Site icon Lintas Fokus

Riuh Pirit! Kisah “Emas” di Sungai Eufrat yang Menggoda Banyak Orang

Lanskap kering Sungai Eufrat: perahu terlantar di dasar sungai retak

Deretan foto menampilkan kondisi terkini Sungai Eufrat yang surut—perahu kandas

Lintas Fokus Begitu debit air turun lebih dari dua meter, tepian Sungai Eufrat di Raqqa mendadak berkilau keemasan. Video amatir memperlihatkan warga membawa sekop, mengais sedimen kering sambil meneriakkan “zahab, zahab!”—bahasa Arab untuk emas. Klip berdurasi belasan detik itu beranak-pinak di TikTok dan X, meraup jutaan tayangan dalam hitungan jam. Narasi pun terpecah: sebagian mengaitkan peristiwa ini dengan nubuat “gunung emas” menjelang kiamat, sebagian lain mencium aroma hoaks. Apa sebenarnya yang terjadi di kawasan sungai tertua peradaban manusia ini?


Realita Kebocoran Air Sungai Eufrat

Penurunan debit Sungai Eufrat bukan kejutan mendadak. Badan Meteorologi Suriah mencatat curah hujan 2024–2025 hanya 61% rata-rata historis, sementara bendungan Atatürk di hulu Turki mengalirkan air 40% di bawah batas normal akibat kebutuhan irigasi domestik. Kombinasi iklim kering dan pengalihan air memperlihatkan dasar sungai retak sepanjang puluhan kilometer. Lapisan sedimen yang semula terendam lebih dari seratus tahun pun terbuka, memantulkan cahaya kuning di siang terik—persis warna logam mulia.

Geolog Universitas Aleppo yang menurunkan tim lapangan pada 30 Juli menemukan mineral berkilau itu 95% pirit, dikenal sebagai “fool’s gold”. Hasil laboratorium menunjukkan kandungan emas asli hanya 0,018 g per kilogram sedimen, jauh di bawah ambang ekonomi 1 g/kg. Kesimpulannya tegas: kilau itu bukan emas bernilai komersial—ia hanyalah ilusi yang memanfaatkan asa warga di tengah krisis air berkepanjangan.


Demam Emas Sungai Eufrat Menyeruak

Meski fakta ilmiah sudah tersedia, rumor “gunung emas” tetap memantik perburuan liar. Dalam tiga hari, bantaran Sungai Eufrat berubah menjadi kamp serampangan. Harga detektor logam bekas melonjak tiga kali lipat, dan tukang kayu setempat mendapat pesanan tiang penyangga lubang galian hingga kehabisan stok. Narasi keagamaan mempercepat api: hadits sahih riwayat Muslim tentang “gunung emas di Eufrat” dibagikan ribuan kali, lengkap dengan peringatan bakal terjadinya pertumpahan darah.

Lembaga fatwa Suriah menanggapi cepat—menegaskan konteks nubuat bersifat simbolik, bukan ajakan memburu harta. Hal serupa disuarakan Majelis Ulama Indonesia yang meminta umat “mengutamakan verifikasi ilmiah dan membantu krisis air daripada terpancing sensasi”. Namun algoritma media sosial cenderung mengangkat konten sensasional; video penambang amatir terus menempel di linimasa, sementara klarifikasi ahli tenggelam di komentar.

Ketika pirit akhirnya dikenali, muncul narasi baru: “Di bawah pirit biasanya ada emas”. Pakar mineralogi menjawab argumen ini keliru; pirit memang dapat muncul di lingkungan kaya logam, namun tidak serta-merta menyimpan emas. Kadar Au/Fe Sungai Eufrat tercatat 0,1 ppm—terendah di sabuk sungai Timur Tengah menurut studi geologi AS tahun 1966.


Efek Sosial-Ekonomi Sungai Eufrat

Demam singkat “emas” memunculkan konsekuensi nyata. Pusat pemantau konflik Mercy Corps melaporkan dua warga tenggelam setelah terjebak lumpur, sementara satu lahan gandum seluas 7 hektare rusak karena alat berat ilegal menggali terlalu dekat irigasi. Otoritas Kurdi AANES akhirnya melarang seluruh aktivitas penambangan manual pada 4 Agustus, mengancam denda 2 juta lira Suriah bagi pelanggar.

Geopolitik ikut memanas. Pemerintah Suriah menuding Turki sengaja menahan air demi keuntungan energi, sedangkan Ankara menolak, menyebut musim kering ekstrem. Nota protes diplomatik dilayangkan 5 Agustus, mempertegas bahwa penurunan Sungai Eufrat bukan hanya isu lingkungan, melainkan alat tawar regional.

Di ranah ekonomi digital, kreator anonim meluncurkan token kripto “EuphratesGoldCoin” di Telegram. Kaspersky mendeteksi 32 domain phishing bertema emas sungai dalam seminggu. Investor ritel di Indonesia sempat tergoda—sebuah grup Facebook menampung 8.000 anggota membahas cara “ikut share staking emas nubuat”. Untungnya, kampanye cepat Kominfo menandai situs-situs itu sebagai berbahaya.

Pasar perhiasan Aleppo ikut bergolak. Meski tidak ada pasokan emas baru, harga naik 7% akibat efek psikologis masyarakat. Pedagang tua menyebut situasi mirip tahun 2014, saat rumor emas ISIS beredar. Saat hoaks terbantahkan, harga biasanya anjlok—meninggalkan warga yang membeli di puncak euforia terpukul rugi.

Wajib Tahu:

NASA menayangkan citra satelit MODIS yang memvisualisasikan penyusutan debit air Sungai Eufrat selama 2015–2025. Gambar menunjukkan rata-rata kehilangan 32% volume air permukaan—konfirmasi ilmiah bahwa “emas” muncul seiring mengeringnya sungai, bukan karena proses geologis baru.


Strategi Verifikasi Sungai Eufrat

Agar masyarakat global tidak menjadi korban FOMO nubuat, ada empat langkah sederhana memeriksa klaim sejenis:

  1. Periksa sumber ilmiah
    Jurnal geologi atau pernyataan universitas lebih kredibel daripada akun tanpa identitas.

  2. Kenali logam tiruan
    Pirit mudah hancur, tidak lunak seperti emas, dan meninggalkan goresan hitam kehijauan.

  3. Cari motivasi uang
    Jika unggahan diikuti tautan donasi, marketplace koin, atau tur religi berbayar, curigalah.

  4. Bandingkan citra satelit
    Platform gratis seperti NASA Worldview menampilkan perubahan debit air; bila kilau muncul di banyak lokasi serentak, besar kemungkinan mineral superfisial, bukan emas.

Dr. Akmaluddin dari UIN Jakarta menutup diskusi: “Hadits tentang Sungai Eufrat adalah peringatan moral agar manusia tidak tergoda harta haram. Bukan sinyal menggalang aksi tambang liar.” Pernyataan itu selaras dengan pandangan mayoritas ulama Timur Tengah yang menilai pemaknaan nubuat harus diiringi akal sehat dan disiplin ilmu.


Fenomena “emas” Sungai Eufrat membuktikan betapa cepatnya rumor dapat menyalakan asa di wilayah rawan krisis. Pada akhirnya, bukan kilauan pirit yang berbahaya, melainkan hausnya masyarakat akan kisah cepat kaya di tengah kekeringan. Jika tanggul kebohongan tidak segera dibangun—dengan literasi sains, kebijakan air lintas negara, dan etika bermedia—kita bisa kehilangan lebih banyak dari sekadar air sungai; kita kehilangan nalar.

Sumber: JFeed

Exit mobile version