Site icon Lintas Fokus

Bongkar Tuntas: Mens Rea, “niat bersalah” yang sering menentukan di pengadilan

Mens Rea bukan sekadar istilah.

Mens Rea bukan sekadar istilah.

Lintas Fokus Dalam beberapa pekan terakhir, istilah Mens Rea kembali ramai di linimasa Indonesia. Publik menautkannya ke perbincangan dua perkara besar: putusan perkara impor gula yang menjerat Tom Lembong yang dalam pembelaannya menegaskan tidak memiliki Mens Rea, serta penetapan tersangka Nadiem Makarim dalam perkara pengadaan Chromebook yang menurut jaksa memiliki Mens Rea yang “sudah jelas”. Terlepas dari pro kontra, momen ini justru penting untuk memahami, secara jernih, apa itu Mens Rea, bagaimana ia dibuktikan, dan seperti apa posisinya dalam sistem hukum pidana Indonesia.

Mengapa istilah ini krusial di pidana

Secara klasik, Mens Rea berarti “guilty mind” atau niat bersalah. Dalam tradisi Anglo-American, tuduhan pidana umumnya baru lengkap bila ada dua unsur: actus reus (perbuatan) dan Mens Rea (sikap batin/niat). Banyak yurisdiksi modern merinci level Mens Rea seperti “purpose/intent”, “knowledge”, “recklessness”, dan “negligence”. Intinya, semakin tinggi tingkat niat, biasanya semakin berat ancaman hukumnya. Prinsip ini luas dijelaskan oleh LII Cornell dan Britannica, dua rujukan standar untuk pengantar hukum pidana.

Dalam praktik, jaksa harus meyakinkan hakim bahwa perbuatan yang didakwakan disertai sikap batin tertentu, bukan sekadar terjadi kebetulan. Misalnya, “mengetahui tetapi tetap melakukan” berbeda bobotnya dengan “lalai sehingga akibat timbul”. Itulah sebabnya Mens Rea tidak bisa dilepaskan dari konstruksi pasal yang dipakai: ada pasal yang mensyaratkan kesengajaan, ada yang cukup kelalaian, bahkan ada yang nyaris tanpa niat bersalah sama sekali (strict liability) untuk tindak tertentu. Britannica menyinggung bahwa di beberapa sistem, ada ruang tanggung jawab tanpa niat bersalah, tetapi ini pengecualian yang harus dituliskan jelas oleh undang-undang.

Mens Rea di Indonesia: dari KUHP ke tindak korupsi

Indonesia tidak menggunakan istilah Mens Rea dalam KUHP secara eksplisit, melainkan konsep kesalahan yang mencakup kesengajaan (dolus) dan kealpaan/kelalaian (culpa). Doktrin ini menegaskan, seseorang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dipidana jika unsur sengaja atau bentuk kesalahan lain tidak terbukti. Hukumonline dan artikel edukasi Mahkamah Agung merangkum pergeseran dan penekanan konsep kesalahan ini di KUHP nasional yang baru, sekaligus menempatkan Mens Rea sebagai bagian dari “kesalahan” yang lebih luas.

Lalu bagaimana di delik korupsi yang kerap jadi sorotan? Banyak pasal korupsi merumuskan unsur “secara melawan hukum memperkaya diri atau orang lain” yang pada praktiknya dibaca sebagai bentuk kesengajaan. Namun, polemik sering muncul saat kasus menyentuh ranah pengadaan atau kebijakan publik. Ada jaksa atau ahli yang menekankan bahwa kelalaian berat pun bisa memadai, sementara pihak lain bersikukuh unsur niat bersalah harus terang benderang. Perdebatan itu nyata: pada kasus Chromebook, jaksa menyebut Mens Rea “sudah jelas”; di sisi lain ada pendapat yang menyatakan “tidak selalu perlu Mens Rea” karena fokusnya pada akibat dan perbuatan. Ini menunjukkan bagaimana niat bersalah menjadi arena argumentasi, bukan sekadar definisi kamus.

Membaca sorotan publik: Tom Lembong dan Nadiem

Bicara Mens Rea tanpa contoh hanya akan abstrak. Pada perkara impor gula, Tom Lembong menyatakan di muka publik bahwa ia “terbukti tidak punya Mens Rea” meski divonis pada tingkat pertama, bahkan muncul pandangan politik-hukum yang menilai opsi abolisi tepat karena tidak ada niat bersalah. Apapun sikap Anda, fakta pemberitaan itu menegaskan sentralnya perdebatan niat bersalah ketika kebijakan publik diadili. Pada perkara lain, Nadiem Makarim ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam pengadaan Chromebook; jaksa menegaskan niat bersalah ada, sementara komentar dari pihak luar sempat menyebut niat bersalah tidak mutlak diperlukan. Dua episode ini memperlihatkan satu hal: publik kini semakin paham menanyakan “niat” di balik “perbuatan”.

Di titik inilah literasi hukum menjadi benteng dari sensasi. Menilai niat bersalah bukan perkara suka atau tidak suka, melainkan membaca bukti: notula rapat, jejak surat-menyurat, struktur kewenangan, jalur uang, hingga testimoni yang konsisten. Hakim lalu menguji apakah standar mental state pada pasal yang didakwakan terpenuhi. Untuk publik, pelajaran pentingnya adalah membedakan “tak setuju dengan kebijakan” dari “niat jahat melakukan perbuatan melawan hukum”. Keduanya bisa saling tumpang tindih, tetapi syarat pembuktiannya berbeda.

Wajib Tahu:

Secara teknis, Mens Rea bisa hadir sebagai kesengajaan, pengetahuan, kecerobohan yang sadar akan risiko, atau kelalaian. Di Indonesia, padanannya dibahas dalam payung “kesalahan”, terutama dolus dan culpa, bukan istilah Mens Rea itu sendiri.

Cara cepat membaca “niat” dalam perkara pidana

Agar diskusi publik lebih tajam, gunakan checklist sederhana berikut ketika mendengar istilah Mens Rea disebut di konferensi pers atau persidangan. Pertama, cek rumusan pasal. Apakah pasal menyebut “dengan sengaja”, “karena lalai”, atau tanpa kata sifat batin sama sekali. Ini menentukan standar pembuktian. Kedua, uji posisi kewenangan. Seseorang yang menandatangani keputusan strategis memiliki kewajiban kehati-hatian lebih tinggi dibanding staf pelaksana. Ketiga, lihat alur pengetahuan. Adakah bukti bahwa pelaku tahu ada larangan atau risiko namun tetap melanjutkan. Keempat, periksa akibat dan motif. Menguntungkan diri atau pihak tertentu dapat menguatkan dugaan niat bersalah pada pasal yang menuntut unsur itu. Kelima, jangan lupakan pembelaan. Salah paham, kekeliruan faktual yang wajar, atau pemenuhan kewenangan formal yang sah bisa meruntuhkan klaim Mens Rea.

Di ruang akademik, pembahasan Mens Rea sering disejajarkan dengan adagium latin “actus non facit reum nisi mens sit rea” yang kira-kira berarti “perbuatan tidak membuat seseorang bersalah kecuali disertai niat bersalah”. Kalimat klasik itu mengingatkan bahwa pidana bukan hanya tentang perbuatan, tetapi juga tentang batin yang mengiringinya. Di ruang praktik, jaksa dan pembela akan berdebat di titik-titik itu: apakah email menunjukkan pengetahuan, apakah notula rapat mengindikasikan kesengajaan, apakah kebijakan melampaui kewenangan, dan seterusnya. Pada akhirnya, hakimlah yang memutus apakah Mens Rea terpenuhi sesuai standar pasal yang didakwakan.

Sumber: Hukum Online

Exit mobile version