Lintas Fokus – (Roti O) Peristiwa kecil sering kali menjadi pemantik debat besar, terutama ketika menyentuh hal yang sangat dekat dengan keseharian: cara orang membayar. Dalam beberapa hari terakhir, nama Roti O mendadak ikut terseret ke pusat percakapan publik setelah sebuah video memperlihatkan situasi yang bagi banyak orang terasa “tidak adil”: seorang lansia disebut tidak bisa bertransaksi karena gerai hanya menerima pembayaran non-tunai, sementara ia membawa uang tunai. Viral, emosional, lalu melebar jadi perdebatan soal hukum, layanan pelanggan, hingga arah masa depan pembayaran di Indonesia.
Di satu sisi, digitalisasi pembayaran memang nyata memudahkan banyak orang. QRIS, dompet digital, dan aplikasi loyalti membuat transaksi lebih cepat, rapi, dan sering kali lebih murah karena promosi. Namun di sisi lain, “kemudahan” bisa berubah menjadi “pembatasan” ketika diterapkan tanpa mempertimbangkan kelompok yang tidak punya akses atau tidak terbiasa. Itulah kenapa kasus ini terasa sensitif, dan kenapa pembaca yang awalnya hanya ingin tahu “apa yang terjadi” akhirnya ikut bertanya: kalau uang tunai Rupiah adalah alat pembayaran yang sah, bolehkah sebuah gerai menolaknya?
(H3) Wajib Tahu:
QRIS itu hanya “jalur” transaksi, bukan mata uang. Bank Indonesia menegaskan sumber dana QRIS tetap rupiah yang berasal dari tabungan, uang elektronik, atau kartu kredit, sehingga perdebatan utamanya bukan soal QRIS vs Rupiah, melainkan soal kebijakan menerima atau menolak uang tunai di lapangan.
Kronologi viral: gerai Roti O jadi sorotan
Video yang menyulut perdebatan itu beredar luas di media sosial dan menampilkan seorang pria memprotes kasir di gerai Roti’O yang disebut menolak pembayaran tunai dari seorang nenek. Lokasi yang disebut dalam pemberitaan adalah area halte Transjakarta Monas. Nama pria yang ramai disebut adalah Arlius Zebua, dan peristiwa ini memicu reaksi warganet karena menyangkut lansia yang dianggap tidak punya akses ke pembayaran digital.
Dari sisi brand, respons perusahaan menjadi sorotan berikutnya. Manajemen Roti’O menyampaikan permohonan maaf melalui akun Instagram resmi, sekaligus menjelaskan alasan kebijakan pembayaran non-tunai di sejumlah outlet: untuk kemudahan pelanggan serta menghadirkan promo dan potongan harga bagi pelanggan setia. Mereka juga menyebut sudah melakukan evaluasi internal agar pelayanan lebih baik ke depannya.
Di titik ini, narasi publik biasanya terbelah. Ada yang melihatnya sebagai persoalan empati dan akses, ada yang memandang karyawan hanya menjalankan SOP, dan ada juga yang langsung mengaitkan dengan aturan Rupiah. Bahkan pemberitaan mencatat video tersebut menyedot perhatian besar dan memantik ribuan komentar dengan sudut pandang yang saling berlawanan.
Bukan sekadar cashless: ada isu akses dan inklusi
Kasus viral seperti ini cepat sekali membesar karena menyentuh dua realitas yang sama-sama benar. Realitas pertama: cashless memang efisien untuk bisnis. Transaksi tercatat otomatis, mengurangi risiko selisih kas, mempercepat antrean, dan sering terhubung dengan program loyalti atau promo yang meningkatkan pembelian impulsif. Tidak sedikit brand F&B yang memanfaatkan pola ini untuk mendorong repeat order melalui aplikasi.
Realitas kedua: Indonesia tidak homogen. Ada jurang akses digital, perbedaan kebiasaan lintas generasi, serta kondisi sosial yang membuat uang tunai masih menjadi “alat aman” bagi banyak orang. Ketika sebuah gerai menerapkan kebijakan cashless-only secara ketat, dampaknya bukan sekadar pelanggan harus pindah metode bayar, tetapi bisa berubah jadi “pelanggan tidak bisa beli sama sekali”. Dalam konteks layanan publik seperti halte atau simpul transportasi, sensitivitasnya makin tinggi karena pengunjungnya beragam, termasuk lansia.
Di sinilah poin pentingnya: perdebatan bukan anti teknologi. Banyak orang justru pro digitalisasi, tetapi menolak jika digitalisasi berubah menjadi penutupan akses bagi kelompok tertentu. Dan ketika kasusnya menyangkut lansia, opini publik cenderung memihak pada prinsip kehati-hatian: kalau bisa melayani, kenapa harus ditolak?
Apa kata aturan Rupiah dan Bank Indonesia
Secara prinsip, Rupiah adalah alat pembayaran yang sah di wilayah Indonesia. UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mengatur larangan menolak Rupiah dalam transaksi pembayaran, dengan pengecualian tertentu seperti keraguan atas keaslian atau transaksi valuta asing yang diperjanjikan tertulis. Sanksi atas penolakan Rupiah tanpa dasar yang dibenarkan juga diatur, termasuk ancaman kurungan dan denda.
Dalam diskursus publik, penegasan soal kewajiban menerima Rupiah juga beberapa kali muncul dari Bank Indonesia. Pemberitaan merujuk pada pernyataan yang menekankan bahwa UU mewajibkan penerimaan Rupiah, sehingga pada prinsipnya tidak boleh ada pembatasan transaksi yang menghilangkan fungsi Rupiah sebagai alat bayar yang sah.
Pada saat yang sama, Bank Indonesia juga berada pada posisi mendorong inovasi sistem pembayaran, termasuk QRIS. Dalam konteks kasus viral ini, BI disebut memberikan penjelasan bahwa masyarakat dan pedagang punya preferensi metode pembayaran, namun transaksi tetap berada dalam koridor Rupiah. Di pemberitaan, Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta disebut menjelaskan konteks tersebut, sejalan dengan penekanan bahwa QRIS hanyalah kanal pembayaran, sedangkan mata uangnya tetap Rupiah.
Catatan penting untuk pembaca: karena isu ini bersinggungan dengan hukum, implementasi di lapangan bisa kompleks. Ada perbedaan antara “mendorong non-tunai” dengan “menolak tunai”. Di sinilah banyak bisnis perlu lebih hati-hati menyusun SOP agar tidak menabrak persepsi publik, dan yang lebih penting, tidak bertabrakan dengan prinsip kewajiban penerimaan Rupiah.
Langkah yang masuk akal untuk bisnis dan konsumen
Untuk brand sebesar Roti O, insiden viral seperti ini memberi pelajaran yang tajam: reputasi bisa bergeser dalam hitungan jam, bukan karena kualitas produk, tetapi karena pengalaman transaksi. Klarifikasi dan permintaan maaf adalah langkah awal yang tepat, namun yang paling menentukan adalah perbaikan SOP yang terasa nyata di lapangan, bukan hanya di unggahan media sosial.
Bagi pelaku usaha F&B dan ritel, ada beberapa pendekatan yang lebih aman tanpa harus “mundur” dari digitalisasi:
-
Menyediakan skema bantuan pembayaran bagi pelanggan yang tidak punya akses non-tunai, misalnya opsi pembayaran tunai dengan uang pas atau pendampingan yang jelas, sehingga pelanggan tetap bisa dilayani tanpa membuat karyawan serba salah.
-
Menempatkan informasi metode pembayaran secara tegas sebelum pelanggan mengantre, agar tidak terjadi konfrontasi di kasir.
-
Melatih staf untuk merespons situasi sensitif, terutama ketika melibatkan lansia, penyandang disabilitas, atau pelanggan yang terlihat kebingungan.
Untuk konsumen, isu ini juga mengingatkan agar tetap tenang namun tegas: bertanya alasan penolakan, meminta penjelasan manajer outlet, serta mendokumentasikan secara proporsional bila diperlukan. Viral bukan satu-satunya jalan, tetapi transparansi sering menjadi pemicu perubahan kebijakan layanan.
Pada akhirnya, perdebatan “cashless vs cash” akan terus ada. Tetapi publik biasanya tidak menolak teknologi. Yang publik tolak adalah ketika teknologi dipakai sebagai pintu yang menutup, bukan jembatan yang memudahkan. Dan itulah mengapa kasus Roti O terasa lebih besar dari sekadar sepotong roti: ia menjadi cermin bagaimana inovasi diuji oleh realitas sosial Indonesia yang beragam.
Sumber: CNA.id
