Lintas Fokus – Gelombang kegelisahan publik memuncak. Di banyak kota, warganet menandai perilaku arogan di jalan dengan istilah “Tot tot wuk wuk”: sirine meraung, rotator berkedip, dan Strobo menyala tanpa hak, memecah antrean lalu lintas seolah semua harus minggir. Bukan cuma mengganggu, pola ini merusak rasa keadilan. Kabar baiknya, suara publik kini ditanggapi serius. Korlantas Polri menyatakan sedang mengevaluasi penggunaan sirine dan Strobo ilegal, merespons gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk” yang viral beberapa hari terakhir.
Di sisi regulasi, aturan sudah jelas. Hak menggunakan lampu isyarat dan sirine ada di undang-undang, lengkap dengan warna, peruntukan, dan sanksinya. Masalahnya, banyak orang tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau merasa kebal. Artikel ini merangkum peta masalah, aturan tegas, dan langkah praktis agar jalan raya kembali ramah untuk semua—tanpa “privilege” palsu berbasis Strobo.
Mengapa Fenomena Ini Meledak Sekarang
Ada setidaknya tiga pemicu yang membuat isu ini meledak. Pertama, visibilitas. Kamera di mana-mana, dari dashcam sampai ponsel, membuat tindakan semena-mena terekam dan viral dalam hitungan menit. Kedua, kemacetan yang makin padat menambah sensitivitas; satu kendaraan memaksa prioritas artinya ratusan kendaraan lain harus mengalah. Ketiga, gerakan warga yang terkoordinasi. Tagar, stiker “Stop Tot Tot Wuk Wuk”, hingga liputan media arus utama menekan otoritas untuk bertindak. Dalam pernyataannya, Kakorlantas Polri menegaskan evaluasi penggunaan sirine dan Strobo ilegal di jalan sedang berjalan menyusul masukan masyarakat.
Di ruang kebijakan, evaluasi tanpa dasar hukum tidak cukup. Itu sebabnya penting mengingat pasal-pasal kunci yang sudah ada dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) beserta turunannya. Pasal 58 UU 22/2009 melarang pemasangan perlengkapan yang mengganggu keselamatan, sementara Pasal 59 mengatur tegas siapa berhak lampu isyarat dan sirine.
Strobo dan Sirine: Siapa Sebenarnya yang Berhak?
Payung utama ada di UU 22/2009. Pasal 59 ayat (1) menegaskan bahwa untuk kepentingan tertentu, kendaraan boleh dilengkapi lampu isyarat dan/atau sirine. Ayat (5) mengatur warna dan peruntukannya: biru untuk kendaraan Kepolisian, merah untuk ambulans, pemadam kebakaran, PMI, pengawalan TNI, kendaraan tahanan, rescue, dan jenazah, sedangkan kuning (tanpa sirine) untuk patroli jalan tol, pengawasan prasarana, perawatan fasilitas umum, derek, dan angkutan barang khusus. Penggunaan di luar itu berarti pelanggaran.
Perinciannya dipertegas lagi dalam PP 55/2012 tentang Kendaraan, yang menyebut kendaraan untuk kepentingan tertentu dapat dilengkapi lampu isyarat dan/atau sirine—bukan semua kendaraan. Ketentuan teknis warna kuning sebagai peringatan turut diatur dalam regulasi turunan Kementerian Perhubungan. Intinya jelas: rotator kuning pun ada batasannya, dan tidak disertai sirine.
Bagaimana dengan sanksi? Rujukan populer yang sering dikutip adalah Pasal 287 ayat (4) UU 22/2009, terkait pelanggaran ketentuan hak utama atau penggunaan alat peringatan bunyi/sinar yang tidak semestinya. Media otomotif dan nasional berulang kali menegaskan bahwa pelanggar dapat dikenai pidana kurungan sampai 1 bulan atau denda hingga Rp250.000. Selain pidana, penertiban di lapangan dapat berupa penyitaan perangkat dan tilang sesuai penilaian petugas.
Catatan penting: istilah “hak utama” pada Pasal 134–135 UU LLAJ berlaku saat bertugas dan sesuai peruntukan. Jadi, kendaraan berlampu merah atau biru tidak otomatis berhak menyerobot jika tidak sedang menjalankan tugas khusus dan tidak disertai prosedur pengawalan sebagaimana diatur.
Dampak Sosial, Risiko Kecelakaan, dan Biaya Publik
Penyalahgunaan Strobo tidak berdiri sendiri; ia menciptakan rantai masalah yang merugikan banyak pihak.
Pertama, risiko keselamatan. Kilatan Strobo dan sirine yang memaksa ruang mendadak membuka celah insiden: pengereman mendadak, manuver spontan, hingga tabrakan beruntun pada kepadatan lalu lintas. Pasal 58 UU LLAJ jelas melarang peralatan yang mengganggu keselamatan, yang logikanya mencakup Strobo ilegal.
Kedua, keruntuhan etika jalan. Ketika kendaraan tidak berhak meniru simbol prioritas, masyarakat belajar bahwa aturan bisa dinegosiasikan. Ini memicu “efek penularan”: semakin banyak yang memasang Strobo, makin sulit membedakan mana yang resmi. Konten edukasi Kemenhub dan Indonesia Baik juga menegaskan kembali pembagian warna dan peruntukan agar publik tidak keliru.
Ketiga, biaya sosial. Satu kendaraan yang memaksa prioritas menahan ratusan kendaraan lain. Waktu terbuang, emisi bertambah, dan produktivitas turun. Tidak heran gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk” cepat mendapat dukungan, termasuk sorotan media dan tanggapan otoritas.
Di tengah tekanan publik, Korlantas memberi sinyal penertiban lebih tegas. Sejumlah pemberitaan menyebut evaluasi dan tindak lanjut terhadap perangkat Strobo serta sirine ilegal akan dipercepat. Ini momen penting: aturan sudah ada, tinggal konsistensi eksekusi.
Solusi Konkret: Penertiban, Edukasi, dan Cara Melapor
Bagaimana mempersempit ruang penyalahgunaan Strobo?
1) Penegakan selektif yang terukur
Operasi rutin bisa fokus pada tiga hal: pemasangan perangkat ilegal, penyalahgunaan hak utama, dan pengawalan tidak sah. Landasannya jelas di UU 22/2009 dan PP 55/2012. Petugas dapat menilai lokasi, waktu, dan konteks—apakah benar sedang bertugas atau sekadar “gaya”.
2) Standarisasi perizinan dan identifikasi
Rotator resmi untuk instansi harus mudah dikenali: tipe lampu, pola nyala, dan penomoran yang dapat diverifikasi di jalan melalui aplikasi atau QR. Publik mengerti, petugas mudah menindak. Materi edukasi Kemenhub yang menjabarkan peruntukan warna bisa menjadi acuan kampanye luas.
3) Edukasi publik dan komunitas otomotif
Dealer dan bengkel dilarang menawarkan paket “full Strobo” untuk kendaraan pribadi. Komunitas otomotif diajak ikut kampanye: rotator kuning tanpa sirine hanya untuk fungsi peringatan terbatas, bukan memaksa prioritas. Media otomotif dan nasional telah merangkum sanksi untuk pengingat bersama.
4) Saluran aduan yang jelas
Sediakan kanal pelaporan cepat dengan bukti video/foto: lokasi, waktu, plat nomor. Gerakan warga yang rapi terbukti efektif menekan penyalahgunaan dan mendorong respons kebijakan. Dalam beberapa hari terakhir, media melaporkan Korlantas dan pihak Istana turut menanggapi gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk”.
5) Etika pengawalan resmi
Bahkan kendaraan berhak utama pun wajib mengutamakan keselamatan. Pengawalan yang benar adalah manajemen lalu lintas, bukan intimidasi. Ini selaras dengan roh Pasal 134–135: hak utama ada untuk misi kemanusiaan, penegakan hukum, dan tugas negara—bukan untuk gaya hidup.
Wajib Tahu:
UU 22/2009 Pasal 59 membagi tegas peruntukan lampu: biru untuk Polri, merah untuk ambulans/pemadam dkk, kuning tanpa sirine untuk peringatan teknis. Penyalahgunaan dapat dijerat Pasal 287 ayat (4) tentang pelanggaran ketentuan hak utama dan alat peringatan bunyi/sinar.
Kesimpulan
“Tot tot wuk wuk” adalah gejala: ketika simbol prioritas dipakai tidak pada tempatnya, kepercayaan publik runtuh. Aturannya sudah terang—siapa boleh memakai Strobo, sirine, dan rotator; siapa tidak. Tugas kita bersama adalah memastikan aturan hidup di jalan: aparat konsisten menertibkan, komunitas otomotif berhenti menjual ilusi, dan warga berani melapor. Kalau semuanya berjalan, kita tidak butuh lagi “tot tot wuk wuk” untuk bergerak; cukup patuhi rambu, hormati sesama pengguna jalan, dan biarkan prioritas kembali pada misi kemanusiaan serta keselamatan.
Sumber: Media Indonesia