29.1 C
Jakarta
Monday, August 25, 2025
HomeBeritaDemo 25 Agustus: Narasi Menggulung, Data Menentukan Arah

Demo 25 Agustus: Narasi Menggulung, Data Menentukan Arah

Date:

Related stories

Talak Cerai Pratama Arhan: Fakta Pahit, Data Resmi, Tanpa Drama

Lintas Fokus - Gelombang kabar soal Pratama Arhan akhirnya...

Demo 25 Agustus: Update Terkini yang Perlu Kamu Tahu, Tanpa Drama

Lintas Fokus - Sejak pagi, linimasa penuh poster dan...

Operasi Kilat yang Mengguncang: Polisi Kunci Seluruh Arah Pelarian

Lintas Fokus - Satu per satu kepingan peristiwa itu...

Pasha Ungu Mundur dari DPR? Bongkar Isu, Tuntaskan Fakta!

Lintas Fokus - Linimasa dibuat geger oleh kabar Pasha...

“Mencekap & Memilukan”: Penculikan Pejabat Bank yang Berujung Maut

Lintas Fokus - Kabar duka itu menyambar cepat: seorang...
spot_imgspot_img

Lintas Fokus Jagat medsos mendidih: ajakan Demo 25 Agustus bergema di timeline dengan poster mencolok dan slogan ekstrem “bubarkan DPR”. Di satu sisi, publik menyuarakan kekecewaan—mulai dari etik para pejabat sampai isu tunjangan. Di sisi lain, beberapa organisasi yang biasanya memobilisasi massa justru membantah akan turun pada tanggal itu. Agar tidak terseret pusaran opini, artikel ini mengurai substansi Demo 25 Agustus, memisahkan tuntutan yang terverifikasi dari klaim liar, lalu memotret pro–kontra tanggapan anggota DPR—disertai pagar konstitusi yang tak bisa ditabrak begitu saja.

Demo 25 Agustus: Substansi Tuntutan vs Fakta Lapangan

Seruan Demo 25 Agustus yang viral menonjolkan dua poros: pertama, ajakan ke Senayan dengan narasi “pembubaran DPR”; kedua, isu perburuhan—hapus outsourcing dan tolak upah murah—yang sebenarnya berpaut ke tanggal lain. Di tataran verifikasi, poros pertama rapuh. Liputan Tempo menuliskan Partai Buruh dan BEM SI Kerakyatan tidak berencana turun pada 25 Agustus di DPR; nama mereka bahkan disebut-sebut dicatut. IDN Times mengonfirmasi pernyataan BEM SI: mereka sudah demo pada 21 Agustus dan tidak punya agenda pada 25 Agustus. Di sisi Partai Buruh, fokus aksi justru pada 28 Agustus dengan paket tuntutan HOSTUM dan kenaikan UMP 2026 sebesar 8,5–10,5%. Artinya, sebagian besar tuntutan yang dibahas warganet—khususnya perihal upah—berlokasi pada agenda 28 Agustus, bukan Demo 25 Agustus.

Di luar Senayan, ada agenda lokal yang kebetulan memakai tanggal 25—misalnya rencana aksi di Pati (jilid kedua). Inilah salah satu sebab kabar campur aduk: publik menyatukan isu yang berbeda konteks ke dalam satu payung “Demo 25 Agustus”, padahal lokasi, aktor, dan tuntutannya berlainan.

Simpul sementara: Demo 25 Agustus di DPR yang menggema di medsos memang masif secara digital, tetapi minim penanggung jawab yang dapat diverifikasi. Sebaliknya, tuntutan yang paling konkret—upah, outsourcing—berada pada 28 Agustus dengan struktur organisasi yang jelas.

Siapa Menggalang, Siapa Membantah: Mendeteksi “Sinyal” di Tengah Noise

Banyak ajakan Demo 25 Agustus disebarkan akun anonim/aggregator; bahkan sebagian menyisipkan “tips bertahan dari gas air mata”. Namun, ketika dicari sinyal—klarifikasi dari aktor yang lazim mengorganisir aksi—justru muncul bantahan berulang. Radar Kediri/Jawa Pos mengutip BEM SI Kerakyatan yang menyatakan nama mereka dicatut untuk 25 Agustus. IDN Times menulis rinci alasan BEM SI tidak turun. Di sisi buruh, CNBC Indonesia menyajikan garis tuntutan HOSTUM dan angka kenaikan UMP di agenda 28 Agustus. Sementara itu, sejumlah kanal fact-check menandai klaim “pembubaran DPR 25 Agustus” sebagai palsu/menyesatkan karena nihil rujukan kredibel.

Pada saat bersamaan, media arus utama mencatat bagaimana isu Demo 25 Agustus meletup sebagai fenomena viral—bukan gerak massa yang solid. Suara.com dan jaringan Pikiran Rakyat, misalnya, menyoroti derasnya poster digital dan instruksi teknis yang beredar tanpa komando aksi yang jelas. Ini penting: verifikasi penanggung jawab adalah “tes lakmus” awal untuk menilai apakah Demo 25 Agustus berakar atau sekadar riak algoritma.

Pro–Kontra di Senayan: “Silakan Datang” vs “Jangan Seenaknya”

Respons anggota DPR atas Demo 25 Agustus terbelah—keras dan terbuka—namun sesungguhnya bertemu di satu titik: aksi boleh, tapi jalur “pembubaran DPR” tidak sah.

Di kubu terbuka, Puan Maharani menyatakan DPR siap menerima aspirasi publik. Intinya, unjuk rasa adalah hak warga; gedung parlemen terbuka untuk dialog selama tertib. Pernyataan ini terekam di berbagai kanal, dari pemberitaan hingga video pendek. Nada semacam ini menegaskan jalur institusional: datang, sampaikan tuntutan, tarik garis tindak lanjut.

Di kubu tegas, Ahmad Sahroni geram terhadap seruan “bubarkan DPR”. Ia mengingatkan agar tidak menyampaikan hal-hal seenaknya dan menilai desakan tersebut keliru. Narasi keras Sahroni tersebar di sejumlah kanal video dan pemberitaan. Dua sikap ini—terbuka dan tegas—pada dasarnya sama-sama menolak gagasan pembubaran lembaga, seraya mengakui hak warga untuk menyampaikan pendapat.

Dari sisi hukum, rambu utamanya terang: Pasal 7C UUD 1945 menyebut Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Mahkamah Konstitusi mencantumkan norma ini dalam materi sosialisasi konstitusi; artikel populer yang merujuk pasal yang sama juga mudah ditemukan. Dengan rambu ini, seruan “dekrit pembubaran” pada Demo jelas mentok tembok konstitusi.

Jalan Keluar: Mengubah Amarah Jadi Agenda

Amarah publik itu wajar. Namun, agar Demo 25 Agustus berdampak, fokus perlu dialihkan ke agenda yang feasible. Bagi buruh, kanal formal tersedia pada 28 Agustus—ada tema HOSTUM, ada angka UMP 2026 (8,5–10,5%), ada struktur organisasi, dan ada sasaran kebijakan yang terukur. Bagi kelompok sipil, strategi bisa diarahkan ke pengawasan anggaran, kode etik pejabat, dan pembenahan proses legislasi—topik yang bisa diadvokasi lewat RUU/PP/Perpres dan rapat-rapat dengar pendapat. Mengubah energi “bubarkan” menjadi indikator kinerja dan timeline advokasi membuat tekanan publik lebih produktif dan sukar diabaikan.

Pada titik ini, kualitas advokasi ditentukan oleh akurasi informasi. Jika rangkaian poster Demo 25 Agustus tidak menampilkan penanggung jawab, susunan tuntutan, rute aksi, dan mekanisme pasca-aksi, patut diduga itu sekadar noise. Sebaliknya, ajakan dengan identitas jelas, logistik demonstrasi, serta daftar tuntutan yang bisa diverifikasi cenderung berujung pada perubahan kebijakan—bahkan walau tidak selalu berhasil dalam sekali turun.

Wajib Tahu:

Poster viral Demo 25 Agustus ramai, tetapi BEM SI Kerakyatan dan Partai Buruh menyatakan tidak turun pada tanggal itu; aksi buruh besar terjadwal 28 Agustus dengan isu HOSTUM dan kenaikan UMP 8,5–10,5%. Pasal 7C UUD 1945 menegaskan Presiden tidak bisa membubarkan DPR.

Sumber: Tempo

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img