Lintas Fokus – Buku Jokowi White Paper sontak menjadi pusat sorotan karena menggabungkan klaim analisis forensik dokumen, telematika, hingga pendekatan neurosains untuk membahas silang-sengkarut isu ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Karya yang ditulis Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma (dr. Tifa) ini diluncurkan dalam format soft launching di area University Club (UC) UGM, Yogyakarta, setelah kampus membatalkan penggunaan gedung untuk konferensi pers. Dalam sejumlah keterangan, para penulis menegaskan buku—yang disebut hampir 700 halaman—memuat dokumentasi panjang penelusuran, termasuk perbandingan teknis ijazah dengan dokumen milik alumni UGM lain. Publikasi ini sekaligus menjadi bab baru polemik karena diterbitkan berbarengan dengan perkembangan proses hukum di kepolisian.
Ringkasan Isi Buku dan Klaim Penulis
Menurut paparan para penulis saat soft launching di kawasan UC UGM, Jokowi White Paper merangkum kronologi kemunculan isu, korespondensi yang mereka himpun, serta pembacaan forensik terhadap elemen-elemen ijazah—mulai dari tata letak, tanda tangan pengesahan, sampai watermark—yang dibandingkan dengan beberapa ijazah alumni UGM sezaman. Dr. Tifa menambahkan sudut tinjau behavioral neuroscience untuk membaca pola perilaku dan komunikasi politik, sementara Rismon memaparkan temuan teknis yang mereka klaim terdeteksi lewat analisis digital. Di luar isi, tim mengumumkan rencana grand launching di Jakarta pada 27 Agustus 2025, penyajian bilingual (Indonesia–Inggris), serta cetak perdana ±5.000 eksemplar, diikuti format e-book agar mudah diakses publik luas. Poin-poin ini penting untuk memahami mengapa Jokowi White Paper cepat menanjak dari sekadar buku menjadi “objek wacana” nasional.
Jokowi White Paper di UGM: Pembatalan & Kejadian Lapangan
Sumbu kontroversi memanjang ketika UGM membatalkan penyewaan ruang untuk konferensi pers soft launching, dengan alasan acara dinilai bernuansa politik dan ada ketidakterbukaan informasi dari panitia. Imbasnya, panitia memindahkan kegiatan ke area kafe di kompleks UC UGM. Peristiwa ini memantik perdebatan lebih luas tentang batas netralitas kampus dan kebebasan berekspresi akademik, sebab pelarangan justru membuat Jokowi White Paper semakin disorot dan memicu diskursus publik di luar ruang kelas. Pernyataan resmi UGM disampaikan juru bicara I Made Andi Arsana yang merinci alasan pembatalan, sementara peliputan di lapangan mendokumentasikan suasana acara setelah relokasi.
Status Hukum Terkini: Penyitaan Ijazah & Forensik
Di ranah penegakan hukum, perkara ijazah Jokowi tidak berhenti pada debat naratif. Polda Metro Jaya menegaskan telah menyita ijazah SMA dan S-1 Jokowi untuk pengujian forensik sebagai bagian dari proses penyidikan; langkah ini diumumkan akhir Juli 2025 dan menjadi simpul penting untuk mengerem spekulasi. Pada saat yang sama, pemberitaan sebelumnya mencatat Bareskrim Polri menyatakan ijazah Jokowi asli berdasarkan pemeriksaan laboratorium; dinamika di tingkat Polda dan Bareskrim inilah yang kerap membingungkan publik jika tidak dibaca runut waktunya. Bagi pembaca, yang perlu dicatat: hasil forensik resmi dari aparat penegak hukum—apapun temuannya—akan menjadi rujukan final yang berdampak pada perkara pidana (jika ada) maupun reputasi para pihak. Di sinilah Jokowi White Paper berfungsi sebagai dokumen tandingan yang—meski keras—tetap menunggu pembuktian ilmiah di forum yang berwenang.
Dampak Politik, Akademik, dan Literasi Publik
Terlepas dari pro-kontra, penerbitan Jokowi White Paper punya tiga implikasi. Pertama, politik persepsi: buku yang diklaim berbasis forensik kerap dibaca publik sebagai “bukti”, padahal ia masih kategori klaim penulis hingga diuji oleh otoritas yang berwenang. Kedua, hubungan kampus dan ruang publik: keputusan UGM menolak penggunaan gedung menunjukkan dilema institusi akademik saat menghadapi kegiatan yang berpotensi memantik kegaduhan politik; pilihan memindahkan lokasi membuat pesan buku justru mendapat efek megafon. Ketiga, literasi metode: isu sensitif seperti keaslian ijazah menuntut transparansi data mentah, metode uji, dan proses peer review. Jika penulis membuka seluruh bahan pembanding dan prosedur teknis, maka publik mudah menilai bobot ilmiahnya dan membedakannya dari wacana media sosial. Dalam konteks ini, kedatangan Jokowi White Paper bisa menjadi momentum menyehatkan—asal semua pihak mengedepankan data, metodologi, dan hasil forensik resmi ketimbang slogan. (Untuk konteks isi dan rencana rilis, lihat juga rangkuman di Detik/Tempo/CNN Indonesia yang mengulas struktur buku, rencana grand launching 27 Agustus, serta format bilingual).
Wajib Tahu:
Jokowi White Paper disiapkan dalam dua bahasa dan dijadwalkan grand launching di Jakarta pada 27 Agustus 2025, dengan rencana cetak perdana sekitar 5.000 eksemplar serta versi e-book untuk akses publik yang lebih luas.
Sumber: CNN Indonesia