Lintas Fokus – Gelombang pengakuan Palestina melonjak dalam beberapa bulan terakhir. Setelah Spanyol, Irlandia, dan Norwegia mengambil langkah pada 2024, arus dukungan kembali menguat pada 2025 ketika Inggris, Australia, dan Kanada turut mengakui negara Palestina. Responsnya langsung menggetarkan diplomasi global: Israel mengecam dan mengambil langkah pembalasan, sementara Amerika Serikat menegaskan pengakuan sepihak bukan jalan yang mereka dukung. Di sisi lain, Majelis Umum PBB memperluas hak-hak keikutsertaan Palestina sebagai negara peninjau dan menilai Palestina memenuhi kualifikasi keanggotaan penuh, meski jalur itu terhambat veto di Dewan Keamanan.
Bila dihitung, kini setidaknya 147 negara anggota PBB telah mengakui Palestina dan angka itu terus bertambah menurut pemetaan media internasional. Beberapa hitungan terbaru bahkan menempatkan jumlah pengakuan di atas 150 ketika gelombang 2025 berlangsung. Artinya, secara politik internasional, status Palestina bukan lagi isu pinggiran, melainkan arus utama yang memengaruhi kalkulasi banyak ibu kota dunia.
Dampak Diplomatik: Dari Kedutaan hingga Meja Perundingan
Pengakuan negara pertama-tama mengubah peta hubungan bilateral. Negara pengakui biasanya menaikkan level perwakilan dari “misi” menjadi “kedutaan”, membuka akses langsung ke bantuan pembangunan, pelatihan tata kelola, dan kerja sama keamanan sipil. Di forum multilateral, pengakuan memperkuat posisi tawar Palestina untuk mendorong isu-isu praktis seperti mobilitas warga, akses ekonomi, hingga perlindungan situs keagamaan. Kekuatan simboliknya juga besar: ia menciptakan norma baru bahwa solusi dua negara harus kembali menjadi arus utama diplomasi.
Di PBB, resolusi Majelis Umum pada 10 Mei 2024 menilai Palestina memenuhi syarat keanggotaan dan memperluas hak-haknya sebagai negara peninjau, termasuk hak berpartisipasi lebih luas dalam kegiatan PBB. Walau tidak setara dengan hak suara penuh, peningkatan ini memperbesar panggung untuk diplomasi, membangun koalisi lintas kawasan, dan menekan biaya reputasi bagi negara yang mengabaikan proses politik.
Dampak langsung lain terlihat dari rangkaian reaksi Israel. Saat tiga negara Eropa mengumumkan langkah pengakuan pada Mei 2024, Israel menanggapi dengan menarik pulang duta besarnya dan memanggil perwakilan negara-negara tersebut untuk ditegur. Pola respons keras ini kembali muncul pada gelombang 2025, diiringi pernyataan pejabat tinggi Israel yang menyebut pengakuan sebagai “hadiah bagi terorisme”. Secara praktis, ini mengerek tensi diplomatik, menunda proyek kerja sama, dan mendorong opini publik global untuk memilih kubu.
Dampak Ekonomi dan Hukum: Dari Aliran Bantuan hingga Risiko Sanksi
Pengakuan Palestina membuka kran kerja sama pembangunan yang lebih terstruktur. Negara pengakui bisa menyalurkan bantuan langsung kepada lembaga pemerintahan Palestina yang diakui, menandatangani MoU terkait rekonstruksi, air bersih, kesehatan, hingga pendidikan. Di sisi perdagangan, status diplomatik yang lebih jelas memudahkan perjanjian dagang bernilai kecil hingga menengah, termasuk skema tarif preferensial untuk produk agrikultur dan manufaktur ringan dari Tepi Barat.
Di ranah hukum internasional, pengakuan memperkuat klaim Palestina atas wilayah pendudukan menurut kerangka solusi perbatasan 1967. Meski tidak otomatis mengubah realitas di lapangan, penegasan status ini memudahkan koordinasi bantuan kemanusiaan dan menguatkan argumen Palestina dalam berbagai forum hukum internasional. Pengakuan luas juga dapat memicu kebijakan ekonomi sekunder: peninjauan izin ekspor senjata, uji tuntas investasi, hingga kampanye divestasi oleh investor institusional yang sensitif pada isu lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Perlu dicatat, dampak ekonomi tidak satu arah. Ketika pengakuan memicu pembalasan diplomatik Israel, beberapa kerja sama bisa tertunda. Inilah mengapa banyak pemerintah menautkan pengakuan Palestina dengan paket kebijakan yang menyeimbangkan kepastian keamanan Israel dan hak-hak warga Palestina.
Respons Israel dan Amerika: Garis Keras vs Jalan Negosiasi
Israel menilai pengakuan Palestina di tengah perang Gaza sebagai langkah yang “mengganjar” serangan 7 Oktober 2023 serta mengurangi tekanan terhadap Hamas. Selain menarik duta besar, pejabat tinggi Israel sempat mewacanakan opsi balasan, termasuk langkah aneksasi wilayah tertentu di Tepi Barat. Nada ini tetap terdengar ketika Inggris, Australia, dan Kanada menyatakan pengakuan pada September 2025, yang langsung mendapat kecaman dari Tel Aviv.
Amerika Serikat konsisten menyatakan dukungan pada dua negara, tetapi menolak pengakuan sepihak. Washington berpendapat negara Palestina harus lahir dari perundingan langsung, bukan deklarasi politik di luar meja dialog. Garis ini ditegaskan Gedung Putih pada 2024 saat gelombang Eropa mengakui Palestina, dan kembali dipertegas oleh Menlu AS pada 2025 yang menilai pengakuan sepihak “menimbulkan lebih banyak persoalan”. Di Kongres, pergeseran mulai terasa: ada resolusi yang mendorong pengakuan Palestina dengan syarat demiliterisasi dan reformasi otoritas, namun posisi resmi eksekutif tetap berhati-hati.
Di Eropa, langkah pengakuan kian menular. Setelah Spanyol, Irlandia, Norwegia, dan kemudian Slovenia menyusul lewat persetujuan parlemen, beberapa ibu kota Eropa lain menyatakan “bersiap” atau “mempertimbangkan” pengakuan. Fenomena ini memperluas jendela diplomasi dan memberi bobot politik baru pada isu Palestina di dalam Uni Eropa.
Wajib Tahu:
Majelis Umum PBB menilai Palestina memenuhi kualifikasi keanggotaan penuh dan memperluas hak-hak partisipasi sebagai negara peninjau.
Israel berkali-kali menarik duta besar dan mengecam keras setiap gelombang pengakuan.
AS mendukung solusi dua negara tetapi menolak pengakuan sepihak, menekankan jalur negosiasi.
Apa Arti Semua Ini untuk Peta Konflik ke Depan?
Setidaknya ada tiga konsekuensi strategis dari derasnya pengakuan Palestina:
Normalisasi narasi dua negara.
Setiap pengakuan menegaskan bahwa tujuan akhir tetap dua negara dengan perbatasan 1967 sebagai acuan perundingan, sehingga ruang manuver untuk alternatif non-diplomatik kian sempit. Keputusan negara-negara Barat pada 2025 mempertebal norma tersebut dan menggeser pusat gravitasi kebijakan Eropa.Tekanan reputasi dan kebijakan.
Israel menghadapi biaya reputasi yang meningkat. Penarikan duta besar dan protes diplomatik menandai isolasi yang kian terasa, sebagaimana dibaca banyak analis ketika gelombang pengakuan 2024 terjadi. Namun, tanpa dukungan Amerika, dampak praktisnya kerap tersendat di tingkat kebijakan keamanan.Uji kapasitas tata kelola Palestina.
Pengakuan memperbesar ekspektasi pada reformasi pemerintahan Palestina: pemilu yang kredibel, satu otoritas keamanan, dan agenda demiliterisasi pada proses negosiasi. Sejumlah negara Barat mengikat pengakuan dengan janji reformasi dan dukungan programatik agar pemerintahan Palestina mampu menjalankan layanan publik dan keamanan internal yang efektif.
Kesimpulan:
Arus pengakuan jelas mengubah lanskap diplomasi. Dampaknya nyata di tiga front: panggung internasional, aliran kerja sama, dan tekanan reputasi. Namun kunci akhirnya tetap sama sejak awal proses Oslo: negosiasi yang kredibel dengan jaminan keamanan dan jalur ekonomi yang bisa dirasakan warga. Tanpa itu, pengakuan berisiko menjadi simbol yang cepat bergaung tetapi lambat mengubah hidup orang di Gaza, Tepi Barat, dan Israel.
Sumber: United Nations