27.6 C
Jakarta
Saturday, October 11, 2025
HomeFilmReview Tanpa Basa-basi: “Ares” Menggelegar, Tapi Benarkah Tron Terbaru Ini Layak Hype?

Review Tanpa Basa-basi: “Ares” Menggelegar, Tapi Benarkah Tron Terbaru Ini Layak Hype?

Date:

Related stories

The Batman 2 Lebih Menakutkan: Bukti, Bocoran, dan Alasan Wajib Nonton

Lintas Fokus - Gelap, muram, dan sekarang diklaim lebih...

Marvel Zombies Review: Horor Ganas yang Akhirnya Berani, tapi Cukup Cerdas?

Lintas Fokus - Ketika Marvel mengumumkan serial animasi Marvel...

Ratu Ratu Queens: Prekuel Penuh Kejutan yang Menghangatkan Hati

Lintas Fokus - Jika Anda merindukan kehangatan tante-tante kocak...
spot_imgspot_img

Lintas Fokus Ada dua kubu besar setelah “Ares” tayang perdana: mereka yang tersihir oleh visual dan audio yang merapat ke batas maksimal bioskop, dan mereka yang merasa cerita masih berhutang kedalaman. Fakta dasar dulu supaya tidak tersesat: “Tron: Ares” digarap sutradara Joachim Rønning dengan jajaran pemain Jared Leto, Greta Lee, Evan Peters, Jeff Bridges dan lainnya; musiknya oleh Nine Inch Nails (Trent Reznor dan Atticus Ross), dan perilisan reguler di Amerika dijadwalkan 10 Oktober 2025 setelah premiere Los Angeles 6 Oktober 2025. Ulasan awal terpantau bercampur: banyak pujian pada tampilan dan skor, sekaligus kritik pada naskah.

Di ruang dengar, “Ares” jelas bukan produksi seadanya. IMAX, Dolby Cinema, hingga format premium lain dimanfaatkan untuk menonjolkan dunia neon Tron yang kini terasa lebih gelap dan padat. Trailer dan materi promosi yang dirilis beberapa bulan terakhir menekankan misi berbahaya seorang program super ke dunia nyata, dan inilah yang menjadi mesin naratif utama film. Pertanyaannya: seberapa jauh “Ares” memadukan tontonan dan isi, bukan sekadar parade efek?

Visual, Audio, dan Dunia TRON yang Lebih Pekat

Kekuatan paling mudah ditunjuk ada pada desain produksi dan sinematografi. Garis neon dan arsitektur digital yang ikonik kembali, namun kali ini punya kegetiran industrial yang terasa menekan. Rønning memahat ruang yang luas untuk kamera, sehingga setiap gerak lensa ikut memindahkan napas penonton ke dalam Grid. Keputusan menghadirkan skor oleh Nine Inch Nails bekerja sebagai penyalur tensi: lapisan industrial mereka bukan sekadar musik latar, melainkan jantung ketegangan yang berdenyut konstan. Beberapa media Eropa dan Skandinavia terang-terangan menyebut tontonan ini “dirancang untuk layar besar,” karena kejayaan film justru meledak ketika suara dan gambar dipacu hingga atap.

Dalam beberapa set piece, “Ares” menemukan bentuk terbaiknya. Perburuan di koridor digital, permainan cahaya kontras, juga integrasi efek visual dengan set fisik yang menyaru mulus, memamerkan kematangan teknis. Anda akan mengingat tekstur permukaan, kilau kostum, hingga detail perangkat yang nyaris bisa disentuh. Ini tontonan yang menuntut bioskop sebagai medium utama, bukan sekadar layar rumahan.

Narasi dan Karakter: Emosi vs Nostalgia

Di sinilah perdebatan bermula. Sejumlah kritikus menilai naskahnya belum cukup “menguncang” untuk menyamai gemuruh teknis. Ada yang menyebut dramanya kosong, ada pula yang menilai karakter-karakter pendatang baru belum menemukan alasan emosional yang kuat untuk benar-benar kita pedulikan. Namun, sisi lain dari argumen ini adalah ambisi film untuk kembali membangun jembatan nostalgia ke semesta orisinal sambil menyisipkan isu AI kontemporer. Beberapa ulasan menggarisbawahi bahwa meski formula terasa familier, film tetap menyuguhkan hiburan yang solid bagi penonton yang mencari spektakel futuristik.

Dalam bingkai franchise, kita memang meminta terlalu banyak hal sekaligus: kesinambungan mitologi, karakter baru yang hidup, dan evolusi ide. “Ares” setidaknya berusaha menjahit semua itu, walau hasilnya—tergantung toleransi Anda pada dialog dan ritme penceritaan—bisa terasa pas atau menuntut maaf.

Ares di Antara Dua Dunia: Apa yang Berhasil?

Sebagai tokoh, Ares dirancang sebagai program canggih yang menyeberang ke dunia nyata, langkah yang menurut tradisi Tron adalah wilayah tabu. Taruhannya bukan hanya kontak pertama manusia dengan “makhluk” digital, tetapi juga pertanyaan moral tentang agensi dan kendali. Di atas kertas, ini adalah arena drama besar: bagaimana manusia merangkul entitas yang lahir dari kode, dan bagaimana Ares memaknai eksistensi di luar Grid. Performanya akan terasa berbeda bagi tiap penonton: ada yang melihat Ares dingin namun efektif sebagai “avatar gagasan”, ada pula yang merindukan gestur manusiawi lebih banyak. Yang jelas, potensi konseptualnya menyala—dan itu yang menjaga “Tron” tetap relevan.

Di sisi world-building, konflik korporasi dan ambisi teknologi menambah lapisan aktual: siapa yang berhak mengetuk pintu antara realitas dan ranah digital? Di sini peran karakter yang dimainkan Greta Lee dan Evan Peters memberi konteks bisnis dan etika, sementara kehadiran Jeff Bridges menyambungkan garis warisan Kevin Flynn. Anda akan menemukan benang merah yang memadai untuk menautkan film baru ke mitologi lama tanpa harus menghafal seluruh kronik.

Verdi Teknis: IMAX, Skor, dan Sinematografi

Ares” dibuat untuk mengepalkan tangan di sandaran kursi. Pilihan format IMAX, 4DX, ScreenX, RealD 3D, Dolby Cinema disediakan luas; dan ini bukan gimmick: peta suara dipenuhi tekstur industri, dentum synth, dan drone berlapis yang mengisi ruang kepala Anda. Pada tataran industri, menarik melihat Nine Inch Nails bukan hanya menyusun skor, tetapi ikut berada di kursi kreator yang memengaruhi napas film secara keseluruhan, hingga mendapatkan kredit menonjol. Bagi penggemar audio, album skornya nyaris menjadi “rilis wajib” tersendiri.

Secara fotografi, “Ares” bermain di keseimbangan digital-organik: refleksi, flare, dan partikel berpadu rapi dengan rendering neon. Beberapa adegan terasa seperti galeri instalasi cahaya yang bergerak, namun tetap mempertahankan sense of scale. Jika Anda ingin mengukur “nilai bioskop” dari sebuah film, inilah salah satu judul yang menjawabnya tegas.

Wajib Tahu:

“Ares” rilis bioskop 10 Oktober 2025 (US) setelah premiere 6 Oktober 2025; sutradara Joachim Rønning; skor oleh Nine Inch Nails; ulasan awal bercampur: visual dan audio banyak dipuji, naskah diperdebatkan.


Putusan Akhir: Tonton di Layar Terbesar, Nikmati, Lalu Debatkan

Jika Anda menonton film terutama untuk pengalaman audiovisual, “Ares” adalah jamuan penuh: megah, presisi, dan memanjakan indera. Jika Anda datang mencari revolusi cerita yang menabrak pakem fiksi ilmiah arus utama, ekspektasi perlu disetel. Namun begitulah Tron sejak dulu: ia hidup di irisan antara inovasi visual dan mitologi teknologi yang selalu belum selesai. “Ares” melanjutkan tradisi itu—dan memaksa kita, setidaknya, untuk mendiskusikan ulang batas antara manusia, mesin, dan panggung besar bernama bioskop. Bagi publisher dan penikmat budaya pop, ini juga konten emas: trailer kuat, poster menggoda, dan diskursus AI yang terus relevan.

Sumber: The Hollywood Reporter

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img