Site icon Lintas Fokus

“Menolak Debat & Nada Mengemong”: Mengapa Publik Tersulut

Ahmad Sahroni menolak ajakan debat Salsa Erwina.

Ahmad Sahroni menolak ajakan debat Salsa Erwina.

Lintas Fokus Gelombang kritik menguat setelah Ahmad Sahroni menolak ajakan debat dari Salsa Erwina. Penolakan itu ia sampaikan lewat unggahan bercampur gurauan—mengaku “mau bertapa dulu biar pinter” karena “masih bloon/bego”—yang sontak viral. Bagi banyak warganet, gaya santai Ahmad Sahroni justru terdengar seperti orang dewasa yang mengemong anak rewel: dibiarkan saja, nanti juga diam sendiri. Di tengah panasnya isu diksi “orang tolol sedunia” yang lebih dulu ia lontarkan saat menanggapi seruan pembubaran DPR, pilihan retorika ini dipandang kontra-produktif: bukan meredakan, malah menambah bara. Fakta penolakan debat beserta kutipannya termuat di sejumlah laporan media hari ini.

Konteksnya penting. Sejak pekan lalu, Sahroni dikritik setelah menyebut desakan membubarkan DPR sebagai “mental orang tolol sedunia”. Ia kemudian mengklarifikasi bahwa ucapannya tak diarahkan pada publik secara umum, melainkan pada cara berpikir yang ia anggap keliru. Namun, dalam politik, diksi adalah nasib: begitu frasa itu lepas, sentimen negatif telanjur menyebar dan menempel pada figur. Kronologi dan klarifikasi tersebut terekam di berbagai pemberitaan.

Profil & Jejak Salsa Erwina

Siapa sosok yang menantang itu? Salsa Erwina (Salsa Erwina Hutagalung) dikenal sebagai diaspora Indonesia yang kini bermukim di Denmark. Di media sosial, ia aktif mengulas isu budaya, dukungan kesehatan mental, hingga literasi kedewasaan, serta memimpin inisiatif Jadi Dewasa 101. Jejak daringnya menunjukkan latar Hubungan Internasional UGM dan rekam aktivitas debat saat kuliah, yang membuatnya akrab dengan format adu argumen terstruktur. Di unggahan terbaru, ia menegaskan ajakan debat terhadap Sahroni bukan untuk menjatuhkan, melainkan menguji data dan logika kebijakan serta etika komunikasi pejabat publik.

Salsa juga menekankan satu hal yang disetujui banyak warga: kritik keras boleh, tapi pejabat publik wajib menjelaskan secara terbuka saat ucapannya dinilai melukai marwah pemilih. Atas dasar itu, ia menawarkan forum debat—bahkan bersedia difasilitasi juri independen—untuk menguji pernyataan, angka, dan argumen masing-masing pihak. Ajakan ini memantik respons luas, dan puncaknya bertemu dengan unggahan penolakan Ahmad Sahroni tadi.

Ahmad Sahroni Menolak Debat: Nada yang Dinilai “Mengemong”

Menolak debat adalah hak pribadi seorang politisi. Namun, mengingat posisi Ahmad Sahroni sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR, standar ekspektasi publik terhadap akuntabilitas dan empati jelas lebih tinggi. Di sini, yang disorot bukan hanya “tidak mau berdebat”, melainkan cara ia menolak. Pilihan diksi “bertapa dulu”, “masih bloon/bego”, di telinga banyak orang terdengar seperti patronizing—mengasuh lawan bicara bagai anak kecil yang akan diam sendiri jika tak ditanggapi. Persepsi ini makin kuat karena muncul setelah kontroversi frasa “orang tolol sedunia”. Rangkaian pemberitaan mengutip langsung kalimat penolakannya dan menempatkan momen tersebut dalam arus protes warganet.

Padahal, momentum itu bisa jadi panggung korektif. Di tengah badai, Ahmad Sahroni bisa mengubah narasi dengan mengundang forum tanya jawab terbuka—misalnya sesi dialog yang disiarkan publik—untuk menjelaskan duduk perkara, dasar pikir, serta rencana perbaikan komunikasi. Alih-alih demikian, ia memilih humor merendah. Strategi ini mungkin bermaksud meredakan tensi, tetapi dalam isu yang menyentuh martabat pemilih, humor kerap dibaca sebagai pengabaian.

Gaji DPR dari Uang Rakyat: Kenapa Publik Berhak Bertanya

Salah satu poin bahasa yang terus diulang publik adalah: DPR digaji dari uang rakyat. Secara konstitusional, gaji dan berbagai tunjangan anggota DPR dibebankan pada APBN, yaitu anggaran pendapatan dan belanja negara yang bersumber dari penerimaan pajak, PNBP, dan lainnya. Dasarnya terang-benderang dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan peraturan turunannya. Dengan demikian, ketika Ahmad Sahroni—atau siapa pun anggota DPR—berbicara, publik wajar menuntut pertanggungjawaban atas kata-kata dan kebijakannya.

Di saat yang sama, diskusi terbaru tentang struktur penghasilan DPR—yang menggabungkan gaji pokok, berbagai tunjangan, hingga fasilitas—kembali mengemuka. Laporan media ekonomi menjabarkan rincian yang membuat publik mengernyit, dari tunjangan perumahan, perjalanan, hingga PPh yang mekanismenya menjadi sorotan. Informasi kerangka dasarnya bisa dirujuk melalui kanal hukum yang merangkum dasar hukum gaji DPR, plus bahasan media finansial mengenai komponen tunjangan dan pembaruan kebijakan perpajakannya. Semua ini mempertegas satu hal: transparansi dan komunikasi bukan bonus, melainkan kewajiban.

Dalam kerangka itu, ajakan debat dari Salsa Erwina relevan bukan karena sensasi, tetapi karena menyasar substansi: apakah ucapan Ahmad Sahroni tepat secara etika representasi? Apa data yang mendasari sikapnya menolak seruan pembubaran DPR? Bagaimana skema gaji/tunjangan dan akuntabilitasnya dipertanggungjawabkan di hadapan pemilih?

Pelajaran Komunikasi Publik & Jalan Keluar

Ada tiga pelajaran yang bisa diambil. Pertama, kata-kata itu kebijakan. Ketika Sahroni menyebut “orang tolol sedunia”, publik menangkapnya sebagai sikap lembaga, bukan sekadar emosi personal. Bahkan setelah ada klarifikasi, frasa tajam tetap menempel di memori politik pemilih. Kedua, menolak tanpa meremehkan. Jika debat terbuka tak dianggap solusi, setidaknya hadirkan forum alternatif: konferensi pers dengan sesi tanya-jawab, rapat dengar pendapat dengan pakar/LSM, atau diskusi terstruktur yang menampilkan data dan rujukan hukum. Ketiga, kembalikan percakapan ke angka & regulasi. Jelaskan dengan jernih: fungsi DPR, struktur penghasilan yang sah menurut aturan, dan komitmen memperbaiki kanal partisipasi warga.

Di titik ini, bola ada pada Ahmad Sahroni. Ia bisa menggandakan kesan “mengemong” dan membiarkan isu meredup pelan, atau mengambil inisiatif: hadir dalam forum terbuka, memohon maaf atas pilihan diksi, lalu memaparkan komitmen konkret—misalnya audit komunikasi publik di komisinya, pelatihan etika komunikasi untuk anggota, serta transparansi berkala ihwal kinerja dan serapan. Dengan langkah itu, Ahmad Sahroni tak hanya mengakhiri polemik, tapi juga mengubahnya menjadi modal kepercayaan.

Wajib Tahu:

Sumber: Suara

Exit mobile version