33.4 C
Jakarta
Tuesday, August 26, 2025
HomeBeritaNusron Wahid Minta Maaf: Klarifikasi Tanah Negara, Aturan Dipertegas

Nusron Wahid Minta Maaf: Klarifikasi Tanah Negara, Aturan Dipertegas

Date:

Related stories

“Suara Jalanan Menggema”: Dukung Palestina di Brisbane Menyulut Gaung Global

Lintas Fokus - Brisbane kembali memadati ruang publik: spanduk,...

Honor X7d Review: Kuat, Irit, dan (Akhirnya) Masuk Akal untuk Pemakaian Harian

Lintas Fokus - Tanpa gimik berlebihan, Honor X7d datang...

28 Agustus 2025: Gelombang Besar dengan Taruhan Kebijakan

Lintas Fokus - Satu tanggal mengerucut di linimasa: 28...
spot_imgspot_img

Lintas Fokus Polemik soal pernyataan Nusron Wahid mengenai “semua tanah milik negara” akhirnya ditutup dengan permintaan maaf terbuka sekaligus klarifikasi terperinci. Dalam keterangan resminya, Nusron Wahid menegaskan maksud ucapannya adalah penertiban tanah telantar—khususnya hak guna (HGU/HGB) yang dibiarkan menganggur—bukan sawah, pekarangan, atau tanah waris rakyat. Ia mengakui ada bagian guyon yang keliru konteks sehingga memunculkan tafsir seolah negara bisa mengambil semua tanah warga. Penegasan ini penting agar kebijakan pertanahan tidak dibaca sebagai ancaman hak milik, melainkan penegakan tata kelola bagi lahan besar yang mangkrak.

Klarifikasi juga merujuk pada fondasi konstitusional: Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebut bumi dan air “dikuasai oleh negara” untuk kemakmuran rakyat. Di sini kata kunci “dikuasai” bukan berarti “dimiliki langsung”; negara berwenang mengatur, mengurus, dan menata peruntukan, tetapi hak-hak perdata warga tetap ada selama sesuai aturan. Dengan demikian, pernyataan Nusron Wahid kini diletakkan di koridor hukum yang tepat.


Garis Waktu Polemik & Isi Klarifikasi Nusron Wahid

Kegaduhan bermula dari video yang memotong sebagian penjelasan Nusron Wahid tentang tanah telantar. Potongan itu viral dan memicu kekhawatiran publik. Menyikapi hal tersebut, Nusron Wahid menggelar keterangan pers dan meminta maaf sembari meluruskan beberapa hal kunci: sasaran kebijakan adalah tanah telantar berskala besar yang tidak digunakan sesuai perizinan, bukan sertifikat hak milik (SHM) rumah tangga. Ia menambahkan, setiap tindakan negara harus melalui prosedur administrasi dan uji kepatuhan hukum.

Klarifikasi itu membuat batas kebijakan menjadi jelas. Pertama, penertiban tanah telantar bisa dilakukan jika pemegang hak membiarkan lahan tidak produktif dalam periode tertentu yang ditetapkan regulasi. Kedua, ada tahapan sanksi—dari peringatan, evaluasi, hingga pencabutan/pelepasan hak—bukan pengambilalihan seketika. Ketiga, pascapenertiban, lahan harus diperuntukkan kembali untuk kepentingan publik, program reforma agraria, atau prioritas pembangunan sesuai rencana tata ruang.

Untuk meredam kekhawatiran, Nusron Wahid juga menegaskan komitmen perlindungan hak warga: tanah milik masyarakat yang produktif dan sesuai peruntukan tidak termasuk sasaran. Pilihan kata di masa lalu yang bernada bercanda diakui tidak tepat, dan hal itu kini sudah dikoreksi.


Apa Arti “Dikuasai Negara” dalam Hukum Pertanahan

Bagian yang paling sering disalahpahami adalah frasa “dikuasai negara”. Dalam praktik, istilah itu berarti negara memegang otoritas publik untuk: (1) mengatur peruntukan lahan melalui UU/PP/Perda; (2) menerbitkan dan mengevaluasi perizinan (HGU, HGB, HP); (3) memastikan kemanfaatan sosial lahan; serta (4) menindak pelanggaran melalui mekanisme yang diatur hukum administrasi dan perdata. Artinya, negara tidak serta-merta menjadi pemilik perdata atas lahan yang sudah bersertifikat milik warga.

Konteks inilah yang ingin ditonjolkan lewat koreksi Nusron Wahid. Ketika ada lahan besar diberi hak guna tetapi sengaja ditelantarkan, negara berhak menilai ulang kelayakan izin. Jika pemegang hak mengabaikan kewajiban—misalnya, tidak memanfaatkan lahan sesuai rencana kerja, menimbulkan dampak lingkungan, atau menghambat kepentingan umum—maka penertiban bisa ditempuh. Langkahnya bertahap dan terbuka: ada notifikasi, waktu perbaikan, hingga kemungkinan pelepasan hak jika tidak ada kepatuhan.

Bagi masyarakat, pemahaman ini penting agar perdebatan tidak bergeser ke isu yang menakut-nakuti. Negara berkewajiban melindungi hak perdata sekaligus mencegah spekulasi lahan berskala besar yang merugikan ekonomi dan lingkungan. Dengan menempatkan kebijakan pada koridor hukum, koreksi Nusron Wahid justru menjadi momentum untuk menata ulang tata kelola pertanahan secara lebih jernih.


Dampak Kebijakan: Penertiban Tanah Telantar Tanpa Melukai Hak Rakyat

Klarifikasi Nusron Wahid membuka tiga ruang perbaikan kebijakan yang bisa langsung dipantau publik.

1) Definisi operasional yang tegas.
Selama ini, istilah “telantar” kerap multitafsir. Pemerintah perlu memublikasikan kriteria terukur: indikator ketidakaktifan, durasi penelantaran, parameter produktivitas, dan ukuran kepatuhan lingkungan. Dengan indikator yang jelas, pelaku usaha paham batas main, sementara warga mendapatkan kepastian bahwa kebijakan tidak melebar ke lahan mereka.

2) SOP sanksi bertahap dan hak keberatan.
Penertiban harus dilengkapi SOP yang memuat alur peringatan, perbaikan, pemeriksaan lapangan, hingga keputusan. Di setiap tahap, pemegang hak diberi kesempatan membela diri atau mengajukan keberatan. Transparansi proses akan menekan praktik transaksional yang selama ini mencoreng layanan pertanahan.

3) Transparansi pascapenertiban.
Setelah hak dilepas, kemana lahan dialihkan? Apakah untuk reforma agraria, ketahanan pangan, perumahan rakyat, atau hutan sosial? Pemerintah idealnya membuat dasbor publik berisi lokasi, luasan, dasar hukum, dan peruntukan baru. Dengan begitu, masyarakat bisa menilai bahwa kebijakan benar-benar pro-kemakmuran dan bukan sekadar memindahkan kontrol dari satu tangan ke tangan lain.

Selain tiga hal di atas, koreksi Nusron Wahid memberi sinyal bahwa pembenahan layanan BPN harus berjalan paralel: percepatan digitalisasi sertipikat, pembersihan tumpang tindih dokumen, serta penguatan kanal pengaduan. Bila ini berjalan, narasi kontroversi akan bergeser menjadi cerita perbaikan.


Checklist Publik: Apa yang Perlu Dipantau Setelah Klarifikasi

Agar permintaan maaf Nusron Wahid tidak berhenti sebagai simbol, publik bisa mengawal empat indikator berikut.

(a) Aturan turunan terbaru.
Apakah ada pembaruan peraturan menteri atau petunjuk teknis yang mempertegas batas telantar? Dokumen ini penting untuk mencegah tafsir yang berbeda-beda antar daerah.

(b) Pengawasan independen.
Apakah Ombudsman, KPK, atau BPKP dilibatkan untuk memetakan risiko maladministrasi dalam proses penertiban? Pengawasan eksternal akan menaikkan kepercayaan.

(c) Laporan triwulanan.
Apakah Kementerian ATR/BPN menayangkan statistik penertiban: jumlah bidang, luasan, hasil akhir, serta dampaknya bagi masyarakat? Laporan yang konsisten akan menutup ruang spekulasi.

(d) Edukasi hak-hak warga.
Apakah pemerintah aktif mengedukasi soal jenis-jenis hak atas tanah (SHM, HGB, HGU, HP), syarat perpanjangan, dan kanal sengketa? Edukasi mencegah hoaks dan memudahkan warga mempertahankan haknya.

Jika keempat indikator ini bergerak, koreksi Nusron Wahid bisa menjadi pijakan reformasi agraria yang lebih adil: hak warga terlindungi, tanah telantar ditertibkan, dan kepastian hukum meningkat.

Wajib Tahu:

Kunci klarifikasi Nusron Wahid: fokus pada tanah telantar (terutama HGU/HGB), bukan tanah hak milik warga; frasa “dikuasai negara” berarti wewenang publik untuk mengatur, bukan mengambil alih secara massal. Penertiban wajib melalui prosedur bertahap, transparan, dan bisa diawasi.

Sumber: CNN Indonesia

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img