Lintas Fokus – Dinamika ruang second account di digital Indonesia memanas. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pertengahan Juli 2025, Oleh Soleh—anggota Komisi I DPR RI (Fraksi PKB)—mengusulkan larangan kepemilikan akun ganda di media sosial. Ia menilai akun kedua kerap dipakai untuk menyamarkan identitas, menghindari sanksi, memproduksi spam, hingga memanipulasi percakapan publik. Gagasan itu disampaikan bersamaan dengan pembahasan revisi RUU Penyiaran dan mendapat tanggapan langsung dari perwakilan platform seperti Meta dan TikTok. Intinya, usulan mendorong prinsip satu identitas—satu akun agar ekosistem lebih bersih dari penipuan dan operasi koordinatif yang menyesatkan.
Respons pun beragam. Ada yang mendukung karena melihat potensi meredam impersonasi dan kriminalitas digital; ada pula yang mengkhawatirkan dampaknya pada privasi dan ekspresi anonim yang sah (misalnya korban kekerasan atau whistleblower). Terlepas dari pro-kontra, wacana ini menandai perubahan besar cara kita mengelola identitas daring—dari pengguna biasa hingga pengelola merek. Komisi I sendiri menekankan bahwa proses revisi regulasi harus mengedepankan partisipasi bermakna dan kejelasan definisi sebelum disahkan, sehingga tidak memukul rata praktik yang sebenarnya legitimate.
Apa yang Diusulkan DPR dan Mengapa Ramai?
Usulan yang dilayangkan Oleh Soleh sederhana tetapi berdampak luas: melarang Second Account untuk mencegah penyalahgunaan, dan mendorong klausulnya dimasukkan ke revisi RUU Penyiaran. Dalam forum yang sama, para platform diminta memaparkan kesiapan dan kebijakan internal yang sudah berlaku. Di sisi politik-hukum, pembahasan revisi RUU Penyiaran memang sedang diarahkan agar relevan dengan distribusi konten digital dan praktik moderasi masa kini; itu sebabnya isu akun ganda ikut nyangkut di meja pembahasan.
Jika larangan menjadi norma, implementasi realistisnya hampir pasti mengandalkan verifikasi identitas yang lebih ketat di level platform. Di titik ini, UU Pelindungan Data Pribadi (UU No. 27/2022) adalah pagar utama: pengumpulan nomor identitas, gambar KTP, atau biometrik wajib tunduk pada asas minimalisasi data, keamanan, dan hak subjek data. Tanpa tata kelola yang kuat, verifikasi massal justru membuka risiko kebocoran. Karena itu, desain teknis kebijakan perlu menyeimbangkan integritas ruang digital dan hak privasi warga.
Second Account di Mata Platform: Sudah Dilarang?
Banyak orang mengira platform “membolehkan apa saja” selama tidak ketahuan. Faktanya berbeda. Meta menegaskan prinsip Authentic Identity: pengguna harus merepresentasikan identitas yang asli, dan perilaku tidak autentik—mulai dari memakai akun palsu, memompa popularitas konten secara artifisial, sampai evasi sanksi—masuk kategori pelanggaran. Meta juga punya payung Account Integrity untuk tindakan bertahap: peringatan, pembatasan, hingga penghapusan akun jika pelanggaran berulang.
X (Twitter) mengklasifikasikan Platform Manipulation & Spam sebagai pelanggaran inti. Mengoperasikan jaringan akun yang saling menyemangati secara tidak organik, memalsukan trafik, atau menyebar link yang menipu bisa dibatasi visibilitasnya atau ditindak tegas. Panduan pemblokiran link menyesatkan dan opsi penegakan bertingkat menunjukkan bahwa platform menaruh perhatian pada modus yang sering dijalankan lewat akun kedua.
Di YouTube, impersonation terhadap kanal/individu tidak diperbolehkan; sementara spam & deceptive practices dilarang keras, terutama jika mendorong audiens keluar ke situs yang mencurigakan. TikTok menyediakan prosedur pelaporan akun peniru (impersonation) dan kanal banding jika terjadi salah tangkap. Dengan kata lain, tanpa menunggu regulasi baru sekalipun, ekosistem platform sebenarnya sudah menolak basis yang lazim digunakan Second Account bermasalah.
Singkatnya, Second Account untuk menyamar, mengelabui, atau mengangkat percakapan secara artifisial sudah bertentangan dengan kebijakan platform besar saat ini. Regulasi nasional berpotensi memberikan kekuatan hukum tambahan dan memperjelas standar di Indonesia.
Dampak Langsung bagi Pengguna, Kreator, dan Brand
Bila larangan Second Account benar-benar berlaku, gelombangnya terasa di tiga sisi.
Pengguna umum. Praktik evasi sanksi—misalnya membuat akun kedua setelah terkena suspend—akan kian sulit. Pengguna yang selama ini memisahkan persona (keluarga vs komunitas hobi) perlu meninjau apakah platform menyediakan multi-profil resmi atau role access alih-alih akun baru yang terpisah. Pada layanan milik Meta, prinsip identitas autentik dan pelarangan inauthentic behavior berlaku merata termasuk untuk profil tambahan—jadi akun kedua bukan “jubah” untuk mengakali penegakan.
Kreator & pelaku usaha. Kanal sebaiknya dikelola via akun bisnis/halaman resmi dengan hak akses berbasis peran (admin/editor), bukan lewat Second Account pribadi milik staf. Model ini lebih aman secara kepemilikan ketika tim berganti dan lebih rapi ketika menjalani audit keamanan. Taktik menggerakkan jaringan akun untuk menaikkan engagement juga berisiko melanggar kebijakan platform manipulation milik X.
Brand & organisasi. Larangan Second Account akan menekan impersonation yang memecah kepercayaan publik, terutama ketika peniru mempromosikan tautan berbahaya. YouTube memiliki kebijakan impersonation yang ketat, dan TikTok menyiapkan alur pelaporan yang mudah—alat yang perlu dilibatkan oleh tim komunikasi agar pemulihan reputasi lebih cepat ketika peniru muncul.
Di tingkat ekosistem, pengurangan akun ganda yang disalahgunakan dapat memangkas “biaya kepercayaan” (trust cost) dalam percakapan publik. Namun, perlindungan data adalah pekerjaan rumah: verifikasi identitas tambahan harus mematuhi UU PDP, dari dasar pemrosesan yang sah hingga keamanan teknis penyimpanan.
Wajib Tahu:
UU PDP (No. 27/2022) sudah berlaku penuh. Artinya, jika kelak verifikasi identitas lebih ketat, pengumpulan dan pemrosesan data KTP/biometrik oleh platform wajib mengikuti asas minimalisasi, keamanan, dan hak akses/erasure subjek data—bukan sekadar kebijakan internal.
Jalan Tengah: Patuh Aturan Tanpa Mematikan Kreativitas
Akan selalu ada kebutuhan untuk memisahkan persona secara wajar—misalnya komunitas hobi, volunteering, atau pengelolaan proyek. Kunci utamanya transparansi dan fasilitas resmi dari platform, bukan Second Account yang menyesatkan. Pertimbangkan langkah ini:
Gunakan fitur multi-profil/halaman yang resmi (jika tersedia) dan jelaskan fungsi profil di bio. Hindari menyaru, memalsukan lokasi/umur, atau memanfaatkan profil tambahan untuk menghindari sanksi. Kebijakan Authentic Identity dan Inauthentic Behavior Meta tetap berlaku pada profil tambahan.
Kelola akses dengan role management, bukan berbagi kata sandi. Saat staf keluar, cukup cabut perannya, bukan mematikan kanal dan memulai dari nol.
Bangun keamanan berlapis: autentikasi dua langkah, audit aplikasi pihak ketiga, dan pemantauan login. Ini relevan bahkan jika Second Account dilarang total.
Stop engagement farming. X secara eksplisit melarang platform manipulation—jaringan akun yang saling mendongkrak atau menyamarkan asal-usul percakapan.
Siapkan SOP anti-impersonation. Tautkan situs resmi di bio, gunakan domain email organisasi, dan kuasai kanal pelaporan peniru di YouTube/TikTok/Instagram untuk mitigasi cepat.
Akhirnya, perlu diingat: proses legislasi masih berjalan. Komisi I DPR menegaskan perlunya meaningful participation—melibatkan platform, komunitas digital, akademisi, dan masyarakat sipil—agar larangan Second Account tidak menabrak hak-hak yang sah dan tetap efektif menertibkan penyalahgunaan. Ini saatnya semua pihak berkontribusi data, studi dampak, dan rancangan teknis verifikasi yang pro-privasi.
Sumber: Detik