Lintas Fokus – Gaung kata “Palestina” mengisi ruang Sidang Umum PBB ketika Presiden Prabowo Subianto berdiri dan menekankan urgensi solusi dua negara, perlindungan warga sipil, serta dorongan pengakuan negara Palestina. Narasi tegas ini hadir di tengah gelombang pengakuan baru dari negara-negara Barat dan kontestasi terbuka dari Israel serta Amerika Serikat. Sejumlah pemimpin dan perwakilan negara menyambut, sebagian lain mengkritik, namun hampir semuanya terpaksa menatap ulang peta diplomasi Timur Tengah setelah panggung New York itu menutup sesi hari itu. Pernyataan Prabowo juga selaras dengan tawaran Indonesia mendukung misi penjaga perdamaian di Gaza jika komunitas internasional menyepakati mekanismenya.
Prabowo menegaskan kembali garis Indonesia: mendukung solusi dua negara sebagai jalan keluar realistis dan manusiawi, dengan fokus pada perlindungan warga sipil serta akses bantuan. Poin-poin itu terhubung langsung dengan arus besar di forum PBB: semakin banyak negara mendorong pengakuan Palestina dan status keanggotaan yang lebih kuat, sementara veto dan tarik-ulur di Dewan Keamanan terus menjadi sandungan. Sidang Umum sendiri dalam beberapa bulan terakhir berkali-kali menyerukan gencatan senjata permanen di Gaza, menandakan semakin tebalnya konsensus multilateralisme untuk mengakhiri kekerasan.
Siapa Saja yang Terkait Erat dengan Pidato Itu
Pidato tentang Palestina di panggung PBB tak berdiri sendiri. Ia bersilangan dengan posisi dan pernyataan keras dari sejumlah pemimpin dunia yang hadir di New York.
Prancis
Presiden Emmanuel Macron mengumumkan langkah historis: Prancis secara resmi mengakui negara Palestina dan bahkan mendorong pembentukan pasukan stabilisasi dengan mandat PBB untuk Gaza. Pernyataan di mimbar Sidang Umum ini disambut tepuk tangan dan menambah tekanan agar jalur politik segera dibangun setelah konflik mereda. Kebijakan Paris juga mengisyaratkan dukungan pada Otoritas Palestina yang direformasi sebagai mitra tata kelola pascaperang.
Inggris, Kanada, dan Australia
Sejalan dengan arus pengakuan, Inggris, Kanada, dan Australia menyatakan pengakuan negara Palestina di forum PBB. PM Australia Anthony Albanese menyinggung tewasnya relawan asal Australia di Gaza untuk menekankan sisi kemanusiaan dan menyeru akuntabilitas. Langkah tiga negara Persemakmuran itu ikut mengubah kalkulasi diplomasi Barat, meski tetap mensyaratkan reformasi Otoritas Palestina dan penyingkiran peran politik Hamas di pemerintahan masa depan.
Sekretaris Jenderal PBB
António Guterres menggarisbawahi bahwa kenegaraan Palestina adalah “hak, bukan hadiah,” menegaskan kembali legitimasi kerangka dua negara yang selama ini menjadi fondasi diplomasi PBB. Pernyataan itu memperkuat konteks pidato Prabowo yang meminta komunitas internasional berhenti menunda langkah-langkah konkret.
Turki dan Dunia Arab
Presiden Recep Tayyip Erdoğan menggunakan panggung PBB untuk mengutuk keras operasi Israel di Gaza dan menyebutnya sebagai genosida, sembari mendorong solusi politik. Sejumlah negara Arab turut menggelar pertemuan lanjutan di sela-sela Sidang Umum untuk menakar posisi Washington dan mengorkestrasi dukungan pendanaan rekonstruksi serta mekanisme keamanan pascaperang.
Amerika Serikat dan Israel
Di kubu yang menolak, Amerika Serikat dan Israel menyebut gelombang pengakuan sepihak sebagai langkah yang “merusak” proses perundingan. Pemerintah Israel bahkan mempertimbangkan opsi aneksasi baru di Tepi Barat sebagai respons, sebuah sikap yang memperkeras perdebatan di ruang sidang dan menuntut strategi diplomatik yang lebih kreatif dari para pendukung Palestina.
Isi Pesan Kunci: Perlindungan Sipil, Dua Negara, dan Misi Perdamaian
Ada tiga pilar seruan Prabowo yang relevan bagi Palestina hari ini. Pertama, penghentian kekerasan dan perlindungan warga yang tidak terlibat perang. Kedua, peneguhan solusi dua negara yang dihidupkan kembali melalui pengakuan, reformasi tata kelola, serta pemulihan layanan publik. Ketiga, kesiapan Indonesia untuk berkontribusi pada misi penjaga perdamaian berpayung PBB ketika arsitektur keamanan disepakati. Ini bukan pertama kali Indonesia menyatakan kesediaan mengirim pasukan perdamaian; pada 2024, Prabowo juga pernah menawarkan opsi serupa dalam forum keamanan regional. Poin ini penting karena membuat pidato tak berhenti pada retorika, melainkan menyertakan tawaran modal politik dan personel.
Bagi para delegasi, kombinasi pesan normatif dan tawaran konkret itu mengirim sinyal: Indonesia siap menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penonton yang mengulang pernyataan. Dengan reputasi panjang sebagai kontributor pasukan penjaga perdamaian PBB, Indonesia memiliki landasan operasional untuk mengisi celah implementasi di lapangan jika mandat internasional terbentuk.
Dampak Praktis: Perluasan Koalisi, Tekanan Reputasi, dan Pekerjaan Rumah
Pidato Prabowo tentang Palestina mempercepat tiga dinamika. Pertama, perluasan koalisi pendukung solusi dua negara. Ketika Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia mengunci pengakuan, tekanan normatif terhadap negara-negara yang masih ragu meningkat. Tekanan ini bukan hanya simbolik; ia memudahkan pembukaan kedutaan, kerja sama keamanan sipil, dan koordinasi bantuan.
Kedua, tekanan reputasi terhadap Israel. Setiap pengakuan menambah biaya diplomatik bagi kebijakan perluasan permukiman atau wacana aneksasi. Dalam ruang publik global, narasi bahwa Palestina berhak atas negara semakin sulit disisihkan. Namun, tanpa dukungan Amerika Serikat pada jalur implementasi, beban teknis di lapangan tetap berat.
Ketiga, pekerjaan rumah untuk Otoritas Palestina. Banyak pengakuan Barat kini disertai syarat: reformasi tata kelola, pemilu kredibel, konsolidasi aparat keamanan di bawah satu otoritas, serta pemisahan tegas dari Hamas. Jika reformasi berjalan, legitimasi pemerintahan Palestina akan naik, mempermudah akses pendanaan dan rekonstruksi.
Wajib Tahu:
Sidang Umum PBB belakangan ini berkali-kali menyuarakan gencatan senjata permanen di Gaza.
Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia mengumumkan pengakuan negara Palestina di forum PBB tahun ini.
Indonesia melalui Presiden Prabowo menawarkan kontribusi pasukan jika ada mandat internasional untuk stabilisasi Gaza.
Apa Berikutnya untuk Diplomasi Indonesia
Setelah sorotan pidato, Indonesia perlu mengunci tiga langkah tindak lanjut agar dukungan pada Palestina berdampak nyata. Pertama, membangun jalur komunikasi dengan Paris, London, Ottawa, dan Canberra untuk menyelaraskan parameter bantuan dan rencana stabilisasi. Kedua, merapikan desain kontribusi pasukan perdamaian: dari aturan pelibatan, logistik, sampai dukungan medis dan psikososial bagi warga. Ketiga, menggelar diplomasi ekonomi untuk mendorong akses pasar dan investasi sosial di Tepi Barat, sehingga wacana kenegaraan ditopang manfaat konkret bagi masyarakat.
Dalam kacamata publik Indonesia, posisi ini konsisten dengan sejarah panjang dukungan pada Palestina. Namun publik juga menuntut kehati-hatian: memastikan setiap langkah terikat hukum internasional, menjaga keselamatan pasukan, dan tidak terjebak pada polarisasi politik global. Di titik inilah, kredibilitas pidato Prabowo akan diukur: seberapa cepat ia bisa mengubah kata-kata menjadi arsitektur aksi bersama mitra-mitra kunci.
Kesimpulan
Pidato Prabowo tentang Palestina di PBB bukan sekadar pernyataan sikap; ia membuka jendela koordinasi baru dengan negara-negara yang kini mengambil langkah pengakuan. Dengan Prancis memimpin arus pengakuan, Australia menyentil kemanusiaan, Kanada dan Inggris menyusul, serta Guterres mengukuhkan legitimasi kenegaraan Palestina, panggung global bergerak. Resistensi dari Amerika Serikat dan Israel tetap ada, tetapi ruang manuver diplomatik bagi mereka yang pro-solusi dua negara kini lebih lebar. Tugas Indonesia berikutnya adalah menjaga momentum itu agar berubah menjadi kerja nyata di lapangan, dari meja perundingan sampai perlindungan warga.
Sumber: Reuters