Lintas Fokus – Putusan pengadilan mestinya menjadi garis akhir perkara, tetapi kasus Silfester Matutina justru menunjukkan betapa lenturnya garis itu di praktik. Sudah lebih dari enam tahun sejak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman 1,5 tahun penjara atas pencemaran nama baik Jusuf Kalla, namun pria yang dikenal sebagai aktivis Solidaritas Merah Putih itu belum sekalipun merasakan jeruji besi. Masyarakat bertanya-tanya: di mana keadilan ketika terpidana bisa tetap bebas, bahkan wara-wiri menjadi narasumber televisi?
Artikel ini mengupas secara mendalam jalannya perkara, alasan hukum yang mem-bypass eksekusi, serta potensi langkah selanjutnya. Harapannya, pembaca mendapat gambaran komprehensif dan tidak terjebak kabar simpang siur linimasa.
Alur Kasus Silfester Matutina: Vonis Ada, Tahanan Nihil
Putusan bersalah jatuh pada 7 Maret 2019 setelah majelis menilai video berisi tudingan korupsi kepada keluarga Jusuf Kalla sebagai fitnah aggravating . Silfester mengajukan banding—gagal. Ia maju kasasi—ditolak Mahkamah Agung pada Mei 2020; status hukumnya inkrah. Idealnya, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan segera mengeksekusi. Kenyataannya berbeda. Berikut kronologi singkat:
Tanggal | Peristiwa |
---|---|
07-03-2019 | PN Jaksel vonis 1,5 tahun |
22-05-2020 | MA menolak kasasi, putusan tetap |
05-09-2024 | Debat TV panas, publik ingat kembali vonis |
14-05-2025 | Kejari Jaksel umumkan tiga kali panggilan eksekusi |
05-08-2025 | Kejagung berjanji “eksekusi secepatnya” |
Setiap kali wartawan meminta keterangan, Silfester Matutina santai menjawab belum pernah menerima surat panggilan resmi. Di sisi lain, jaksa berdalih surat sudah dilayangkan namun alamat terpidana tak lagi valid . Bola tudingan pun bergulir—siapa sebenarnya yang lalai?
Celah Prosedural yang Menyelamatkan Silfester Matutina
Pakar pidana Universitas Trisakti, Ariyo Bimo, menyebut tiga faktor yang kerap membuat terpidana “berjalan di antara tetesan hujan”:
-
Peninjauan Kembali (PK)
Tim hukum Silfester Matutina menyiapkan PK dengan dalih menemukan novum: rekaman baru yang menampilkan konteks berbeda. Walau peluang dikabulkan kecil, pengajuan PK memberi alasan bagi jaksa menahan eksekusi hingga putusan PK terbit . -
Restorative Justice (RJ)
Pihak terpidana mengklaim telah berdamai secara lisan dengan Jusuf Kalla. Berdasarkan Perja No. 15/2020, jaksa dapat menunda eksekusi sambil memverifikasi kesepakatan tertulis. Meski praktik RJ lazim untuk pidana ringan, penerapannya pada perkara yang sudah inkrah masih menuai debat etik. -
Sengkarut Domisili
Sejak 2022 Silfester berdomisili di Yogyakarta untuk urusan keluarga. Surat panggilan yang dikirim ke alamat Serpong otomatis kembali, memberi celah formal bagi terpidana untuk mengelak tudingan mangkir.
Ariyo menegaskan, “Begitu putusan memiliki kekuatan tetap, jaksa wajib menjemput paksa bila panggilan diabaikan. Alasan administrasi seharusnya tidak mengalahkan kepastian hukum.” Sayangnya, ketegasan itu belum terlihat.
Resonansi Politik dan Persepsi Publik
Status “terpidana lepas” ini bukan hanya isu hukum—ia menjalar ke ranah politik. Silfester Matutina selama ini identik dengan barisan relawan Jokowi. Kelompok oposisi menilai lambannya eksekusi sebagai bukti “pilih-kasih”, sedangkan sebagian pendukung menganggapnya target kriminalisasi balik. Dampaknya:
-
Tagar #TangkapSilfester menduduki puncak Twitter Indonesia tiga kali sepanjang 2025.
-
Lembaga survei Indikator mencatat kepercayaan publik pada institusi kejaksaan turun dua poin setelah isu ini viral.
-
Tokoh lintas partai, dari Fadli Zon hingga Ruhut Sitompul, beradu komentar pedas di media daring, memperlebar polarisasi.
Pengamat komunikasi politik Yunarto Wijaya mengingatkan, “Semakin lama eksekusi tertunda, semakin besar potensi isu ini dimanfaatkan sebagai bahan bakar politik jelang 2029.”
Skenario Akhir: Kemana Arah Kasus Silfester Matutina?
1. Eksekusi Paksa dalam 90 Hari
Tekanan publik bisa memaksa Kejari Jaksel, dibantu Polda Metro, menjemput paksa terpidana. Jika ditahan sebelum akhir tahun, Silfester akan menjalani sisa hukuman sekitar sembilan bulan—dikurangi kemungkinan remisi.
2. Restorative Justice Disahkan
Bila dokumen damai tertulis dengan Jusuf Kalla masuk dan disetujui JAM-Pidum, jaksa dapat menghentikan eksekusi. Namun, ini memicu preseden: putusan inkrah dapat gugur lewat RJ—pasal yang masih abu-abu dalam KUHAP.
3. PK Membalik Putusan
Peluang terkecil, tetapi bukan nol. Jika novum diakui MA dan vonis dibatalkan, Silfester bebas tanpa status pidana. Pertanyaannya, sanggupkah tim hukum menemukan bukti baru yang relevan?
Wajib Tahu:
Satgas Mafia Hukum Kejagung pada Mei 2025 merilis data: 63% penundaan eksekusi terpidana dipicu permohonan restorative justice tanpa payung dokumen lengkap—menjadikan kasus Silfester Matutina contoh nyata pentingnya transparansi proses eksekusi.
Kasus ini ibarat ujian lakmus bagi sistem penegakan hukum. Bila eksekusi tetap mandek, skeptisisme publik kian dalam; jika akhirnya ditegakkan, pertanyaan baru muncul: mengapa menunggu enam tahun? Pada akhirnya nasib Silfester Matutina akan merefleksikan orkestrasi antara birokrasi, politik, dan semangat keadilan—tiga nada yang belum tentu harmonis di pentas hukum Indonesia.
Sumber: Tempo