Lintas Fokus – Satu foto bisa mengubah suasana. Begitu juga dengan gambar Raja Juli Antoni duduk santai bermain domino bersama Aziz Wellang dan Abdul Kadir Karding di sebuah posko organisasi kedaerahan. Dalam hitungan jam, unggahan tersebut memantik gelombang kritik: dari etika pejabat publik, sensitivitas kasus kehutanan, hingga pesan yang tersirat kepada aparat penegak hukum. Berita ini bukan sekadar gosip—ia menyangkut persepsi publik atas standar perilaku seorang menteri.
Kronologinya, menurut keterangan yang kini beredar luas, Raja Juli Antoni mengaku datang memenuhi janji bertemu Karding di Posko Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Setelah diskusi sekitar dua jam, ia mengaku diajak ikut bermain domino menjelang pamit, dan tidak mengetahui bahwa salah satu rekan main adalah Aziz Wellang, yang pernah disebut berperkara pembalakan liar. Klarifikasi ini ia sampaikan melalui unggahan dan diwawancarai sejumlah media.
Di sisi lain, Aziz Wellang juga buka suara: ia menegaskan tidak mengenal Raja Juli Antoni, tidak punya urusan dengan kementerian, dan momen itu sekadar kebetulan dalam acara kebersamaan.
Gelombang Kritik: Etika Pejabat & Persepsi Penegakan Hukum
Kritik paling nyaring datang dari MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia). Koordinator MAKI Boyamin Saiman menilai pertemuan santai semacam itu tidak elok karena bisa memengaruhi psikologi penyidik penegakan hukum di sektor kehutanan; ia bahkan menantang Raja Juli Antoni untuk memerintahkan penyidikan baru soal perkara yang dikaitkan dengan Aziz Wellang agar tak ada kesan tebang pilih. Intinya, bagi MAKI, simbol juga punya bobot hukum—bukan sekadar foto.
Nada peringatan juga terdengar dari kubu politik. NasDem mengingatkan potensi “konsekuensi berat” bila pejabat negara abai terhadap sensitivitas publik. Pesannya sederhana: dalam isu kehutanan—yang erat dengan kepentingan hajat hidup orang banyak—gestur sosial seorang menteri akan selalu dibedah dengan mikroskop etika.
Menanggapi derasnya kritik, Abdul Kadir Karding mengambil alih tanggung jawab: ia yang mengundang Raja Juli Antoni ke posko dan menyatakan Raja Juli “tidak salah”. Pernyataan ini mencoba meredam api, sekaligus menegaskan bahwa tidak ada pembahasan perkara kehutanan di meja domino malam itu.
Kronologi & Fakta yang Diakui Publik
Agar tidak terseret bias, berikut rangkaian fakta yang sudah dikonfirmasi media kredibel:
Tempat & momen. Pertemuan terjadi di Posko KKSS. Raja Juli Antoni datang untuk bertemu Karding, lalu diajak bermain domino ketika hendak pulang. Ia menegaskan tidak membahas isu pembalakan liar.
Status & profil pihak terkait. Liputan profil menyebut Raja Juli Antoni saat ini menjabat Menteri Kehutanan; sebelumnya ia Wamen ATR/BPN dan sempat menjadi Plt Wakil Kepala OIKN. Informasi ini mengukuhkan posisi strategis sang menteri sehingga sikap publik terhadap fotonya kian penting.
Pernyataan Aziz Wellang. Ia menegaskan tidak kenal Raja Juli Antoni dan menolak anggapan bahwa momen itu terkait urusan perkara.
Ekspektasi publik. Sejumlah media menulis “fakta-fakta” yang menyorot dampak persepsional dari foto tersebut—bahwa publik lebih peka ketika pejabat yang membawahi isu hutan tampak berinteraksi dengan sosok yang pernah disebut terlibat masalah kehutanan.
Dengan fakta itu, diskusi bergeser dari “apakah ada pelanggaran hukum” ke “apakah etis”—dua ranah berbeda yang sama-sama memengaruhi kepercayaan publik. Di sinilah Raja Juli Antoni diuji: menutup celah persepsi tanpa perlu menunggu ada atau tidaknya pelanggaran formal.
Dampak Kebijakan & Komunikasi Krisis
Kementerian yang dipimpin Raja Juli Antoni berada di garis depan perang melawan pembalakan liar. Karena itu, pesan simbolik harus dijaga setatam. Ketika muncul foto domino dengan figur yang pernah disebut berperkara, publik mengkhawatirkan tiga hal:
Netralitas penegakan hukum. Apakah penyidik merasa “kalah mental” karena melihat kedekatan simbolik atasannya dengan figur yang kontroversial? Kritik MAKI bergerak di area ini.
Reputasi kelembagaan. Kepercayaan publik atas agenda anti-illegal logging bisa terkikis hanya oleh satu visual. Kepercayaan ini mahal—membangunnya bertahun-tahun, meruntuhkannya cukup satu malam.
Efek kebijakan lapangan. Para kepala dinas, UPT, hingga polisi hutan membaca sinyal dari pusat. Isyarat yang salah dapat membuat pengawasan di lapangan melemah.
Karena itu, langkah komunikasi krisis menjadi krusial. Klarifikasi Raja Juli Antoni memperlihatkan dua taktik: (a) menjelaskan konteks pertemuan dan (b) menyatakan ketidaktahuan soal identitas lawan main domino. Namun, agar narasi mengunci, dibutuhkan (c) action point yang terukur—misalnya, mengumumkan audit progres penindakan illegal logging dalam 100 hari dan kode etik interaksi dengan pihak yang pernah berperkara. Transparansi aksi akan memutus spekulasi.
Wajib Tahu:
Raja Juli Antoni dan Karding sama-sama mengklaim tak ada pembahasan perkara dalam momen domino. Aziz Wellang menegaskan tak mengenal sang menteri. Namun, MAKI dan sebagian publik tetap menyoroti aspek etika dan persepsi—bukan semata legalitas.
Raja Juli Antoni & Pelajaran Besar dari “Foto Kecil”
Kasus ini menghadirkan tiga pelajaran praktis untuk pejabat publik—terutama bagi Raja Juli Antoni yang kini memimpin sektor hutan:
Protokol interaksi. Agenda non-formal yang melibatkan tokoh sensitif sebaiknya disaring oleh protokol dan humas. Daftar tamu dan due diligence cepat akan mencegah salah duduk yang berbiaya reputasi.
Standar etika visual. Di era gawai, setiap pose adalah pernyataan. Pedoman “no photo, no issue” terlalu naif; yang tepat: “tiap foto harus memuat konteks”. Bila perlu, hindari berpose dalam suasana permainan dengan figur yang berpotensi menimbulkan tafsir.
Kebijakan kontra-sinyal. Untuk meredam badai, hadirkan langkah kebijakan yang justru mempertegas komitmen: audit Gakkum, capaian penertiban terbaru, atau dashboard publik tentang perkara kehutanan. Dengan begitu, nama Raja Juli Antoni tidak hanya terdengar pada ranah klarifikasi, tetapi juga dilihat memimpin aksi.
Di titik ini, kita melihat mengapa kritik publik tidak boleh direspons defensif semata. Kritik adalah alat ukur ekspektasi. Jika ditangkap cermat, peristiwa domino bisa berubah jadi “efek domino kebijakan”—serangkaian tindakan yang memperkuat marwah lembaga, bukan sebaliknya.
Sumber: Detiknews