29.9 C
Jakarta
Tuesday, August 26, 2025
HomeBeritaPengungsi Gaza di Galang: Waspada “Jebakan” Israel, Pastikan Repatriasi

Pengungsi Gaza di Galang: Waspada “Jebakan” Israel, Pastikan Repatriasi

Date:

Related stories

spot_imgspot_img

Lintas Fokus Rencana Indonesia menyiapkan Pulau Galang (Kepulauan Riau) sebagai lokasi perawatan sementara bagi warga terluka dari pengungsi Gaza memicu antusiasme kemanusiaan sekaligus alarm politik. Pemerintah—melalui juru bicara presiden Hasan Nasbi—menegaskan pendekatannya temporer: pasien dirawat lalu dipulangkan ke Gaza setelah pulih, termasuk memberi ruang bagi pendamping keluarga. Reuters mencatat kapasitas awal yang diproyeksikan mencapai ±2.000 orang dan menegaskan kembali posisi Indonesia menolak pemindahan paksa. Pernyataan ini penting untuk meredam kekhawatiran publik, tetapi belum otomatis membungkam kritik.

Di level narasi, sejumlah aktivis HAM memperingatkan bahwa memindahkan pengungsi Gaza ke luar wilayahnya—meski berlabel evakuasi medis—bisa disalahartikan sebagai bagian dari agenda pendudukan: mengosongkan Gaza secara bertahap, lalu menegaskan kontrol militer di lapangan. Amnesty International Indonesia terang-terangan meminta pemerintah mengutamakan diplomasi HAM dan akses bantuan di Gaza, bukan relokasi, seraya mengingatkan risiko melemahkan hak kembali (right of return) jika tak ada jaminan repatriasi yang kredibel.


Galang: Kapasitas, Protokol, dan Alasan Dipilih

Pulau Galang tidak asing bagi sejarah pengungsian. Pada 1979–1996, wilayah ini pernah menjadi kamp besar pengungsi Indochina di bawah koordinasi PBB; pada 2020, fasilitasnya dipakai sebagai RS darurat COVID-19. Riwayat infrastruktur inilah yang membuat Galang dinilai siap pakai: ada bangunan, utilitas, dan akses yang relatif terukur untuk skenario darurat. Pemerintah provinsi menyatakan siap mendukung kebijakan pusat, termasuk penataan logistik dan pengamanan berlapis. The Jakarta Post menegaskan dukungan Pemprov Kepulauan Riau untuk operasional yang dibutuhkan.

Secara kebijakan, mandat Galang ditekankan sebagai misi kemanusiaan. Pemerintah pusat dan Kemenlu sejak awal menolak tawaran atau ide relokasi permanen. Garis merah itu konsisten dengan kebijakan luar negeri Indonesia: dukungan solusi dua negara, penolakan pemindahan paksa, dan desakan agar akses kemanusiaan dibuka di Gaza. Media internasional mencatat bahwa pasien dan keluarga harus kembali ke Gaza setelah pulih; detail teknis (jadwal, rute, dan pengawalan internasional) menunggu finalisasi.


Pengungsi Gaza di Pulau Galang: Risiko “Jebakan” & Hak Kembali

Di sinilah perdebatan memanas. Para pengkritik menyebut risiko “jebakan Israel”: ketika pengungsi Gaza diangkut keluar, narasi geopolitik bisa berubah—bukan lagi “rawat dan pulangkan”, melainkan “pindahkan agar lapangan bersih”. SCMP menyoroti kegelisahan ini: rencana Galang dipandang sebagian pihak dapat memberi ruang legitimasi bagi rencana pendudukan yang lebih permanen. The Guardian juga memotret meningkatnya kecaman internasional terhadap rencana Israel memperluas kontrol di Gaza City—konteks yang membuat isu repatriasi jadi krusial, bukan sekadar catatan kaki.

Amnesty International Indonesia menegaskan jalur aman agar misi ini tak bergeser menjadi relokasi de-facto: (1) batas waktu perawatan yang jelas, (2) jaminan repatriasi yang dapat diverifikasi, (3) pengawasan independen oleh lembaga seperti ICRC/WHO/UNHCR, dan (4) pelaporan berkala jumlah pasien yang masuk serta pulang. Poin-poin ini bukan memperlambat kerja kemanusiaan, melainkan memperkuat mandat agar status pengungsi Gaza tetap terlindungi secara hukum internasional.

Di saat bersamaan, pemerintah Indonesia—lewat kanal resminya—telah berulang kali membantah wacana relokasi permanen dan menegaskan penolakan terhadap pemindahan paksa warga Palestina. Penegasan itu konsisten sejak awal 2025 dan diulang kembali ketika kabar Galang menghangat. Praktik kebijakan ke depan perlu memastikan bahwa garis merah tersebut tidak sekadar retorika, melainkan mekanisme operasional yang bisa diaudit publik.

Wajib Tahu:

Pulau Galang disiapkan sebagai fasilitas medis sementara dengan proyeksi kapasitas ±2.000 orang; pemerintah menyatakan bukan relokasi dan wajib repatriasi ke Gaza setelah pulih. Aktivis HAM menuntut MOU multilateral dan pengawasan independen agar mandat kemanusiaan tidak dipelintir menjadi preseden pengosongan wilayah.


Hukum Humaniter & Garis Merah Diplomasi RI

Dalam hukum humaniter internasional, evakuasi medis lintas batas dimungkinkan ketika layanan kesehatan lokal kolaps—dengan tiga prasyarat: sukarela, sementara, dan tanpa menghapus hak sipil (termasuk hak kembali). Indonesia, yang konsisten mendorong solusi dua negara, perlu mengikat semua pihak lewat nota kesepahaman mengenai akses keluar-masuk, dukungan transit (Mesir/Yordania), hingga protokol pemulangan. Dengan begitu, status pengungsi Gaza di Galang tidak akan bergeser dari “pasien sementara” menjadi “populasi relokasi”.

Di level teknis, tiga lapis kontrol bisa dipasang. Pertama, verifikasi identitas dan rantai rujukan medis yang ditandatangani lembaga internasional (WHO/ICRC) untuk mencegah salah sasaran. Kedua, batas rawat (misalnya maksimal 90–120 hari) dengan pengecualian medis yang terdokumentasi. Ketiga, audit repatriasi—melaporkan berapa yang pulang, kapan, lewat mana, dan jaminan keselamatan yang menyertainya. Transparansi seperti ini bukan hanya menutup ruang delegitimasi, melainkan juga memperkuat posisi diplomatik Indonesia ketika menekan pihak pendudukan untuk membuka akses bantuan di dalam Gaza.


Checklist Publik: Transparansi yang Harus Dijaga

Agar wacana “jebakan” tak berkepanjangan, publik dapat memantau empat indikator kunci. Pertama, timeline pemulangan yang diumumkan sejak awal—bukan setelah pasien tiba. Kedua, kehadiran pengawas independen (UNHCR/ICRC/WHO) di seluruh fase: masuk, dirawat, pulang. Ketiga, dashboard data (jumlah pasien, asal wilayah Gaza, lama perawatan, status pulang) yang diperbarui rutin. Keempat, respons diplomatik ketika rencana-rencana pendudukan (misalnya kontrol penuh Gaza City) kembali mencuat: Indonesia perlu bersuara konsisten agar tugas kemanusiaan tidak dipakai sebagai dalih pengosongan. Dengan empat indikator ini, publik Indonesia tidak hanya mengikuti kabar pengungsi Gaza, tetapi juga mengawal mandat agar tetap pada jalur kemanusiaan yang benar.

Sumber: Reuters

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img