Lintas Fokus – Lampu pelabuhan Ketapang baru saja redup ketika KMP Tunu Pratama Jaya menanggalkan tali tambat pada 2 Juli 2025, pukul 22.56 WIB. Feri ro-ro berusia 32 tahun itu memuat 65 jiwa—53 penumpang, 12 awak—bersama 22 kendaraan. Laut tampak tenang, tetapi prakiraan Badan Meteorologi telah menandai Selat Bali dengan peringatan gelombang dua meter dan angin dominan 25–30 knot.
Dua belas menit selepas keberangkatan, radio VHF menyiarkan pesan pendek dari nakhoda: “Engine room flooding starboard, listing 20 degrees.” Kontak berikutnya tak pernah tiba. Dalam rentang kurang dari setengah jam, lambung kapal yang digerogoti air miring hingga 30 derajat, sekoci sisi kanan tak bisa diturunkan, dan bangkai feri akhirnya tenggelam pada koordinat 8°14′ LS – 114°24′ BT, sekitar tiga mil laut dari buoy No. 2 Selat Bali.
Kronologi Tragedi di Selat Bali
Versi resmi Basarnas dimulai saat ruang mesin kanan mendadak banjir. Pompa bilge utama gagal hidup; upaya darurat memindahkan kendaraan berat ke sisi kiri tidak sempat dilakukan. Sopir truk Surono—penumpang yang selamat—mengingat lampu padam, bau solar tajam, dan suara besi beradu setiap gelombang menampar dek.
Pada pukul 23.06 WIB awak jaga menekan tombol distress; sinyal otomatis tertangkap stasiun radio Maritim Ketapang dan AIS Pelabuhan Gilimanuk. Patroli KPLP KP Kalimaya yang sedang berjarak kurang dua mil bergerak pertama. Ketika tiba, hanya terlihat rakit penolong terbalik, peti kemas terapung, serta kilau life-jacket di sela ombak.
Operasi SAR di Tengah Arus Deras Selat Bali
Hari pertama pencarian melibatkan dua Rigid Inflatable Boat Basarnas, tiga kapal cepat KPLP, satu kapal tug masyarakat, dan helikopter Dauphin HR-3602 TNI AL. Komandan Pos SAR Banyuwangi, Wahyu Setiabudi, membagi sektor pencarian kipas selebar 10 mil laut, memprioritaskan arus permukaan Selat Bali yang bergerak tenggara 1,3 knot.
Hingga fajar, tim mengevakuasi 23 penumpang hidup—tujuh di antaranya bertahan di atas jeriken plastik. Empat jenazah diangkat dari serpih kayu dek. Penyelam TNI AL menandai bangkai kapal di kedalaman 41 meter; jarak pandang di dasar hanya 50 sentimeter, memperlambat inspeksi kompartemen. Arus bawah dikenal ganas—nelayan setempat menyebutnya nggeblak, arus yang tiba-tiba menyeret siapa saja ke timur laut.
Paragraf pendek.
Peluit, teriakan, dan gemuruh gelombang berpadu di bawah cahaya lampu sorot kapal patroli.
Investigasi Awal: Apa yang Salah di Selat Bali?
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) telah mengambil voyage data recorder serta buku harian mesin. Catatan docking Mei 2025 memperlihatkan pompa bilge kanan tercatat “fungsi memadai”, tetapi tidak ada uji load test penuh. Pakar keselamatan pelayaran Capt. Bambang Haryanto menilai satu kerusakan itu saja bisa memicu bencana ketika jalur Selat Bali bergelombang: air yang tidak dipompa keluar menambah beban lambung, membuat stabilitas menurun eksponensial setiap derajat kemiringan.
Pembagian muatan juga disorot. Dari 14 truk di dalam dek, 11 ditempatkan di jalur starboard untuk mempercepat bongkar di Gilimanuk. Ketika ruang mesin kanan terendam, berat ekstra kendaraan menciptakan momen gulung berlebih—proses yang “hanya butuh beberapa menit” menurut simulasi awal KNKT.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memerintahkan inspeksi dadakan semua feri berusia di atas 30 tahun di lintas Ketapang–Gilimanuk. Setiap kapal ro-ro diwajibkan memasang sensor kebocoran digital yang terhubung ke command center Basarnas. Audit khusus mengenai prosedur penutupan palka kendaraan juga dimulai—data kecelakaan 2015-2024 menunjukkan 60 % insiden Selat Bali dipicu air masuk dari dek terbuka.
Langkah Darurat dan Target 24 Jam di Selat Bali
Posko krisis center di Pelabuhan Ketapang memverifikasi manifes: 65 nama, termasuk awak. Dokumen identitas dipadukan sidik jari elektronik untuk mempercepat body matching jika korban ditemukan tidak utuh—arus kuat Selat Bali kerap menyeret jenazah menuju Pantai Pasir Putih Situbondo.
Tim SAR menetapkan “golden hour” 24 jam pertama. Helikopter melakukan sweep search setiap dua jam, sementara penyelam dikerahkan dalam rotasi 30 menit agar tidak terkena nitrogen narcosis. Pukul 15.00 WIB hari kedua, radar SAR menemukan obyek reflektif—dipastikan bagian atap kabin feri—di kedalaman 38 meter. Dua mayat lain dievakuasi, menjadikan total korban tewas enam orang; 32 masih hilang, angka yang bisa berubah saat laporan ini dipublikasikan.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyiapkan santunan Rp 15 juta per korban meninggal, sesuai peraturan gubernur. Semua penumpang selamat menjalani pemeriksaan kesehatan di RSUD Blambangan; sebagian mengalami hipotermia ringan dan trauma inhalasi air laut.
Sumber: Reuters