27.7 C
Jakarta
Friday, September 5, 2025
HomeOpiniCivil Phobia Meledak di Tahun Politik: Antara Data, Narasi, dan Ujian Demokrasi

Civil Phobia Meledak di Tahun Politik: Antara Data, Narasi, dan Ujian Demokrasi

Date:

Related stories

Jadwal Timnas Indonesia: “Gas!” Dua Laga, Dua Window—Siapkah Garuda Menjaga Momentum?

Lintas Fokus - Kalender internasional kembali menyala dan Jadwal...

Indonesia vs Chinese Taipei: “Wajib Menang di Kandang” atau Gagal Momentum?

Lintas Fokus - Pertandingan persahabatan bertajuk Indonesia vs Chinese...

“Geger!” Nadiem Makarim Resmi Tersangka Chromebook—Apa Saja Fakta Mencoloknya?

Lintas Fokus - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Nadiem Makarim...

Venezuela vs Argentina: “Pertarungan Tanpa Ampun” di Buenos Aires

Lintas Fokus - Laga Venezuela vs Argentina pada lanjutan...
spot_imgspot_img

Lintas Fokus Gelombang protes yang menguat sejak akhir Agustus—dari Jakarta hingga Makassar—mengantar satu istilah ke pusat perbincangan: Civil Phobia. Bukan sekadar label tren, Civil Phobia merujuk pada kecenderungan negara atau elite memandang warganya sendiri sebagai ancaman saat warga menggunakan hak konstitusional: berkumpul, berserikat, menyampaikan pendapat. Saat Presiden Prabowo Subianto menyatakan duka, memerintahkan pengusutan, sekaligus menunda kunjungan ke Tiongkok karena eskalasi unjuk rasa dan kericuhan di berbagai kota, ruang publik juga disuguhi narasi “massa bayaran” dan “antek asing” yang melekat pada sebagian demonstrasi. Dua arus ini—empati dan kecurigaan—menguji apakah kita sedang menyembuhkan luka demokrasi, atau tanpa sadar memupuk Civil Phobia itu sendiri.

Definisi, Asal-usul, dan Mengapa Ramai

Dalam wacana populer, Civil Phobia dipahami sebagai ketakutan/antipati terhadap warga sipil saat mereka menyuarakan kritik—state of mind yang sering menjelma jadi kebijakan pengamanan berlebih atau peraturan yang menyepelekan hak sipil. Pada level teori, istilah ini berkelindan dengan kritik terhadap bias keamanan dalam relasi negara–masyarakat: ketika lensa “stabilitas” mengalahkan lensa “hak”. Diskursus lokal ikut memotret fenomena ini melalui perdebatan soal pasal-pasal karet, polisi yang overreact, dan budaya birokrasi yang menutup diri dari masukan warga. Civil Phobia menjadi headline karena konteks faktualnya panas: demonstrasi membesar, bangunan dewan daerah terbakar, korban jiwa bertambah, dan pemerintah plus aparat berada dalam sorotan.

Di saat yang sama, indikator kebebasan sipil global tidak memanjakan kita. Freedom House 2025 menempatkan Indonesia pada skor 56/100 (Partly Free), turun tipis dari tahun sebelumnya. Ini bukan vonis final, namun warning light bahwa ruang sipil kita belum sepenuhnya aman. Amnesty International juga mencatat pola berulang: protes sering dipenuhi kekuatan berlebihan, jurnalis disasar, dan undang-undang problematik masih dipakai mengekang ekspresi. Civil Phobia mendapat panggung karena ada datanya—bukan sekadar perasaan.

Civil Phobia dalam Narasi “Massa Bayaran” dan “Antek Asing”

Dalam beberapa kesempatan, Prabowo mengaitkan demonstrasi dengan “massa bayaran”—menyebut koruptor di balik gerakan bertajuk Indonesia Gelap—serta menuding adanya “antek asing” yang tak suka Indonesia maju. Narasi seperti ini lazim dipakai pemerintah di berbagai negara untuk mereduksi legitimasi aksi: fokus publik bergeser dari substansi tuntutan ke motif pendanaan atau aktor eksternal. Secara politik, framing tersebut bisa efektif meredam simpati; namun secara demokratis, ia berisiko memupuk Civil Phobia, karena protes—yang mestinya kanal koreksi—lebih dulu dilabeli “tak murni”.

Di sisi lain, kantor negara menyampaikan nada empati dan akuntabilitas: Presiden menyatakan belasungkawa untuk Affan Kurniawan, memerintahkan usut tuntas–transparan, bahkan menunda lawatan ke China untuk fokus pada krisis domestik. Dua nada ini—empati dan kecurigaan—menjadi penentu apakah kebijakan berikutnya akan menjauh dari Civil Phobia atau justru mempertebalnya. Jika tudingan “massa bayaran”/“antek asing” tidak diikuti bukti operasional (aliran dana, struktur mobilisasi, keterhubungan aktor), maka label mudah berubah jadi blanket suspicion kepada warga. Hasilnya: partisipasi melemah, trust merosot.

Gejala Nyata: Angka Kebebasan, Regulasi, Respons

Pertama, data kebebasan sipil. Tren 56/100 pada Freedom House dan catatan Amnesty soal kekerasan berlebih terhadap demonstran serta jurnalis menandai pekerjaan rumah serius. Dengan latar kerusuhan—termasuk pembakaran gedung DPRD Makassar hingga menewaskan sedikitnya tiga orang—kecenderungan hard security mudah menguat. Jika tidak dipandu indikator yang tepat, respons keamanan yang keras malah memperlebar jurang Civil Phobia.

Kedua, ambivalensi regulasi. Putusan MK No. 105/PUU-XXII/2024 mempertegas bahwa pasal pencemaran nama baik di UU ITE 1/2024 tidak untuk melindungi lembaga pemerintah, korporasi, atau institusi—maksudnya, kritik terhadap lembaga publik tak boleh langsung dipidanakan dengan pasal defamasi ITE. Ini kabar baik, namun transisi menuju KUHP 2023 (efektif 2026) masih menyisakan delik penghinaan yang menuai kritik komunitas kebebasan sipil. Di sinilah ruang Civil Phobia kerap muncul: pasal longgar di tangan aparat yang dibebani target keamanan.

Ketiga, pengelolaan krisis. Fakta bahwa Presiden membatalkan perjalanan ke Tiongkok demi mengawal situasi, sementara pemerintah memanggil platform media sosial untuk memperketat moderasi konten demi menekan disinformasi, menandai respons all of government. Respons seperti ini perlu guardrail: transparansi data penanganan, batas yang jelas antara pelaku kriminal dan mayoritas massa damai, serta perlindungan bagi jurnalis dan human rights defenders. Tanpa pagar itu, Civil Phobia mudah merayap jadi justifikasi pembatasan yang berlebihan.

Wajib Tahu:

Civil Phobia tumbuh subur saat substansi tuntutan (upah, layanan publik, akuntabilitas) ditenggelamkan label—misal “massa bayaran” atau “antek asing”—tanpa bukti yang dipublikasikan. Begitu label menjadi kebijakan, pintu dialog menyempit, biaya sosial meroket.

Jalan Keluar: Ukurannya Harus Terlihat

1) Data dulu, narasi belakangan. Pemerintah sudah menjanjikan usut tuntas–transparan. Lengkapi dengan laporan berkala terbuka: jumlah penangkapan, dasar hukum, berapa yang dibebaskan, berapa dilanjutkan ke pengadilan, hasil evaluasi SOP pengamanan. Ketika angka tersedia, klaim “bukan Civil Phobia” bisa diuji dan dipercaya—bukan sekadar retorika.

2) Bukti untuk setiap tuding. Jika dipakai istilah “massa bayaran” atau “antek asing”, sertakan peta bukti: jalur logistik, pendanaan, aktor penghubung. Tanpa itu, narasi akan dianggap mengambang dan justru merusak kredibilitas pemerintah sendiri serta memupuk Civil Phobia.

3) Selesaikan pasal karet. Implementasikan Putusan MK soal UU ITE secara disiplin dan pastikan transisi menuju KUHP 2023 tidak membuka ruang over-criminalization. Rekomendasi kampus/LSM hukum (UI, ICJR) bisa dijadikan dasar rapat teknis lintas kementerian—agar tafsir pasal tidak menjadi alat pembungkaman.

4) Perlindungan jurnalis & pembela HAM. Tetapkan protokol pengamanan yang eksplisit menempatkan jurnalis dan pemantau HAM sebagai pihak yang dilindungi. Amnesty dan jaringan pemantau sipil sudah menguraikan standar—tinggal diadopsi menjadi SOP operasi.

5) Open hearing untuk kebijakan berisiko tinggi. Setiap rancangan aturan yang berdampak pada kebebasan sipil (termasuk pengaturan konten digital dan tata pengamanan aksi) wajib melewati dengar pendapat publik dengan risalah yang accessible. Transparansi ini menurunkan kecurigaan, memperpendek jarak, dan mencegah Civil Phobia menjadi normal baru.

6) Konsistensi antara empati dan sanksi. Empati Presiden—takziah, perintah investigasi, fokus di dalam negeri—menjadi modal awal. Konsistensinya diukur dari sanksi proporsional bagi aparat yang melampaui wewenang dan kompensasi adil bagi korban; bersamaan dengan penindakan tegas terhadap pelaku kriminal di tengah massa. Inilah cara negara menunjukkan percaya diri, bukan takut pada sipil.

Sumber: Tempo

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img