Lintas Fokus – Kontroversi antara institusi militer dan warganet berpengaruh kembali menyeruak. Nama Ferry Irwandi disebut oleh Komandan Satuan Siber TNI Brigjen Juinta Omboh Sembiring setelah patroli siber menemukan dugaan tindak pidana. Langkah TNI yang berkonsultasi ke Polda Metro Jaya mengundang sorotan, apalagi ketika Polisi menegaskan domain kasus yang dipersoalkan adalah pencemaran nama baik. Di titik inilah perdebatan mengeras: bolehkah institusi melaporkan pencemaran nama, dan apa dampaknya bagi administrasi negara jika fungsi militer merambah ranah sipil yang seharusnya diurus otoritas sipil dan lembaga peradilan yang independen.
Polda Metro Jaya melalui Wakil Direktur Reserse Siber AKBP Fian Yunus menjelaskan, konsultasi TNI terkait rencana pelaporan mengarah pada dugaan pencemaran nama baik. Namun merujuk putusan Mahkamah Konstitusi, pelapor dalam delik pencemaran nama baik haruslah individu, bukan institusi. Artinya, TNI tidak dapat menjadi pelapor untuk pasal pencemaran nama baik berbasis UU ITE, sehingga konstruksi hukumnya berbeda dengan bila ada persona yang merasa dicemarkan. Penegasan ini penting agar kasus Ferry Irwandi tidak terseret ke wilayah abu-abu kewenangan.
Di sisi lain, TNI menyatakan telah menemukan temuan awal sehingga berkonsultasi dengan penegak hukum. Komunikasi publik dari pihak TNI memantik reaksi keras kelompok masyarakat sipil yang menilai langkah tersebut berpotensi memicu militerisasi ruang siber. Pada saat bersamaan, Ferry Irwandi menyatakan siap menghadapi proses apa pun dan menegaskan tidak kabur dari tanggung jawab hukum jika memang ada. Polemik ini pun merembet ke DPR, dengan sorotan agar TNI menjelaskan dugaan pidana secara presisi dan tidak melebar ke wilayah penafsiran yang bisa memukul mundur kebebasan sipil.
Polemik Hukum: Kenapa TNI Tak Bisa Melaporkan?
Kuncinya ada pada tafsir Mahkamah Konstitusi. Putusan MK No. 105/PUU-XXII/2024 menegaskan, yang dimaksud “orang lain” pada Pasal 27A UU ITE 2024 adalah individu atau perseorangan, bukan lembaga pemerintah, institusi, korporasi, kelompok, profesi, jabatan, atau pejabat publik. Konsekuensinya, institusi tidak bisa menjadi korban pencemaran nama baik dalam koridor pasal tersebut. MK menyebut pembatasan ini untuk mencegah kesewenang-wenangan dan menjaga proporsionalitas penegakan hukum. Penegasan MK ini diulang kembali dalam publikasi resmi MK dan dirangkum berbagai media hukum. Maka, jika perkara yang diangkat terkait Ferry Irwandi adalah pencemaran nama baik terhadap institusi, jalur pelaporannya tidak dapat dilakukan atas nama lembaga TNI.
Pernyataan Polri yang menyebut TNI tidak bisa melapor untuk perkara pencemaran nama baik menguatkan rambu hukum tersebut. Posisi ini once again menggarisbawahi prinsip dasar negara hukum: pembatasan wewenang adalah prasyarat akuntabilitas. Dalam konteks Ferry Irwandi, apabila ada personel yang merasa dirugikan secara pribadi, pelaporan bisa diajukan sebagai individu. Sebaliknya, jika substansinya menyangkut hoaks atau ujaran lain di luar pencemaran nama, aparat penegak hukum tetap harus menilai pasal yang tepat dan forum yang benar, bukan shortcut berbasis tafsir institusional.
Wajib Tahu:
MK menegaskan korban pencemaran nama baik di UU ITE adalah individu. Lembaga atau institusi, termasuk TNI, tidak masuk kategori korban delik ini. Prinsip ini dibuat untuk mencegah overreach dan melindungi ruang kritik warga.
Ferry Irwandi dan Batas Kekuasaan Negara di Ruang Siber
Konten Ferry Irwandi kerap membidik isu politik, pendidikan, sampai kritik kebijakan. Ketika Satuan Siber TNI menyatakan menemukan dugaan pidana dan berkonsultasi ke polisi, wajar jika publik menilai ini sebagai episode krusial tentang batas peran militer di domain siber yang menyentuh warga sipil. Detik melaporkan Dansatsiber TNI mengidentifikasi dugaan tindak pidana melalui patroli siber, sementara CNN Indonesia menuliskan TNI membuka peluang pelaporan dan memantik respons luas, dari aktivis hingga anggota DPR yang meminta klarifikasi. Di atas semua itu, Ferry Irwandi menyatakan siap menghadapi proses yang sah. Narasi ini tidak berdiri di ruang kosong, melainkan berdampingan dengan kaidah MK bahwa delik pencemaran nama baik tidak bisa diwakili institusi.
Di sini, disiplin prosedur menjadi taruhan. Jika Ferry Irwandi dianggap menyebarkan tuduhan yang bisa dikualifikasi sebagai pencemaran terhadap seseorang, subjek pelapor mestilah orang yang dirugikan. Bila dugaan pelanggaran menyentuh ranah lain, pasal dan forum harus dipertimbangkan secara cermat. Kesalahan alamat pada tahap awal akan menciptakan preseden buruk, memperkeruh relasi sipil militer dan membuka celah kriminalisasi yang melemahkan legitimasi penegakan hukum.
Risiko Administrasi: Jika TNI Masuk Terlalu Jauh ke Ranah Sipil
Hukum positif Indonesia membatasi pelibatan militer di ruang sipil. UU TNI menegaskan profesionalisme, netralitas politik, dan larangan menduduki jabatan sipil kecuali dalam pengecualian yang sangat terbatas. Setiap perluasan kewenangan non-pertahanan harus melalui mekanisme yang jelas, seperti Operasi Militer Selain Perang yang scope-nya enumeratif dan diawasi sipil. Di luar itu, keterlibatan melampaui batas berpotensi menimbulkan kekacauan administrasi: tumpang tindih kewenangan, chilling effect terhadap kebebasan berekspresi, hingga tarik menarik otoritas antara lembaga sipil dan militer. Laporan kebijakan dan analisis independen juga mengingatkan bahaya kemunduran supremasi sipil jika peran militer melebar tanpa pagar hukum yang ketat.
Debat revisi UU TNI beberapa waktu terakhir memperlihatkan sensitivitas isu ini. Poin paling kontroversial adalah peluang perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif. Sejumlah pengamat HAM dan organisasi masyarakat sipil menilai langkah itu bisa membawa Indonesia mundur ke pola dwifungsi, melemahkan garis tegas antara domain militer dan administrasi negara. Walau politik hukum bisa berubah, prinsip dasarnya tetap: semakin kabur batasnya, semakin mudah terjadi konflik kepentingan dan erosi akuntabilitas. Dalam konteks Ferry Irwandi, kehati-hatian ekstra di sisi TNI dan Polri adalah syarat mutlak agar penanganan perkara tidak diartikan sebagai intervensi militer ke urusan sipil.
Langkah Ke Depan: Transparansi, Prosedur, dan Akuntabilitas
Agar perkara seperti Ferry Irwandi tidak menjelma krisis kepercayaan, ada tiga rambu praktis. Pertama, disiplin pada rujukan MK. Bila objek sangkaan adalah pencemaran terhadap institusi, maka bukan institusinya yang melapor. Pola ini sudah dijelaskan terang oleh Polri dan didukung putusan MK. Kedua, bila ada unsur pidana di luar pencemaran nama baik, saring pasal secara ketat dan jalankan sepenuhnya oleh aparat penegak hukum sipil agar tidak terjadi bias kewenangan. Ketiga, perkuat komunikasi publik. Komisi I DPR sudah meminta TNI menjelaskan dasar dugaan pidana, sementara koalisi masyarakat sipil mengingatkan potensi militerisasi ruang siber. Transparansi atas bukti dan prosedur bukan sekadar strategi komunikasi, melainkan fondasi legitimasi.
Pada akhirnya, demokrasi berdiri di atas keberanian negara membatasi dirinya sendiri. Ketika Ferry Irwandi mengemukakan pendapat dan institusi merasa dirugikan, jalurnya bukan melebar ke ranah di luar wewenang. Prinsip ini bukan untuk memanjakan pelanggaran, tetapi untuk memastikan setiap dugaan pidana diurai oleh otoritas yang tepat dengan standar pembuktian yang ketat. Dengan begitu, hak warga terlindungi, wibawa negara terjaga, dan administrasi publik bebas dari kekacauan peran.
Sumber: CNN Indonesia