Lintas Fokus – Tiga puluh lima tahun lalu, seorang gadis Banjarmasin bernama Yunita Ababiel—lahir dengan nama Yuyun Sri Wahyuni—membawa kaset demo ke kantor label Pramaqua Records. Manajer A&R kala itu, Wahyu Widodo, masih ingat suara serak-jernih yang meniti nada “Trauma” di studio bersuhu panas. Lagu itu akhirnya dirilis 1989 dan meledak 400 ribu kopi, memecah dominasi dangdut orkes tradisional. Setelahnya, album Maha Cinta (1990) dan Pertengkaran (1993) mencatat penjualan gabungan lebih dari satu juta keping—angka yang sukar dicapai era pita kaset.
Warna vokal Yunita Ababiel unik: dada bergetar, falset tipis, dan vibrato cepat di ujung kalimat. Cengkoknya dianggap “pop” oleh puritan, namun justru memikat segmen remaja yang baru mengenal Walkman. Sepanjang 1990-an ia merilis 27 album studio, membintangi delapan film musik, dan tampil di Osaka Expo 2005 sebagai duta budaya.
Prestasi tak berhenti di panggung. Pada 2000 ia mendirikan Yunita Ababiel Foundation, membiayai mamografi gratis bagi perempuan berpenghasilan rendah. Data internal lembaga mencatat 1.700 pemeriksaan sejak 2019 saja. Ia juga mengawasi Kelas Vokal Gratis Depok—program yang sudah meluluskan penyanyi jebolan Indonesian Idol musim 12.
Detik-Detik Wafat Yunita Ababiel
Sabtu malam, 12 Juli 2025, Yunita Ababiel mengeluh pusing hebat dan kesulitan bernapas. Dokter keluarga tiba pukul 22.30 WIB; oksigen dipasang, namun saturasi terus turun akibat komplikasi pasca-operasi biopsi tumor batang otak. Sesuai wasiat “ingin pulang sebagai ibu, bukan pasien”, ia menolak rujukan ICU. Tepat pukul 01.00, Minggu 13 Juli, ia mengembuskan napas terakhir di ruang tamu rumahnya di Depok, dikelilingi anak-anak, cucu, dan dua sahabat lamanya, Ikke Nurjanah serta Mansyur S.
Putra sulungnya, Fajar Ababiel, mengunggah foto genggaman tangan sang ibu dan menulis: “Istirahatlah, Mam. Suaramu abadi.” Dalam 30 menit, tagar #TerimaKasihYunita menembus trending topic Twitter Indonesia.
Puluhan kerabat mulai berdatangan sebelum azan Subuh berkumandang.
Prosesi pemandian jenazah dilakukan di musala kompleks. Anggota organisasi dangdut “Seni Suara Indonesia” ikut membantu. Setelah salat ghaib, jenazah dibawa ke TPU Kalimulya pada siang hari. Panitia meminta pelayat mengenakan busana merah muda—warna kostum legendaris tur Maha Cinta 1992. Lagu “Pertengkaran” versi instrumental mengiringi penurunan liang lahat.
Warisan Musik & Sosial Yunita Ababiel
Jika Rhoma Irama dijuluki Raja Dangdut, maka banyak jurnalis budaya menyematkan gelar “Ratu Ekspresi” kepada Yunita Ababiel. Ia berani menyanyikan tema kesetaraan—“Aku Bisa” (1995) bercerita tentang istri yang bangkit dari kekerasan rumah tangga, memicu polemik di TVRI namun akhirnya diapresiasi aktivis perempuan.
Kontribusinya pada industri rekaman juga monumental. Saat era digital melesat, ia menggagas remaster katalog—21 album hadir di Spotify pada 2023 dan meraup 25 juta stream setahun; tertinggi di antara penyanyi dangdut angkatan 90-an. Kolaborasi terakhirnya, “Sayang 2.0” bersama Weird Genius, viral di TikTok dengan 120 ribu kreasi dalam seminggu.
Di luar musik, Yunita Ababiel menyisihkan 20 persen honor panggung untuk program pendidikan vokal gratis. Sejak 2021, kelas daringnya diikuti 14.800 peserta via Zoom, lengkap modul pernapasan diafragma dalam format PDF. Pada 2024 ia menerima penghargaan Satyalancana Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan & Kebudayaan; sebuah pengakuan resmi bahwa dangdut bukan sekadar hiburan terminal, melainkan aset identitas bangsa.
Resonansi Publik & Masa Depan Karya
Sehari setelah wafatnya Yunita Ababiel, streaming “Trauma” naik 4.300%, menurut Spotify for Artists. Detik.com menerbitkan rangkaian artikel retrospektif; vlog tributenya di YouTube—dinyanyikan penyanyi milenial Happy Asmarani—menjadi video trending #2. Pramaqua Records mengumumkan rilisan vinil Best of Yunita 180 gram disertai demo kaset 1987; pre-order dilaporkan ludes 2.000 keping dalam tiga jam.
Pihak keluarga menyatakan belum memutuskan nasib “album suara doa” —proyek religius yang baru rampung 60 persen rekaman vokal. Banyak penggemar berharap materi mentah itu dilanjutkan sebagai karya anumerta, serupa rilisan Chrisye Senandung Mesra (2007).
Sementara itu, Dewan Kesenian Jakarta mendorong arsip audio Yunita Ababiel masuk koleksi Indonesia Performing Arts Memory agar dapat diakses peneliti musik. Institut Seni Indonesia Yogyakarta bahkan merancang simposium “Cengkok Pop: Warisan Vokal Yunita Ababiel” untuk November mendatang.
Rhoma Irama, dalam takziah daring, menyimpulkan kehilangan ini dengan kalimat, “Novelnya dangdut kehilangan satu bab penting, tetapi cerita cinta pada musik tak akan berhenti.” Dengan setiap pemutaran lagu di radio kampung, dengan setiap video karaoke yang diunggah, nama Yunita Ababiel akan terus dipanggil—menjawab kerinduan melalui nada minor yang dahulu ia bawakan dengan mata berbinar.
Sumber: Detik Hot