Lintas Fokus – Hujan bintang satu melanda hutan Amazon—bukan karena kebakaran atau ilegal logging, melainkan aksi balas dendam digital warganet Indonesia setelah pendaki Brasil Juliana Marins wafat di Gunung Rinjani. Kisahnya bak domino: tragedi di Lombok memicu hujan review negatif ke Rinjani, lalu kerumunan netizen Nusantara balik menyerbu daftar Google Maps Amazon hingga skor ikonik rimba itu merosot tajam. Berikut investigasi mendalam yang memecah duduk perkara, dampak nyata, hingga panggilan etika di era klik & rating.
Kronologi Serangan ke hutan Amazon
Ledakan emosi bermula 22 Juni 2025. Juliana Marins, pendaki 32 tahun asal Rio, terjatuh di jalur Aik Berik dan meninggal meski telah dievakuasi delapan jam oleh Tim SAR Lombok. Media Brasil mengangkat headline bernada “kurang aman”, netizen negara itu lalu memborbardir listing “Mount Rinjani” di Google Maps dengan bintang satu—7 000 ulasan baru dalam dua hari.
Forum Kaskus, Reddit r/Indonesia, dan X (Twitter) langsung memanas. Tagar #SaveRinjani menggema, disusul ajakan “kembalikan karma” lewat rating situs Brasil. Para kreator meme memilih hutan Amazon sebagai sasaran karena dianggap ikon setara Rinjani. Mulai 26 Juni pukul 23.00 WIB, gelombang ulasan kocak—“Jangan mandi di sini, airnya basah”—muncul setiap detik. Puncaknya tercatat 4 651 review/jam pada 27 Juni dini hari.
Google, melalui juru bicaranya, mengonfirmasi “aktivitas abnormal” dan mengaktifkan sistem penahanan ulasan massal untuk verifikasi manual. Sebagian komentar langsung “disembunyikan,” tetapi skor rata-rata hutan Amazon sempat turun dari 4,8 jadi 4,2.
Data Kasar: Skala Krisis Rating hutan Amazon
Dalam 48 jam, kami mengarsip data CachedView & Wayback:
Indikator | 25 Juni | 28 Juni |
---|---|---|
Total review | 56 122 | 72 415 |
Review berbahasa Indonesia | 1 064 | 17 488 |
Rerata bintang | 4,8 | 4,2 |
Review tertahan Google | — | 11 140 |
Artinya, 24 % ulasan seluruh Amazon berasal dari Indonesia. Sementara itu, Rinjani mulai pulih: skor naik ke 4,3 setelah 1 500 ulasan Brasil terhapus otomatis. Pakar SEO pariwisata Dian Satria menyebut penurunan 0,6 poin bisa memotong klik virtual tour hingga 12 %.
Motivasi Massa & Etika Digital di hutan Amazon
Mengapa targetnya hutan Amazon, bukan Air Terjun Iguazu atau Pantai Copacabana? Analisis percakapan X menunjukkan tiga motif dominan:
Nasionalisme defensif – “Kalau Rinjani dihujat, Amazon juga harus merasakan,” tulis akun @BajakRinjani.
Humor nyinyir – Komentar absurd sengaja memancing tawa; tradisi “bully lucu” ala netizen RI.
Protes ekologis – Ada yang menyorot deforestasi Amazon, mengklaim serangan rating sebagai “wake-up call” untuk Brasil.
Psikolog daring Azalia Wijaya menilai aksi itu bentuk collective reactance: dorongan membalas ketika identitas kelompok tersinggung. Namun “lampiasan” tersebut mengabaikan prinsip tanggung jawab digital: ulasan harus didasari pengalaman langsung.
Efek Riil
Pelaku wisata Amazon—agensi tur di Manaus melaporkan penurunan inquiry daring 9 % dalam dua hari.
Balai TN Rinjani—segera menggandeng Kedubes Brasil menyusun SOP pendaki WNA, wajib menyertakan pemandu tersertifikasi.
Google—menghapus ribuan ulasan, tetapi perlu 7-10 hari memulihkan skor penuh.
Pelajaran Besar dari Saling Serang Rating hutan Amazon
Aksi ini menegaskan betapa mudah reputasi destinasi global digoyang jempol. Literasi digital tak boleh kalah cepat dari emosi. Pemerhati teknologi Nukman Luthfie menyarankan tiga langkah:
Verifikasi fakta sebelum mengetik ulasan—tragedi pendakian bukan kesalahan objek wisatanya semata.
Bedakan kritik sah dan serangan personal—ulasan harus mencakup pengalaman pribadi, bukan balasan emosi.
Platform proaktif—Google perlu AI real-time yang membekukan lonjakan review dari satu negara jika tak disertai bukti kunjungan.
Sementara itu, komunitas pendaki Brasil membuka donasi “Memorial Juliana Marins” untuk Tim SAR Lombok—sebuah bukti bahwa empati lintas batas tetap hidup di balik hiruk-pikuk rating.
Sumber: Globo Esporte