Lintas Fokus – Narasi yang paling sering terdengar sepanjang Perang Gaza adalah pernyataan bahwa Hamas tidak akan lagi memerintah Gaza usai perang. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan pada Oktober 2025 bahwa “Hamas’ rule has to come to an end” dan Hamas tidak boleh kembali menjalankan Gaza. Ia juga menyebut Israel akan menanggung “tanggung jawab keamanan menyeluruh” untuk mencegah kebangkitan kelompok bersenjata di wilayah itu. Pernyataan ini memperbarui garis besar yang pernah ia sampaikan pada 2024, ketika menyatakan perang belum berakhir sampai Hamas tidak lagi menguasai Gaza.
Sementara itu, upaya mengakhiri Perang Gaza memasuki babak politik baru dengan paket kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan. Rencana damai terkini yang dibahas media Eropa memetakan fase penghentian tembak-menembak, pelepasan sandera Israel, dan pembebasan tahanan Palestina, disusul rekonstruksi. Rangkaian ini membuka pertanyaan besar: jika Hamas tidak lagi memerintah, siapa yang memimpin Gaza dan bagaimana mekanisme transisinya.
Di saat yang sama, perkembangan lapangan menunjukkan dinamika cair. Pada 13 Oktober 2025, beberapa media internasional melaporkan rilis seluruh sandera yang masih hidup sebagai bagian dari paket penghentian perang, sekaligus pelepasan ribuan tahanan Palestina. Ini memperlihatkan bahwa proses negosiasi pasca-Perang Gaza berjalan paralel dengan desain politik untuk masa depan pemerintahan di Gaza.
Jika Bukan Hamas, Siapa? PA, Komite Teknokrat, atau Tata Kelola Hibrida
Pertanyaan terbesar setelah Perang Gaza adalah struktur pemerintahan pengganti. Beberapa usulan mengemuka.
Pertama, kembalinya peran Otoritas Palestina (PA). Seorang pejabat senior Palestina menegaskan kesiapan PA membantu konsolidasi gencatan senjata, memperlancar bantuan, pertukaran tahanan, dan tahap awal pemulihan. Namun, jalur ini tidak steril dari hambatan politik. Netanyahu secara terbuka menolak PA memerintah Gaza, sehingga skema ini memerlukan terobosan diplomatik yang signifikan jika ingin berlanjut.
Kedua, komite teknokrat di bawah pengawasan internasional. Dalam perbincangan rencana damai belakangan ini, opsi pemerintahan transisi teknokrat dengan dukungan internasional kerap disebut untuk menutup kekosongan administratif pasca-Perang Gaza. Opsi ini diposisikan sebagai jembatan menuju tata kelola Palestina yang direformasi, sembari membatasi peran politik Hamas di pemerintahan.
Ketiga, tata kelola hibrida. Netanyahu menyatakan Israel menginginkan “tanggung jawab keamanan menyeluruh” agar tidak terjadi kebangkitan kelompok bersenjata. Dalam skema seperti ini, sipil ditangani pihak Palestina atau teknokrat, tetapi kontrol keamanan tetap di tangan Israel untuk jangka waktu tertentu. Rumusan hibrida semacam ini sering muncul dalam wacana diplomatik terkini, dengan banyak detail yang masih dinegosiasikan.
Keempat, penilaian perubahan di tubuh Hamas. Sejumlah pemberitaan menyebut klaim bahwa Hamas telah “melepaskan kendali” di beberapa area dan tidak akan memerintah pasca-perang. Namun klaim seperti ini sering bertabrakan dengan realitas lapangan yang kompleks dan harus dibaca dalam konteks negosiasi yang dinamis.
Peta Jalan Transisi: Keamanan, Bantuan, Rekonstruksi, dan Akuntabilitas
Apa pun bentuk pemerintahan pasca-Perang Gaza, ada empat pilar krusial yang perlu dijalankan agar janji “Hamas tidak lagi memerintah” tidak menjadi sekadar slogan.
Keamanan dan penegakan hukum
Tanpa otoritas keamanan yang kredibel, ruang hampa memicu kekacauan dan kriminalitas. Laporan yang beredar menggambarkan pentingnya pengelolaan keamanan internal di fase rekonstruksi awal. Namun pengaturan sementara harus selaras dengan rencana jangka menengah agar tidak menormalisasi status-quo yang rawan konflik.Koridor kemanusiaan dan pemulihan layanan dasar
Rencana damai terbaru menekankan penghentian operasi militer, pembekuan garis kontak, serta pelepasan sandera dan tahanan sebagai prasyarat pembukaan kran bantuan. Ini menciptakan landasan untuk memulihkan air, listrik, layanan kesehatan, dan pendidikan secara bertahap.Rekonstruksi dan tata kelola sipil yang berfungsi
Pascaperang, Gaza membutuhkan manajemen proyek rekonstruksi yang transparan, dari perumahan, jaringan air, hingga infrastruktur publik. Di sinilah peran entitas teknokrat atau PA yang direformasi akan diuji. Tanpa tata kelola yang rapi, janji politik pasca-Perang Gaza akan tergerus oleh realitas birokrasi.Akuntabilitas dan legitimasi politik
Dukungan publik menentukan stabilitas. Jika Hamas tidak lagi memerintah, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana legitimasi kepemimpinan baru dibangun. Peta jalan yang sering dibahas mencakup reformasi sektor keamanan Palestina, pemilu di fase akhir, serta peran mitra regional sebagai penjamin. Posisi kebijakan AS yang mendorong berakhirnya kekuasaan Hamas dan pengembalian sandera memperlihatkan arah dukungan eksternal yang akan mewarnai proses ini.
Wajib Tahu:
Beberapa pernyataan resmi menegaskan Hamas tidak boleh kembali memerintah Gaza setelah Perang Gaza. Opsi pengganti yang banyak dibahas adalah peran Otoritas Palestina yang direformasi atau komite teknokrat dengan pengawasan internasional, sementara Israel mengisyaratkan tetap memegang kendali keamanan.
Apa Artinya Bagi Kawasan dan Indonesia
Pertama, realisme geopolitik. Janji mengakhiri kekuasaan Hamas di Gaza setelah Perang Gaza sangat bergantung pada arsitektur keamanan yang bisa diterima para pihak. Tanpa konsensus minimum, risiko kekosongan otoritas akan sangat tinggi. Sejarah pascakonflik menunjukkan bahwa spanduk “pemerintahan transisi” sering runtuh jika tidak ditopang lembaga dan sumber daya.
Kedua, implikasi kemanusiaan. Kunci legitimasi pemerintahan pasca-Perang Gaza justru ada pada kecepatan pemulihan layanan dasar. Masyarakat Gaza membutuhkan rasa aman dan akses kebutuhan primer sebelum agenda politik jangka panjang dibicarakan. Keberhasilan rilis sandera dan pertukaran tahanan pekan ini menunjukkan pintu koordinasi masih terbuka, sekaligus menuntut disiplin semua pihak untuk mematuhi komitmen gencatan senjata.
Ketiga, resonansi domestik Indonesia. Publik Indonesia banyak mengikuti Perang Gaza dengan empati kemanusiaan yang tinggi. Informasi akurat tentang skema transisi, siapa memerintah, dan bagaimana bantuan disalurkan diperlukan agar dukungan masyarakat sipil tersalur efektif. Di tingkat diplomasi, Indonesia konsisten mendorong solusi dua negara dan perlindungan warga sipil. Setiap peta jalan pasca-perang yang kredibel akan selalu diukur dari indikator penghormatan hukum humaniter internasional.
Keempat, ekonomi rekonstruksi. Bila gencatan senjata bertahan, kebutuhan rekonstruksi akan bernilai sangat besar. Ini membuka ruang partisipasi lembaga keuangan pembangunan, PBB, dan mitra bilateral. Namun transparansi dan akuntabilitas mutlak agar dana tidak tersedot ke patronase politik. Tanpa desain tersebut, klaim “Hamas tidak lagi memerintah” tidak otomatis berujung pada perbaikan kualitas hidup warga.
Pada akhirnya, apakah jaminan bahwa Hamas tidak lagi memerintah Gaza usai Perang Gaza dapat diwujudkan, bergantung pada tiga hal: arsitektur keamanan yang operasional, tata kelola sipil yang legitimate, dan komitmen jangka panjang pendonor serta mediator. Di atas kertas, rencana ada. Di lapangan, implementasi yang menentukan.
Sumber: Euronews