28.6 C
Jakarta
Wednesday, December 10, 2025
HomeInternasionalPerang Thailand-Kamboja Meledak Lagi: Fakta Mengerikan di Perbatasan

Perang Thailand-Kamboja Meledak Lagi: Fakta Mengerikan di Perbatasan

Date:

Related stories

spot_imgspot_img

Lintas Fokus Di sepanjang garis perbatasan yang memisahkan hutan, desa kecil, dan kompleks candi kuno, suara artileri kembali memecah keheningan. Konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja yang sempat mereda kini meletus lagi, menjadikan perang Thailand-Kamboja sebagai salah satu titik paling berbahaya di Asia Tenggara pada akhir 2025. Pertempuran terbaru yang pecah sejak awal pekan ini melibatkan tembakan artileri berat, serangan drone, hingga serangan udara yang dikonfirmasi Angkatan Udara Thailand.

Pemerintah di kedua negara saling menuduh sebagai pihak yang memulai serangan. Bangkok menyebut pasukannya diserang roket dan granat, sementara Phnom Penh menegaskan tentaranya hanya merespons untuk mempertahankan wilayah. Di balik saling tuding, fakta di lapangan menunjukkan satu hal yang tidak terbantahkan: warga sipil menjadi korban terbesar dalam babak baru konflik Thailand-Kamboja ini. Laporan terbaru menyebut sedikitnya lebih dari selusin orang tewas dan puluhan lain terluka, dengan korban di pihak Kamboja didominasi warga sipil, sementara Thailand melaporkan beberapa prajuritnya gugur.

Ratusan ribu warga di kedua sisi perbatasan telah dievakuasi ke tempat penampungan sementara. Thailand menyebut sekitar 380.000 hingga 400.000 orang dipindahkan ke hampir 500 lokasi pengungsian di beberapa provinsi perbatasan, sementara Kamboja melaporkan puluhan ribu warganya terpaksa meninggalkan rumah.

Latar Belakang Singkat Konflik Perbatasan

Untuk memahami mengapa perang Thailand-Kamboja mudah sekali “kambuh”, kita perlu menengok akar masalahnya. Dua negara ini telah berselisih lebih dari satu abad mengenai penentuan batas di sepanjang perbatasan darat yang membentang sekitar 817 kilometer. Garis batas itu pertama kali dipetakan pada 1907 oleh Prancis ketika Kamboja masih berada di bawah kekuasaan kolonial, dan sejak saat itu berbagai titik di sepanjang perbatasan menjadi sumber klaim tumpang tindih dan sengketa kedaulatan.

Salah satu titik paling sensitif adalah kawasan sekitar Candi Preah Vihear dan kompleks candi lain seperti Ta Muen Thom dan Ta Krabey. Mahkamah Internasional pada 1962 memutuskan bahwa Candi Preah Vihear berada di wilayah Kamboja, namun status lahan di sekelilingnya tetap abu-abu. Ruang abu-abu inilah yang kemudian menjadi bahan bakar nasionalisme di kedua negara, mendorong pengerahan pasukan dan membentuk siklus ketegangan yang berulang dari dekade ke dekade.

Pada 2025, sengketa lama itu kembali memuncak. Skirmish kecil pada Mei di kawasan Chong Bok memicu rangkaian insiden yang berujung pertempuran besar pada akhir Juli, ketika artileri berat dan roket ditembakkan dari kedua sisi di sedikitnya selusin titik perbatasan. Sedikitnya 48 orang tewas dan lebih dari 300.000 warga sipil mengungsi sebelum gencatan senjata darurat disepakati di Kuala Lumpur, Malaysia, dengan peran mediasi kuat dari Perdana Menteri Anwar Ibrahim dan tekanan politik dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Gencatan senjata itu kemudian diformalkan dalam Kuala Lumpur Peace Accord pada 26 Oktober 2025, yang memuat penarikan artileri berat, pembentukan tim pemantau dari ASEAN, serta kerja sama pembersihan ranjau. Namun, semua itu ternyata rapuh ketika insiden ranjau di November melukai seorang prajurit Thailand dan memicu keputusan Bangkok untuk menangguhkan sebagian komitmen de-eskalasi.

Eskalasi Terbaru di Garis Batas Thailand-Kamboja

Babak terbaru perang Thailand-Kamboja dimulai sebelum fajar pada awal pekan ini, ketika bentrokan dilaporkan terjadi di sedikitnya lima titik di sepanjang perbatasan. Militer Thailand menyebut pasukannya ditembaki roket BM-21, granat, dan artileri yang jatuh tidak jauh dari area permukiman, sementara Kamboja menegaskan bahwa tentaranya menahan diri sebelum akhirnya menembak balasan.

Yang membuat eskalasi kali ini berbeda adalah penggunaan kekuatan udara. Angkatan Udara Thailand secara terbuka mengakui melakukan serangan udara ke sasaran militer Kamboja, dengan alasan untuk “mencegah eskalasi lebih lanjut” dan melemahkan kemampuan militer lawan. Dalam praktiknya, serangan udara hampir selalu meningkatkan risiko korban sipil dan memperluas zona bahaya melampaui garis tembak artileri biasa.

Di Phnom Penh, pejabat tinggi seperti Presiden Senat Hun Sen menyatakan bahwa Kamboja “dipaksa bertempur” untuk mempertahankan wilayahnya, sekaligus menuduh Thailand agresif dan melanggar kesepakatan damai. Perdana Menteri Hun Manet mengirim sinyal bahwa Kamboja siap berunding kapan saja, asalkan ada itikad baik dari Bangkok, namun menolak dianggap pihak yang harus memulai proses tersebut. Di sisi lain, Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul menegaskan dukungan penuh pada operasi militer dan menyatakan tidak ada ruang untuk negosiasi selama Kamboja belum menunjukkan langkah nyata de-eskalasi.

Sikap keras Thailand membuat banyak analis menilai bahwa dinamika domestik ikut mendorong eskalasi. Anutin, yang menggantikan Paetongtarn Shinawatra sebagai perdana menteri pada September 2025, berada di bawah sorotan kelompok nasionalis yang menuntut garis tegas terhadap Kamboja. Dalam konteks ini, konflik Thailand-Kamboja tidak hanya soal garis peta, tetapi juga soal sentimen pemilih dan citra kepemimpinan di Bangkok.

Dampak Kemanusiaan dan Tekanan Diplomatik ASEAN

Sementara elite politik saling adu narasi, warga sipil di lapangan menghadapi kenyataan yang jauh lebih getir. Data resmi menyebut ratusan ribu orang di wilayah perbatasan dipindahkan ke tenda-tenda pengungsian di provinsi seperti Surin, Buriram, dan Ubon Ratchathani di Thailand, serta ke desa-desa yang lebih aman di Kamboja. Sekolah ditutup, sebagian diubah menjadi tempat penampungan, dan akses ke layanan kesehatan ikut terganggu.

Di pusat-pusat pengungsian itulah tragedi kemanusiaan perbatasan Thailand-Kamboja terlihat paling jelas. Orang tua membawa anak-anak kecil dengan satu tas pakaian, petani meninggalkan sawah di musim tanam, dan pelaku usaha kecil kehilangan pendapatan harian. Bagi banyak keluarga, ini bukan pertama kalinya mereka harus mengungsi akibat desingan peluru dari konflik yang seolah tidak pernah benar-benar berakhir.

Dampak konflik juga merembet ke dunia olahraga dan citra kawasan. Hanya sehari setelah upacara pembukaan SEA Games ke-33 di Thailand, Kamboja secara mengejutkan menarik seluruh delegasinya dari pesta olahraga tersebut. Komite Olimpiade Nasional Kamboja menyebut alasan keamanan dan tekanan dari keluarga atlet yang meminta mereka segera pulang. Padahal Kamboja baru saja menjadi tuan rumah SEA Games 2023 dan menempati peringkat empat perolehan medali.

Langkah dramatis ini menandai betapa seriusnya eskalasi konflik Thailand-Kamboja di mata publik Kamboja sendiri, dan sekaligus memukul citra Thailand sebagai tuan rumah ajang regional. Bagi ASEAN, ini merupakan ujian berat terhadap reputasi blok sebagai kawasan yang mengedepankan stabilitas dan penyelesaian damai. Malaysia yang sejak awal aktif memediasi kembali menyerukan penahanan diri, sementara negara-negara lain memilih berhati-hati agar tidak terlihat memihak.

Dari luar kawasan, Amerika Serikat kembali memainkan peran keras. Presiden Donald Trump, yang sebelumnya mengklaim keberhasilan menengahi gencatan senjata pada Juli dengan “ancaman tarif” bagi kedua negara, menyatakan akan kembali melakukan panggilan telepon kepada kedua pemimpin untuk menghentikan pertempuran. Di Washington, Menteri Luar Negeri Marco Rubio menyerukan penghentian segera permusuhan dan meminta kedua pihak kembali ke langkah de-eskalasi sebagaimana diatur dalam Kuala Lumpur Peace Accord.

Wajib Tahu:

Perbatasan Thailand dan Kamboja sepanjang sekitar 817 kilometer tidak seluruhnya telah didemarkasi dengan jelas. Banyak titik sengketa berada di sekitar situs budaya penting seperti Candi Preah Vihear dan kawasan Emerald Triangle, sehingga setiap pergerakan pasukan sering kali dibaca bukan hanya sebagai langkah militer, tetapi juga simbol klaim sejarah dan identitas nasional di kedua negara.

Dampak Konflik bagi Indonesia dan Stabilitas Kawasan

Bagi pembaca di Indonesia, konflik Thailand-Kamboja ini mungkin terasa jauh, tetapi implikasinya bisa menyentuh langsung kepentingan ekonomi dan geopolitik Tanah Air. Pertama, eskalasi perang di daratan Asia Tenggara berpotensi mengguncang persepsi investor global terhadap stabilitas kawasan. ASEAN selama ini dijual sebagai “zona damai dan pertumbuhan”, dan konflik bersenjata yang berkepanjangan dapat merusak narasi itu, termasuk bagi Indonesia yang tengah menggenjot investasi di sektor industri dan hilirisasi.

Kedua, konflik Thailand-Kamboja terjadi di kawasan yang dekat dengan jalur-jalur perdagangan penting dan potensi blok energi di lepas pantai Teluk Thailand. Ketidakpastian jangka panjang di perbatasan dapat mengganggu perencanaan proyek infrastruktur lintas negara dan mempersulit pembicaraan eksplorasi bersama migas yang selama ini menjadi salah satu agenda besar di kawasan tersebut.

Ketiga, eskalasi konflik ini menguji efektivitas mekanisme keamanan ASEAN seperti pertemuan menteri luar negeri, Joint Boundary Committee, hingga peran negara ketua ASEAN. Indonesia, sebagai salah satu kekuatan diplomatik terbesar di kawasan, memiliki kepentingan agar konflik Thailand-Kamboja tidak berkembang menjadi proxy war yang membuka pintu keterlibatan kekuatan besar secara lebih agresif. Pengalaman Indonesia dalam memediasi konflik regional, dari Kamboja pada akhir era Perang Dingin hingga krisis di Myanmar, menjadi modal penting apabila Jakarta memilih terlibat lebih aktif.

Pada level opini publik, perkembangan ini juga menjadi pengingat bahwa perdamaian di kawasan tidak pernah bisa dianggap permanen. Di tengah fokus banyak negara ASEAN terhadap isu ekonomi digital, transisi energi, dan persaingan Amerika Serikat–Tiongkok, konflik klasik seperti perang Thailand-Kamboja membuktikan bahwa sengketa batas, nasionalisme, dan luka sejarah masih bisa sewaktu-waktu meledak dan mengguncang seluruh kawasan.

Bagi media dan pembaca Indonesia, mengikuti konflik ini secara dekat penting bukan hanya demi empati terhadap korban, tetapi juga sebagai barometer kesehatan politik regional. Cara kedua negara mengelola konflik, seberapa kuat tekanan ASEAN, dan seberapa jauh campur tangan aktor eksternal akan memberikan gambaran apakah Asia Tenggara tetap bisa berdiri sebagai kawasan yang memegang kendali atas nasibnya sendiri, atau justru terombang-ambing dalam rivalitas kekuatan besar.

Sumber: The Guardian

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img