33.3 C
Jakarta
Sunday, September 14, 2025
HomeOpiniSensor Rasa Baru: Ketika Pasukan Negara Turun Tangan Memburu Caption

Sensor Rasa Baru: Ketika Pasukan Negara Turun Tangan Memburu Caption

Date:

Related stories

Ratu Ratu Queens: Prekuel Penuh Kejutan yang Menghangatkan Hati

Lintas Fokus - Jika Anda merindukan kehangatan tante-tante kocak...

Ghost of Yotei Bernafas Lega: GTA 6 Mundur, Peluang Melebar

Lintas Fokus - Apa jadinya ketika raksasa sekelas GTA...

HONOR Pad 10: Tablet Murah yang Menggigit, atau Hype Saja?

Lintas Fokus - HONOR kembali menyerang segmen menengah lewat...
spot_imgspot_img

Lintas Fokus – Di tengah aneka ancaman siber kelas kakap, dari serangan ransomware sampai pencurian data, publik justru disuguhi tontonan unik: Siber TNI terlihat sibuk memonitor unggahan influencer. Ya, Anda tidak salah baca. Di republik 278 juta jiwa ini, yang dikejar bukan peretas lintas negara, melainkan reel dan caption. Sungguh upgrade misi yang… visioner. Tempo menuliskan bagaimana TNI berkonsultasi dengan polisi dan bahkan berencana mengadukan seorang influencer, Ferry Irwandi. Silakan tepuk tangan jika Anda mengira pertahanan negara kini resmi dimulai dari kolom komentar.

Kisahnya bergulir cepat. Komandan Satuan Siber Mabes TNI, Brigjen Juinta Omboh Sembiring, datang ke Polda Metro Jaya untuk “konsultasi hukum” terkait dugaan tindak pidana yang ditemukan lewat patroli digital. Kepolisian menegaskan urusan pencemaran nama baik, kalau memang itu tuduhannya, adalah domain pelapor pribadi, bukan institusi. Poin yang terasa seperti pelajaran dasar Hukum Pidana 101, tapi ya sudahlah.

Kenapa Perkara Ini Meledak di Tengah Jalan

Sorotan publik muncul karena langkah tersebut terasa salah sasaran. Siber TNI sejatinya dibentuk untuk memperkuat pertahanan siber, bukan patroli selera terhadap konten kritis. Ketika unit militer merapat ke kantor polisi membawa nama seorang influencer, pesan yang sampai ke publik jelas: ruang digital sedang dipersempit, dan kritik bisa dialihkan jadi urusan pidana. Organisasi masyarakat sipil sampai akademisi menilai ini berbahaya bagi demokrasi digital. Bukan saya yang bilang, analisis media dan kolom opini sudah mengulasnya panjang lebar.

Di Senayan, Komisi I DPR turut bertanya-tanya. Mereka meminta TNI menjelaskan secara terbuka alasan Ferry Irwandi sampai dianggap “mengancam pertahanan siber”. Permintaan sederhana yang ironisnya terasa revolusioner: tolong jelaskan dulu, baru lapor. Publik butuh kejelasan batas kewenangan negara versus hak warga untuk berpendapat.

Siber TNI dan Batas Tugas Menurut UU

Mari kembali ke kitab suci tugas militer: UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 7 menyebut tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi bangsa. Di luar perang, ada OMSP, termasuk membantu Polri sesuai kebijakan politik negara. Tidak ada pasal yang berbunyi “mengawasi unggahan influencer yang bikin jengkel institusi.” Jika ada tafsir baru, mohon disampaikan dasar hukumnya.

Argumen pembenar yang kerap dipakai adalah “ancaman pertahanan siber.” Nah, di sinilah logika loncat indah terjadi. Patroli konten pribadi lalu dipromosikan sebagai perkara pertahanan. Padahal, kalau pun ada unsur pidana siber, koridor penegakannya jelas: pembuktian digital forensik, locus delicti, hingga proses pidana biasa. Polisi sendiri menjelaskan, khusus dugaan pencemaran nama baik, pelapornya harus pihak pribadi, bukan lembaga. Mengingatkan lagi, supaya kita tidak salah kamar.

Bahkan profil pejabat yang datang ke Polda Metro Jaya pun terang-benderang tercatat di berbagai media. Brigjen J.O. Sembiring menjabat Dansatsiber sejak Januari 2025. Kapabilitasnya tidak diragukan. Justru karena itu, publik bertanya: masa kapasitas strategis sebesar itu dihabiskan untuk urusan status media sosial? Kita sedang kekurangan peretas musuh kah?

Dampak Nyata: Efek Beku di Kepala Kreator dan Publik

Ketika Siber TNI masuk gelanggang warganet, dampaknya bukan sekadar headline. Kreator konten, jurnalis warga, hingga aktivis akan menahan diri karena takut salah ucap. Inilah yang disebut chilling effect: kebebasan formal masih ada, tetapi orang berhenti berbicara karena bayang-bayang represi. Tempo dan sejumlah media mencatat eskalasi patroli digital dan penindakan terhadap akun yang dianggap “provokatif” dalam konteks kerusuhan. Masalahnya, definisi “provokatif” seringkali elastis, sementara hak publik untuk mengkritik kebijakan adalah bagian dari demokrasi.

Langkah yang grusa-grusu juga memantik pertanyaan tata kelola. Bila Siber TNI menemukan dugaan pidana, bukankah alurnya menyampaikan temuan secara resmi ke Polri melalui mekanisme antar institusi, bukan presser dramatis yang menyeret-nyeret reputasi sebelum bukti diperlihatkan? ICJR mengkritik keras manuver ini dan meminta Presiden menertibkan TNI yang melangkahi kewenangan. Lagi-lagi, kritiknya sederhana: patuhi hukum dan batas institusi.

Wajib Tahu:

Kepolisian menegaskan, laporan pencemaran nama baik harus diajukan oleh perorangan, bukan institusi. Informasi ini disampaikan saat menanggapi konsultasi hukum dari pejabat Siber TNI di Polda Metro Jaya.

Jalan Keluar: Fokus ke Ancaman Nyata, Bukan Drama Timeline

Mari, alihkan energi ke sasaran yang benar. Serangan siber terhadap infrastruktur vital, kebocoran data pengguna, botnet lintas negara, fraud sistemik di layanan publik digital. Itulah musuh yang pantas ditangani Siber TNI melalui kerja sama strategis lintas lembaga, bukan membentur kepala kreator konten. Koordinasi intelijen siber, peningkatan kapabilitas forensik, dan penindakan terukur terhadap serangan APT jauh lebih relevan untuk pertahanan negara daripada mengupas video 60 detik.

Transparansi juga mutlak. Jika memang ada bukti serangan yang mengancam pertahanan negara, tampilkan kronologi dan basis hukumnya. Ketika DPR meminta penjelasan, penuhi. Publik akan mendukung, selama logikanya jelas dan prosesnya akuntabel. Tanpa itu semua, setiap langkah Siber TNI akan terbaca sebagai operasi pencitraan yang menakut-nakuti warga, bukan proteksi negara.

Lebih baik lagi, dorong literasi keamanan siber masyarakat, perkuat kanal aduan teknis, dan bangun SOP lintas lembaga agar “patroli” tidak berubah menjadi “patologi.” Negara ini butuh institusi pertahanan yang tajam ke luar, rapi ke dalam, dan tidak baperan terhadap kritik. Siber TNI bisa jadi garda depan di medan yang tepat, asalkan tidak sibuk bertarung melawan bayangan di feed.

Sumber: ICJR

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img