34.3 C
Jakarta
Thursday, September 4, 2025
HomeViral“Stop Bayar Pajak” Meledak di Medsos: Sinyal Frustrasi Kolektif atau Langkah Berisiko?

“Stop Bayar Pajak” Meledak di Medsos: Sinyal Frustrasi Kolektif atau Langkah Berisiko?

Date:

Related stories

Venezuela vs Argentina: “Pertarungan Tanpa Ampun” di Buenos Aires

Lintas Fokus - Laga Venezuela vs Argentina pada lanjutan...

Profil Rusdi Masse, Pengganti Ahmad Sahroni

Lintas Fokus - Pada Kamis, 4 September 2025, Fraksi...

Ledakan Suara Mahasiswa: BEM SI Turun Hari Ini, Sinyal Keras ke DPR

Lintas Fokus - Seruan aksi mahasiswa kembali memuncak. BEM...
spot_imgspot_img

Lintas Fokus Seruan Stop Bayar Pajak mendadak meroket di lini masa Indonesia. Tagar itu lahir dari kejenuhan publik—campuran rasa tak percaya pada tata kelola, kekecewaan pada layanan, dan kemarahan pada kebijakan yang dianggap tak berpihak—lalu bergema bersama gelombang unjuk rasa di berbagai daerah. Pati dan Bone memanas karena lonjakan PBB-P2; aksi buruh nasional 28 Agustus menuntut kenaikan PTKP; dan riak kericuhan di beberapa kota mempertebal rasa tidak puas. Di tengah suhu sosial itu, wajar bila “Stop Bayar Pajak” jadi slogan singkat yang menggigit. Namun, apakah maknanya sesederhana ajakan mogok pajak? Tidak sesingkat itu—dan dampaknya tidak sepele.

Makna & Akar Viral Seruan di Lini Masa

Di permukaan, Stop Bayar Pajak adalah ekspresi protes yang menantang: publik mempertanyakan legitimasi pungutan saat layanan publik dirasa tidak setimpal. Narasi yang beredar menyasar ketimpangan, kebocoran, dan prioritas belanja negara. Respons politik pun muncul cepat: pimpinan Komisi XI DPR mengimbau warga tetap patuh, menekankan pajak sebagai kewajiban hukum dan sumber hak publik lain. Banyak ekonom mengingatkan, jika kepatuhan ambruk, risiko shortfall penerimaan kian besar dan ruang fiskal pemerintah—dari subsidi, pendidikan, kesehatan—menyempit. Dalam hitungan APBN 2025, penerimaan perpajakan dipatok sekitar Rp2.49 kuadriliun; itu tulang punggung penerimaan negara tahun ini.

Stop Bayar Pajak: Mengapa Seruan Ini Muncul

Ada tiga sumbu yang menyulut popularitas Stop Bayar Pajak. Pertama, kebijakan pajak daerah—khususnya lonjakan PBB-P2—yang memicu protes di banyak wilayah. Di Pati, gelombang aksi menuntut pembatalan kenaikan dan akuntabilitas anggaran; di Bone, demonstrasi menolak PBB sampai ratusan persen berujung ricuh. Kedua, ketidakpastian ekonomi rumah tangga: ketika harga naik dan pendapatan stagnan, sensitivitas pada pajak makin tinggi. Ketiga, krisis kepercayaan terhadap pengelolaan pajak & belanja, yang dipotret media bisnis sebagai sorotan serius di tengah aksi massa. Tak heran, seruan Stop Bayar Pajak dianggap sebagian orang sebagai “tekanan sosial” agar pemerintah merapikan tata kelola—meski jalan yang diusulkan sangat berisiko.

Dampak Ekonomi, Hukum, dan Tata Kelola Jika Diikuti

Mendorong Stop Bayar Pajak sebagai aksi nyata sama saja menyasar pusat nadi fiskal. Ekonom mengingatkan, gelombang demo berkepanjangan sudah menggerus kepercayaan dan berpotensi menekan penerimaan perpajakan; kepatuhan yang melemah bisa memperdalam defisit. Data Kemenkeu menunjukkan penerimaan pajak adalah komponen terbesar APBN; pelemahannya berimbas cepat ke program layanan publik. Karena itu, banyak analis menyebut efek domino: pendidikan, kesehatan, bansos, infrastruktur—semuanya bisa terganggu bila basis pajak rontok.

Secara hukum, konsekuensi ikut-ikutan Stop Bayar Pajak bukan main. UU KUP mengatur sanksi administratif (bunga/denda) hingga pidana untuk tindakan yang menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, termasuk sengaja tidak menyampaikan SPT atau tidak menyetor pajak yang terutang. DJP menegaskan ancaman pidana dapat mencapai 6 tahun penjara plus denda maksimal 4 kali jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar, sementara denda administrasi yang berlaku kini mengikuti tarif bunga yang ditetapkan bulanan oleh Menkeu. Praktiknya, pengadilan pernah mengukuhkan sanksi penjara, pelunasan pokok pajak, dan denda berlipat bagi pelaku. Artinya, menjadikan Stop Bayar Pajak sebagai aksi kolektif bisa menyeret individu ke risiko personal yang nyata.

Wajib Tahu:

APBN 2025 menargetkan penerimaan perpajakan ±Rp2,49 kuadriliun—tanpa pemasukan ini, ruang belanja prioritas seperti pendidikan dan kesehatan akan tertekan. Menolak pajak secara massal berpotensi memperbesar defisit dan memukul pelayanan publik.

Hubungan dengan Unjuk Rasa Terbaru di Indonesia

Seruan Stop Bayar Pajak tak lahir di ruang hampa. Dalam beberapa pekan terakhir, Indonesia dilanda unjuk rasa bertema fiskal: dari Pati (Jawa Tengah) dengan kronologi aksi dan tuntutan pembatalan kenaikan PBB, hingga Bone (Sulawesi Selatan) yang berujung benturan. Di tingkat nasional, aksi buruh 28 Agustus mengusung agenda fiskal—menaikkan PTKP agar upah lebih “take home”. Lini masa memperlihatkan narasi “pajak membebani rakyat kecil” yang memantik simpati, lalu disederhanakan menjadi slogan Stop Bayar Pajak. DPR menanggapi dengan pesan publik untuk menjaga kepatuhan, sementara analis ekonomi menilai gelombang demo yang tak mereda dapat menekan penerimaan pajak. Dengan kata lain, tagar viral itu adalah “kulminasi” dari isu lapangan yang nyata.

Di saat bersamaan, organisasi sipil menyoroti partisipasi publik dalam proses penetapan pajak—khususnya PBB-P2—agar tidak top-down. Mereka mengkritik kenaikan yang drastis tanpa kanal dialog memadai yang pada akhirnya menyulut kemarahan. Jika ruang partisipasi dibuka lebih lebar, narasi Stop Bayar Pajak mungkin akan bergeser menjadi tuntutan yang lebih konstruktif: evaluasi basis pajak, means-testing, transparansi belanja, dan kompensasi sosial yang tepat sasaran.


Kesimpulan yang Praktis (tanpa bumbu):
Sebagai slogan, Stop Bayar Pajak efektif mengirim sinyal protes. Namun sebagai aksi, ia berbiaya tinggi: risiko pidana & denda bagi individu, risiko fiskal bagi negara, dan risiko layanan bagi masyarakat luas. Jalan tengah yang lebih sehat—dan lebih kuat daya tekan kebijakannya—adalah mengawal transparansi, menuntut partisipasi kebijakan pajak (pusat–daerah), mengukur dampak kenaikan PBB, serta mengomunikasikan reformasi yang mengembalikan kepercayaan. Jika hal-hal itu bergerak, percakapan publik akan berubah dari “Stop Bayar Pajak” menjadi “Gunakan Pajakku dengan Benar”.

Sumber: CNBC Indonesia

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img