Site icon Lintas Fokus

UU KUHAP Baru Disahkan: 5 Poin Kontroversial yang Bikin Ngeri

UU KUHAP baru resmi disahkan.

UU KUHAP baru resmi disahkan.

Lintas Fokus UU KUHAP baru akhirnya diketuk palu DPR RI dalam Rapat Paripurna pada 18 November 2025. Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana yang selama bertahun-tahun dibahas ini kini resmi menjadi undang-undang dan akan berlaku penuh pada 2 Januari 2026, bersamaan dengan KUHP nasional yang lebih dulu disahkan pada 2023.

Secara resmi, pemerintah dan DPR memasarkan UU KUHAP sebagai tonggak reformasi sistem peradilan pidana. Mereka menekankan hadirnya Hakim Pemeriksa Pendahuluan, penguatan hak tersangka, korban, dan saksi, pendampingan advokat sejak awal, serta pengetatan prosedur penyadapan dan upaya paksa lain sebagai bukti bahwa regulasi ini lebih modern dibanding KUHAP 1981.

Namun di balik narasi “lebih humanis” itu, kritik terhadap UU KUHAP justru mengeras. Koalisi masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum menilai banyak pasal yang bisa membuka ruang penyalahgunaan wewenang, mengancam kebebasan sipil, serta memundurkan prinsip due process of law yang seharusnya diperkuat. Beberapa organisasi bahkan menyebut proses penyusunannya sebagai praktik “meaningful manipulation”, karena partisipasi publik dinilai hanya formalitas tanpa benar-benar diakomodasi dalam draf akhir UU KUHAP.

Di tengah situasi itu, publik berhadapan pada kenyataan bahwa dalam waktu hanya beberapa bulan, seluruh proses pidana di Indonesia akan berjalan memakai UU KUHAP baru. Itu berarti cara polisi menyelidik, cara jaksa menuntut, sampai peluang warga menggugat tindakan aparat di pengadilan akan sangat ditentukan oleh aturan ini. Wajar jika banyak yang bertanya: bagian mana saja yang sebenarnya paling berisiko bagi kebebasan warga biasa?

Pengesahan Kilat dan Latar Politik Hukum Baru

Secara prosedural, RUU KUHAP memang sudah dibahas sejak beberapa tahun lalu. Namun fase akhir pembahasan pada 2025 menuai sorotan karena akses publik terhadap draf terkini sangat terbatas. Beberapa media mencatat bahwa naskah yang kemudian disahkan DPR teridentifikasi merujuk pada versi Maret 2025 yang tidak mudah diakses masyarakat umum, bahkan bagi banyak akademisi dan organisasi masyarakat sipil yang sejak awal mengawal isu ini.

Di sisi lain, pimpinan DPR dan pemerintah justru menonjolkan klaim bahwa UU KUHAP adalah salah satu produk legislasi dengan partisipasi publik paling luas. Mereka menyebut puluhan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan kampus, organisasi profesi, hingga lembaga bantuan hukum, serta ratusan masukan tertulis yang dihimpun sejak 2023. Bagi koalisi masyarakat sipil, klaim itu menjadi sumber kekecewaan karena banyak substansi usulan yang dinilai hilang di draf akhir, terutama terkait pembatasan kewenangan upaya paksa aparat.

Faktor lain yang membuat tensi meningkat adalah konteks waktu. KUHP nasional yang baru akan berlaku 2 Januari 2026, sehingga DPR dan pemerintah berpacu merampungkan UU KUHAP sebelum akhir masa sidang 2025. Di satu sisi, kebutuhan memiliki hukum acara yang selaras dengan KUHP baru memang tidak terbantahkan. Namun di sisi lain, kecepatan itu menimbulkan kesan bahwa isu serius seperti penangkapan, penahanan, dan penyadapan “dikebut” dalam suasana politik yang tidak sepenuhnya kondusif untuk dialog mendalam.

Bagi banyak warga, yang paling terasa bukan soal detail pasal per pasal, melainkan kekhawatiran praktis: apakah UU KUHAP baru akan membuat orang lebih mudah ditangkap, lebih lama ditahan, lebih rentan disadap, atau lebih sulit menggugat tindakan aparat di pengadilan. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuat perhatian publik terhadap UU KUHAP melonjak tajam menjelang pemberlakuan.

Poin Paling Disorot dalam UU KUHAP Versi Terbaru

Dari sekian banyak pasal, ada beberapa klaster yang hampir selalu muncul dalam catatan kritis para ahli dan koalisi masyarakat sipil ketika membahas UU KUHAP. Sekalipun beberapa di antaranya dibantah oleh pemerintah dan DPR, perdebatan pada poin ini belum sepenuhnya reda.

Pertama, perluasan upaya paksa pada tahap penyelidikan. Dalam KUHAP lama, tahap penyelidikan relatif lebih terbatas dan belum menjadi ruang untuk penahanan. Dalam draf yang kini disahkan sebagai UU KUHAP, ketentuan Pasal 5 dan beberapa pasal terkait membuka ruang agar pada tahap penyelidikan sudah dapat dilakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, bahkan penahanan, padahal pada tahap ini tindak pidana belum sepenuhnya terkonfirmasi. Pengaturan inilah yang dipandang berbahaya karena “semua bisa kena” dalam situasi yang masih sangat prematur.

Kedua, rumusan mengenai penangkapan dan penahanan dalam kondisi “mendesak”. Beberapa analisis menyoroti klausul yang memungkinkan penyidik melakukan penahanan tanpa perlu persetujuan hakim terlebih dahulu, dengan alasan keadaan mendesak, dan baru kemudian hakim dilibatkan. Kekhawatiran muncul karena penilaian tentang keadaan mendesak sangat bergantung pada subjektivitas aparat, sementara kewajiban menghadapkan orang yang ditangkap ke hakim dalam batas waktu yang ketat dinilai belum tegas.

Ketiga, desain baru praperadilan. RUU KUHAP yang kemudian menjadi UU KUHAP mengatur kembali fungsi praperadilan, tetapi sejumlah pakar menilai ruangnya justru tidak cukup kuat untuk mengawasi tindakan upaya paksa aparat. Kolom-kolom analisis menyebut adanya “sengkarut praperadilan”, antara lain karena pengaturan masa penangkapan dan penahanan yang dihitung secara tumpang tindih serta tidak tegasnya kewajiban menghadapkan tersangka ke hakim. Jika praperadilan melemah, warga akan kesulitan menggugat tindakan aparat yang berlebihan.

Keempat, kewenangan penyadapan, pemblokiran rekening, dan penyitaan data digital. Dalam pemberitaan, UU KUHAP sempat dituduh memberi ruang penyadapan sewenang-wenang tanpa izin pengadilan serta pemblokiran tabungan dan pelacakan jejak digital secara luas. Pemerintah dan DPR secara terbuka membantah narasi tersebut dan menegaskan bahwa penyadapan maupun pemblokiran aset tetap mensyaratkan izin hakim atau ketua pengadilan. Meski demikian, koalisi masyarakat sipil mengingatkan bahwa rumusan pasal tentang alasan dan prosedur darurat masih bisa dimaknai longgar, sehingga risiko penyalahgunaan kewenangan tidak sepenuhnya tertutup.

Kelima, perluasan teknik penyelidikan khusus seperti undercover buy dan controlled delivery yang sebelumnya hanya diatur dalam undang-undang sektoral seperti narkotika. Dalam UU KUHAP, kewenangan ini dikhawatirkan dapat berlaku untuk hampir semua jenis tindak pidana, dengan pengawasan hakim yang dinilai belum memadai. Para pegiat bantuan hukum memperingatkan bahwa desain seperti ini rentan melahirkan praktik penjebakan, rekayasa perkara, dan kriminalisasi terhadap pihak yang sebenarnya tidak berniat melakukan kejahatan.

Di atas kertas, sebagian pasal memang memuat frasa perlindungan dan asas due process of law. Namun bagi banyak pengamat, ukuran utama tetaplah bagaimana UU KUHAP akan diterapkan di lapangan, terutama pada situasi konflik kepentingan yang melibatkan kelompok rentan atau kasus yang sensitif secara politik.

Wajib Tahu:

UU KUHAP baru tidak hanya mengatur penangkapan dan penahanan, tetapi juga memperkenalkan Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang secara teoretis bertugas menguji tindakan paksa seperti penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan sebelum atau sesaat setelah dilakukan.

Kekhawatiran Praktisi dan Koalisi Masyarakat Sipil

Sejak awal 2025, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP secara konsisten meluncurkan somasi terbuka, catatan masalah, hingga konferensi pers yang menyoroti draf RUU KUHAP. Mereka menilai UU KUHAP berpotensi memperkuat dominasi lembaga penegak hukum tertentu, memperlemah mekanisme checks and balances, dan membuka ruang penyimpangan terhadap prinsip praduga tak bersalah.

Dalam berbagai pernyataan, koalisi menyoroti setidaknya sembilan masalah krusial, mulai dari tidak adanya jaminan akuntabilitas penanganan laporan tindak pidana, rumusan penahanan yang terlalu longgar, hingga peluang penggunaan upaya paksa tanpa kontrol hakim yang memadai. Mereka juga menyoroti bahwa UU KUHAP masih mengandung “pasal karet” di ranah acara pidana, karena kriteria keadaan mendesak dan kebutuhan penyidikan dibiarkan sangat luas.

Isu partisipasi juga menjadi sorotan penting. YLBHI dan sejumlah anggota koalisi menuduh proses pembahasan RUU KUHAP sebagai “meaningful manipulation” karena meski di atas kertas tampak partisipatif, substansi masukan yang disampaikan dalam puluhan forum dialog dinilai tidak tercermin dalam naskah akhir. Keterbatasan akses publik terhadap draf terbaru sampai mendekati hari pengesahan membuat kecurigaan bahwa proses legislasi berjalan tertutup dan elitis.

Di lapangan, lembaga bantuan hukum yang sehari-hari mendampingi warga berhadapan dengan polisi dan jaksa menyoroti pengalaman masa lalu di bawah KUHAP lama: penahanan yang berlebihan, penyiksaan dalam pemeriksaan, hingga sulitnya menggugat tindakan aparat. Mereka khawatir, jika UU KUHAP baru tidak diikuti dengan pengawasan ketat dan budaya hukum yang berubah, perluasan wewenang di tahap penyelidikan dan penangkapan justru akan memperburuk situasi, bukan memperbaikinya.

Menariknya, di tengah kritik keras itu, terdapat juga kalangan akademisi dan praktisi yang melihat sisi positif UU KUHAP. Mereka menyoroti penguatan hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum sejak awal, kewajiban penyidik memberi tahu hak-hak tersangka sebelum pemeriksaan, penguatan peran advokat, serta perlindungan tambahan bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas dan anak. Namun, pihak-pihak ini juga mengakui bahwa manfaat UU KUHAP hanya akan terasa jika aparat sungguh-sungguh mematuhinya dan mekanisme pengawasan berjalan efektif.

Dampak Nyata Aturan Baru bagi Warga Biasa

Bagi warga biasa yang tidak mengikuti detail perdebatan pasal demi pasal, pertanyaan paling penting sangat sederhana: apa arti UU KUHAP baru dalam kehidupan sehari-hari. Di dunia yang serba digital, di mana percakapan bisa direkam, transaksi terekam, dan jejak data sulit dihapus, kekhawatiran terhadap kewenangan penyadapan, pemblokiran rekening, dan penyitaan perangkat elektronik menjadi sangat relevan. UU KUHAP menentukan kapan tindakan itu boleh dilakukan, oleh siapa, dan sejauh mana hakim berperan mengontrolnya.

Dalam konteks penangkapan dan penahanan, UU KUHAP juga akan memengaruhi seberapa cepat seseorang bisa dibawa ke kantor polisi, seberapa lama ia dapat ditahan sebelum dihadapkan ke hakim, dan seberapa kuat haknya untuk memperoleh bantuan hukum. Jika implementasi UU KUHAP lebih menonjolkan narasi “penindakan tegas” daripada perlindungan hak, maka warga yang minim akses informasi dan bantuan hukum berisiko menjadi korban pertama dari penyalahgunaan kewenangan.

Di sisi lain, jika janji pemerintah benar bahwa UU KUHAP memperkuat posisi Hakim Pemeriksa Pendahuluan, mewajibkan rekaman pemeriksaan, dan mempertebal hak tersangka serta korban, regulasi ini bisa menjadi momentum penting untuk membatasi praktik kekerasan, pemerasan, dan kriminalisasi yang selama ini dikeluhkan. Semua akan bergantung pada dua hal: ketegasan peraturan pelaksana dan keberanian lembaga peradilan mengontrol aparat penegak hukum.

Yang jelas, perdebatan tentang UU KUHAP tidak akan berhenti di ruang sidang paripurna. Setelah pengesahan, medan berikutnya adalah ruang pendidikan publik, ruang sidang pengadilan, dan kemungkinan pengujian konstitusionalitas di Mahkamah Konstitusi. Bagi warga, memahami garis besar kewenangan baru dan hak-hak yang dijamin UU KUHAP menjadi langkah minimal agar tidak sepenuhnya “buta hukum” ketika berhadapan dengan proses pidana yang kini telah berubah secara fundamental.

Sumber: ICJR

Exit mobile version