba bersih konsolidasian Rp 43,4 triliun pada 9M25, naik 5,7 persen dibanding periode yang sama 2024. Net interest margin (NIM) bank saja stabil di 5,8 persen, cost to income ratio turun menjadi 29,2 persen, sementara return on equity (ROE) masih sangat tinggi di sekitar 24,1 persen dengan capital adequacy ratio (CAR) hampir 30 persen.

Kualitas aset juga relatif terjaga. Laporan resmi perusahaan dan ringkasan di MarketScreener menyebut rasio non performing loan (NPL) sekitar 2,0–2,1 persen dengan loan at risk (LAR) di kisaran 5,4–5,5 persen. Tingkat pencadangan untuk NPL berada di atas 160 persen, yang memberi bantalan cukup kuat jika terjadi pelemahan ekonomi.

Jika fundamental sekuat ini, kenapa valuasi Saham BBCA sering dibilang mahal? Kuncinya ada pada harga yang sudah mencerminkan kualitas. P/E sekitar 17 kali dan price to book value (PBV) mendekati 4,9 kali menurut beberapa riset sekuritas, berada di atas rata-rata sektor perbankan besar yang umumnya bergerak di P/E 10–14 kali dan PBV 1,5–3 kali. Dengan kata lain, pasar memberikan premi cukup besar untuk stabilitas dan profitabilitas BBCA.

Bagi investor jangka panjang, premi seperti ini tidak otomatis buruk. Selama BBCA mampu mempertahankan ROE di atas 20 persen, NIM stabil, dan pertumbuhan kredit moderat, valuasi tinggi cenderung bertahan. Namun, untuk trader jangka pendek, ruang kenaikan harga Saham BBCA bisa terasa lebih terbatas jika masuk di level yang sudah terlalu tinggi dibanding target harga analis. MNC Sekuritas, misalnya, mematok rekomendasi beli dengan target harga Rp 10.500 per saham, yang artinya masih ada potensi upside dari harga sekarang tetapi tidak lagi sedinamis beberapa tahun lalu.

Wajib Tahu:

Laporan riset berbagai lembaga menyebut loan to deposit ratio (LDR) BBCA sekitar 76 persen per 9M25, terendah di antara empat bank besar nasional dan jauh di bawah rata-rata industri sekitar 88 persen. Artinya, bank ini punya likuiditas sangat longgar dan ruang besar untuk menyalurkan kredit baru tanpa harus agresif mencari dana mahal, faktor penting yang membuat Saham BBCA sering dianggap defensif saat suku bunga berfluktuasi.


Risiko yang Harus Diwaspadai Investor Ritel

Meski fundamental kuat, Saham BBCA tidak bebas risiko. Hal pertama yang perlu dicermati adalah perlambatan pertumbuhan kredit. Manajemen sendiri mempertahankan target pertumbuhan pinjaman 2025 hanya 6–8 persen, jauh lebih rendah dari realisasi 2024 yang mencapai hampir 14 persen. Perubahan ini mencerminkan sikap hati-hati terhadap kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dan permintaan kredit konsumsi yang masih lesu, terutama di segmen otomotif.

Risiko kedua berasal dari tekanan margin dan kualitas aset. Walau NIM 5,8 persen tampak stabil, beberapa riset memperkirakan tekanan margin bisa berlanjut bila kompetisi bunga deposito menguat atau Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga acuan sehingga repricing aset mengarah ke penurunan yield pinjaman. Di sisi lain, walaupun NPL terjaga di kisaran 2 persen, kenaikan loan at risk menandakan masih ada kelompok debitur yang rapuh dan perlu dimonitor ketat.

Risiko ketiga adalah persepsi valuasi. Ketika IHSG terkoreksi atau terjadi rotasi sektor, saham dengan valuasi premium seperti BBCA sering menjadi sasaran profit taking atau net sell asing. Dalam beberapa kesempatan tahun ini, BBCA tercatat menjadi salah satu emiten dengan nilai jual bersih asing terbesar ketika pasar sedang volatile, dan harga sempat menyentuh level terendah empat bulan. Bagi pemegang Saham BBCA yang masuk di harga tinggi, koreksi semacam ini bisa terasa menyakitkan meskipun fundamental tidak berubah signifikan.

Terakhir, ada risiko struktural dari perubahan lanskap perbankan. Pertumbuhan bank digital, fintech, dan perubahan preferensi nasabah ke produk pasar modal dapat membuat pertumbuhan dana murah dan fee-based income melambat jika BBCA tidak terus berinovasi. Sejauh ini, bank ini menjawab tantangan melalui platform digital seperti myBCA dan pengembangan ekosistem pembayaran, namun sebagai investor Anda tetap perlu memantau bagaimana strategi tersebut diterjemahkan ke angka pertumbuhan fee dan CASA dalam beberapa tahun ke depan.


Strategi Masuk dan Level Harga yang Perlu Dipantau

Dengan segala kelebihan dan risiko tadi, bagaimana pendekatan yang realistis terhadap Saham BBCA untuk investor ritel? Pertama, posisikan BBCA sebagai pilar stabil dalam portofolio, bukan sebagai sumber kenaikan harga ekstrem. Karakteristiknya lebih cocok untuk investor yang mencari kombinasi dividen rutin dan pertumbuhan moderat, dibanding pemburu multi-bagger.

Kedua, gunakan strategi akumulasi bertahap, terutama saat valuasi turun mendekati atau di bawah rata-rata historis. P/E BBCA saat ini di kisaran 17 kali, sedikit di bawah rata-rata beberapa tahun terakhir yang sering berada di atas 20 kali. Jika karena sentimen pasar harga kembali tertekan ke area P/E 15–16 kali, peluang risk reward untuk menambah posisi Saham BBCA biasanya menjadi lebih menarik, selama tidak ada perubahan negatif besar pada fundamental.

Ketiga, perhatikan level psikologis harga. Sejak pertengahan 2025, area 8.000 sering menjadi support penting, sementara zona 9.000–10.000 cenderung menjadi area ambil untung bagi sebagian pelaku pasar, sejalan dengan target harga konsensus analis yang berada di sekitar 10.000–10.500. Memahami pola ini membantu investor tidak panik saat terjadi koreksi jangka pendek dan lebih disiplin dalam menyiapkan rencana masuk maupun keluar.

Terakhir, jangan lupa bahwa analisa ini bukan rekomendasi beli atau jual. Kondisi keuangan, profil risiko, serta horizon investasi setiap orang berbeda. Gunakan data di atas sebagai landasan untuk riset lanjutan, diskusi dengan penasihat keuangan, dan evaluasi portofolio pribadi. Jika dikelola dengan disiplin, Saham BBCA masih sangat mungkin menjadi tulang punggung portofolio jangka panjang banyak investor Indonesia.

Sumber: StockAnalysis

Exit mobile version