Lintas Fokus – Ketika sebagian pemain batu bara sibuk menahan napas menunggu harga acuan, Low Tuck Kwong justru menancap gas. Pendiri Bayan Resources (BYAN) tersebut resmi mengakuisisi Terminal Khusus Batubara (TKB) di Kutai Barat senilai Rp 3,45 triliun. Dermaga anyar ini memiliki conveyor tiga kilometer, loading barge 4.000 TPH, dan kapasitas sandar kapal 40.000 DWT—cukup untuk mengalirkan 25 juta ton “emas hitam” ke laut lepas saban tahun. Keputusan itu bukan hanya menambah aset; ia menulis bab baru efisiensi logistik BYAN yang selama ini tertahan bottleneck di Balikpapan Coal Terminal.
Efek Akuisisi Low Tuck Kwong pada Biaya & Margin
Tim penilai independen KJPP DAZ menghitung efisiensi USD 3 per ton setelah terminal beroperasi penuh pada kuartal IV 2025. Dengan panduan produksi BYAN 70‑72 juta ton 2025‑2026, penghematan bisa menembus USD 210 juta setahun—setara 15% laba 2024. Artinya, modal Rp 3,45 triliun bisa kembali dalam 18 bulan.
Lebih jauh, mix kalori rendah Tabang (4.200 GAR) yang laris di Asia Tenggara sensitif pada ongkos pelabuhan. Turunnya biaya FOB memperlebar jarak kompetitif terhadap penjual Australia dan Afrika Selatan. Konsensus Bloomberg menaksir margin EBITDA BYAN mendaki dua poin ke 45% pada 2026—dosis kuat untuk dividen, mengingat perseroan cenderung membagikan 70% laba. Low Tuck Kwong sendiri berulang kali menegaskan, “Uang harus kembali ke pemilik saham; itulah bentuk rasa terima kasih kami.”
Rencana Besar Pasca Terminal: BYAN 80 Juta Ton & ESG
Terminal Kutai Barat hanyalah potongan puzzle. Low Tuck Kwong tengah mengebut Tabang Phase III demi kapasitas 80 juta ton pada 2027, plus pembangkit LNG mikro di dermaga baru agar generator tongkang tidak lagi menumpuk emisi. Audit shipping intensity menunjukkan kapal BYAN memancarkan 1,3 t CO₂e per ton akibat antre sungai Mahakam. Shore‑power bertenaga gas akan menurunkannya 35%.
Langkah hijau itu sengaja dirancang untuk memikat bank global—yang belakangan memperketat pembiayaan batu bara—dan pelanggan Jepang yang mulai menerapkan sustainability‑linked supply chain. Dengan demikian, BYAN tak hanya lebih murah secara biaya, tetapi juga “lebih bersih” di atas kertas ESG.
Valuasi Saham: Di Mana Angka Fantastisnya?
Pada harga Rp 19.200 per lembar, BYAN diperdagangkan di PER 6,5× 2025F—diskon 15% dari rerata produsen kalori premium. Street consensus melihat pendapatan USD 4,3 miliar dan laba bersih USD 1,4 miliar tahun depan. Jika payout ratio 70% dipertahankan, dividen bisa mencapai USD 0,33 per saham (yield ±7%). Dengan terminal anyar, prospek kenaikan produksi ke 80 juta ton serta margin yang lebih lebar, banyak broker memberi target Rp 22‑24 ribu—potensi upside 15‑25%.
Risiko tetap ada. Harga Newcastle di bawah USD 100/ton, pengetatan royalti sliding scale, serta akses pendanaan hijau yang makin mahal bisa menekan valuasi. Namun keberanian Low Tuck Kwong membeli aset logistik pada saat pasar gamang justru memberi bantalan strategis yang tidak dimiliki rival.
Wajib Tahu:
Menurut keterbukaan informasi BEI, transaksi terminal berada di bawah 20% ekuitas, sehingga tidak memerlukan restu RUPSLB. Artinya, pembangunan bisa mulai Agustus 2025 tanpa drama birokrasi panjang.
Masa Depan Bayan Setelah Manuver Low Tuck Kwong
Jika semua proyek tepat waktu, rantai pasok BYAN akan sepenuhnya terkunci dari pit ke port. Biaya jatuh, volume naik, dan branding ESG terkerek. Bagi investor, tiga katalis utama menanti:
Efisiensi USD 3/ton yang langsung masuk bottom line pada Q4 2025.
Tabang 80 Mtpa—menaikkan produksi 15% tanpa peningkatan capex besar.
Pembangkit Kariangau 2×100 MW—menjamin listrik internal dan membuka peluang penjualan daya ke smelter nikel tetangga.
Dalam arena batu bara yang kian kompetitif, posisi Low Tuck Kwong mirip grandmaster catur: menggerakkan pelabuhan sebelum lawan menyadari papan berubah. Jika strategi berjalan mulus, Bayan Resources bukan hanya bertahan di era transisi energi; ia berlari di garis depan, menebar dividen tebal sambil tetap relevan pada peta ekspor Asia hingga 2030.
Sumber: Pasardana