Lintas Fokus – Kabut panjang konflik Timur Tengah tiba-tiba tersibak oleh deru diplomasi lintas benua. Dalam tiga minggu terakhir, lebih dari 40 ibu kota—mulai Jakarta, London, Ottawa, hingga Brussels—turun gelanggang mempertegas posisi Dukung Palestina. Gelombang pengakuan, paket bantuan bernilai miliaran euro, dan potensi embargo senjata membentuk tekanan multidimensi terhadap Tel Aviv. Satu fakta tak terbantahkan: peta regional berubah, dan opini publik internasional menolak lagi status quo yang telah bertahan puluhan tahun.
Blok Barat Bersatu Tegas Dukung Palestina di PBB
Pertengahan Juli, Majelis Umum PBB di New York menjadi panggung dramatis. Inggris menggagas rancangan resolusi pengakuan negara Palestina ke-194 sambil mendorong komitmen gencatan senjata permanen. Indonesia, mendahului ASEAN lain, menandatangani Deklarasi New York bersama Kanada, Prancis, dan—yang mengejutkan—Irlandia Utara, menegaskan dukungan formal terhadap solusi dua negara. Pada sesi debat umum, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menegaskan, “Tanpa keadilan untuk Palestina, arsitektur perdamaian global akan selalu pincang.”
Respons Israel membayangi mimik tegang duta besarnya: lobi intensif ke Washington tak lagi semudah lima tahun lalu. Jaksa ICC bahkan mengonfirmasi penyelidikan tambahan terkait pembangunan permukiman terbaru di Tepi Barat. Sementara itu, Parlemen Inggris menetapkan tenggat September 2025 sebelum pengakuan unilateral dijalankan jika Tel Aviv tak bergerak.
Statistik suara memperlihatkan pergeseran: bila 2012 resolusi status pengamat Palestina didukung 138 negara, proyeksi Middle East Futures sekarang menunjukkan setidaknya 153 negara siap mengafirmasi statehood bila voting digelar Oktober nanti—lonjakan terbesar dalam sejarah isu ini.
Manuver Ekonomi Global Berskala Besar untuk Dukung Palestina
Di balik pidato dan veto, uang berbicara lebih nyaring. Uni Eropa menyiapkan paket €1,6 miliar—campuran hibah kemanusiaan, jaminan investasi, dan dukungan infrastruktur—serta mengancam pemotongan tarif preferensial bagi produk Israel yang bersumber dari permukiman ilegal. Langkah ini disokong Prancis, Jerman, dan Swedia yang kini menggodok kebijakan embargo senjata selektif.
Lebih jauh, gerakan boycott-divestment-sanctions (BDS) 2.0 merambah sektor energi hijau. Investor institusi di Frankfurt, London, dan Kopenhagen mulai menolak obligasi proyek Israel senilai US$1,2 miliar, khawatir reputasi perusahaan tercoreng apabila konflik berlanjut. Dalam seminggu, rating ESG dua korporasi agritech Israel terjun dua poin menurut Sustainalytics—citra hijau berbiaya mahal kala pasar menuntut etika rantai pasok.
Terpisah, Bank Dunia memodelkan skenario pasca‐pengakuan: bila bea masuk Uni Eropa turun, biaya logistik Palestina berpotensi menyusut 32%; efeknya, PDB per kapita diproyeksi melonjak 18% dalam lima tahun. Angka itu, menurut ekonom senior Columbia University Jeffrey Sachs, “cukup mengubah Gaza dari tragedi kemanusiaan menjadi koridor perdagangan Mediterania timur.”
ASEAN–UE Kolaborasi Humaniter Pasca Gencatan Senjata
ASEAN tak tinggal diam. Indonesia, Malaysia, dan Brunei menggagas Fellowship 1000—program beasiswa teknik sipil dan energi surya bagi pemuda Palestina guna mempercepat rekonstruksi Gaza setelah konflik mereda. Uni Eropa, melalui Bank Investasi Eropa, menawarkan skema risk-sharing facility sehingga startup agritech Palestina memperoleh kredit berbunga 2%—setara fasilitas negara berkembang berpendapatan menengah.
Diplomat senior Komisi UE Dubravka Šuica menuturkan, “Transfer teknologi air bersih dan mikrogrid surya akan mengurangi ketergantungan Gaza pada pasokan energi Israel hingga 40% dalam tiga tahun.” Kolaborasi ini menggeser narasi Dukung Palestina dari sekadar solidaritas politik menjadi arsitektur pembangunan konkret—membentengi cita-cita statehood dengan fondasi ekonomi mandiri.
Proyeksi Peta Politik Usai Gelombang Dukungan Palestina
Ke mana arah badai diplomasi ini? Konsorsium International Crisis Group menilai tiap 10 negara tambahan yang mengakui Palestina memperbesar peluang gencatan permanen sebesar 7%. Bila Kanada, Malta, dan tujuh negara Uni Afrika merealisasikan janji tahun ini, peluang terobosan meja perundingan melejit hampir 20%.
Namun, risiko tetap nyata. Israel dapat merespons dengan mempercepat aneksasi de facto di Area C, memicu lagi siklus kekerasan. Di sisi lain, politisi hawkish di Kongres AS mendorong pembekuan sebagian dana UNRWA—senilai US$300 juta—meski survei Gallup terbaru menunjukkan 58% pemilih muda Amerika setuju pengakuan Palestina.
Bagi Indonesia, posisi di G20 ibarat mata kail: pemerintah bisa menjembatani tuntutan dunia mayoritas Islam dan kepentingan Barat untuk stabilitas rantai pasok energi. Tawaran Presiden Prabowo sebagai tuan rumah Track-2 Peace Summit di Bali akhir tahun disambut positif Berlin dan Doha. Jika forum terjadi, ia berpotensi menjadi lokomotif perdamaian terbesar sejak Oslo.
Wajib Tahu:
Studi Bank Dunia 2024 mencatat, setiap 1% peningkatan ekspor Palestina ke Uni Eropa berpotensi menciptakan 2.200 lapangan kerja baru—sebagian besar di sektor agrikultur beririgasi surya di Gaza.
Kesimpulan
Ledakan dukungan internasional bukan sekadar rentetan lip service; ia menciptakan tekanan simultan—diplomasi, ekonomi, opini publik—yang tak pernah sebesar ini sejak dekade 1990-an. Manakala Indonesia, Inggris, dan Uni Eropa berani memasang taruhan politik dan finansial, Israel dihadapkan pada pilihan sulit: merangkul solusi dua negara atau menanggung isolasi yang makin menggerus legitimasi dan investasinya.
Bagi rakyat Palestina, momentum Dukung Palestina ibarat angin segar setelah musim panjang keputusasaan. Tapi tugas berat menanti: membangun tata kelola transparan, menegosiasikan rekonstruksi, serta merajut kembali jalinan sosial yang koyak. Dunia menunggu apakah mereka mampu menjemput peluang tersebut.
Satu hal pasti, tren hari ini menandai babak baru. Di era keterhubungan digital dan ekonomi hijau, pelanggaran hak asasi tak lagi tersembunyi di balik retorika keamanan. Publik global menuntut aksi-aksi konkret. Dan narasi Dukung Palestina telah bertransformasi—dari slogan protes jalanan menjadi strategi geopolitik yang menentukan ulang poros kekuatan abad ke-21.
Sumber: CNN Indonesia