Lintas Fokus – Seluruh Timur Tengah berduka setelah Sleeping Prince—Pangeran Al‑Waleed bin Khaled bin Talal Al Saud — dinyatakan wafat pada 19 Juli 2025. Kematian sosok ini mengakhiri perjalanan medis selama dua dekade yang menjadi sorotan global. Berikut ulasan komprehensif mengenai kronologi, reaksi, hingga konsekuensi sosial‑medis dari kepergian beliau.
Kilas Balik 20 Tahun Perjuangan Sleeping Prince
Kecelakaan lalu lintas di London pada 2005 meninggalkan cedera otak traumatik bagi Al‑Waleed yang kala itu masih 15 tahun. Operasi darurat menyelamatkan nyawa, tetapi menjerumuskannya ke kondisi vegetatif. Semenjak dipindahkan ke King Abdulaziz Medical City, Riyadh, ia dikenal publik sebagai Sleeping Prince dan mendapatkan dukungan hidup penuh — ventilator, trakeostomi, serta nutrisi enteral.
Tim neurologi multinasional rutin mengevaluasi keadaan otak lewat fMRI dan EEG. Walau beberapa video menunjukkan gerakan jari, mayoritas rekaman menunjukkan aktivitas kortikal minimal. Prosedur stimulasi otak dalam pada 2018 tidak memberikan perbaikan signifikan, namun memperkaya literatur neurologi tentang “neuroplasticity pasif” pada pasien vegetatif persisten.
Ayahnya, Pangeran Khaled, teguh menolak penghentian ventilator, mengutip keyakinan religius mengenai harapan ilahi. Sikap tersebut menempatkan kasus ini di garis depan perdebatan bioetika: siapa berhak menentukan batas intervensi medis jangka panjang?
Dampak Global dan Reaksi Diplomasi
Pengumuman kematian Sleeping Prince segera memuncaki trending topic X di 35 negara, termasuk Indonesia. Raja Salman dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman hadir dalam salat jenazah di Masjid Imam Turki bin Abdullah. Dari Jakarta, Presiden Joko Widodo menyampaikan belasungkawa, menegaskan kedekatan kedua negara di sektor energi dan pelayanan haji.
Tribut digital melesat: tagar #SleepingPrince meraih 4,1 juta kicauan dalam 24 jam. Influencer kesehatan di Indonesia memulai kampanye “Langkah Harapan” untuk mengedukasi publik tentang cedera otak traumatik. Sementara itu, Yayasan Al‑Waleed bin Talal mengumumkan dana 10 juta riyal guna mendukung penelitian neuro‑rehabilitasi.
Perspektif Medis: Apa yang Kita Pelajari?
Dokter mencatat bahwa Sleeping Prince menjalani lebih dari 7 900 sesi fisioterapi dan hanya dua kali menderita pneumonia berat, angka luar biasa bagi pasien yang terbaring lama. Analisis autopsi (yang diizinkan keluarga) diharapkan memberi data tentang degenerasi saraf kronis pada usia dewasa muda.
Profesor Nawaf Al‑Harbi dari Universitas King Saud menuturkan bahwa database medis lengkap pangeran akan dipublikasikan sebagai studi longitudinal terbuka. “Ini kesempatan langka memahami adaptasi organ dalam jangka dua dekade bantuan vital,” ujarnya pada konferensi pers pasca pemakaman.
Wajib Tahu:
Total biaya perawatan Sleeping Prince diperkirakan menembus 35 juta dolar AS—terbesar untuk satu pasien koma di Timur Tengah.
Implikasi Sosial‑Politik Setelah Kepergian Sleeping Prince
Kepergian Sleeping Prince memicu kembali wacana RUU Hak Pasien Terminal di Majelis Syura Saudi. Draf revisi menambahkan klausul panel etik lintas agama sebelum keluarga memutuskan kelanjutan penanganan pasien vegetatif. Ulama terkemuka Syekh Abdullah al‑Mutlaq menyatakan bahwa “ijtihad kolektif” diperlukan untuk menyeimbangkan syariat dengan realitas medis mutakhir.
Di ranah publik, lebih dari 12 juta riyal terkumpul melalui platform Sadaka dalam sehari—ditujukan untuk riset cedera otak. Organisasi amal di Indonesia, Dompet Dhuafa, turut menyalurkan donasi simbolis sebagai bentuk solidaritas.
Ekonomi keluarga tidak terguncang; saham Kingdom Holding stabil karena pangeran bukan pemegang saham langsung. Namun citra filantropi klan bin Talal justru menguat, berkat komitmen kelanjutan program operasi saraf gratis yang telah membantu 500 pasien kurang mampu di kawasan MENA.
Sumber: NDTV