Lintas Fokus – Keputusan politik datang cepat. Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh resmi menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach sebagai Anggota DPR RI dari Fraksi NasDem efektif 1 September 2025, lewat surat/siaran pers yang ditandatangani Surya Paloh bersama Sekjen Hermawi Taslim pada Minggu, 31 Agustus 2025. Kebijakan ini menyusul gelombang kritik publik atas sikap/pernyataan keduanya dan dirangkai setelah perubahan komposisi alat kelengkapan dewan yang lebih dulu menggeser Sahroni dari Wakil Ketua Komisi III.
Sehari-dua terakhir, Fraksi NasDem memang merapikan barisan: Sahroni dipindahkan ke Komisi I, sementara posisi Wakil Ketua Komisi III diisi Rusdi Masse. Di saat yang sama, profil Nafa Urbach tercatat sebagai anggota DPR RI periode 2024–2029 dari Komisi IX. Rangkaian ini menjawab satu tanya besar publik: mengapa Surya Paloh memilih istilah “nonaktif”, bukan langsung “dipecat” dari kursi DPR?
Mengapa Langkah Ini Diambil Sekarang
Dari sisi komunikasi politik, penonaktifan memberi sinyal cepat tanpa menabrak prosedur hukum kursi DPR. Surya Paloh menunjukkan disiplin fraksi: mencegah kegaduhan makin menular ke ruang sidang, sekaligus meredam persepsi bahwa partai “membiarkan” kontroversi. Secara administratif, siaran pers partai menegaskan tanggal efektif, menandakan keputusan ini bukan sekadar pernyataan media, melainkan kebijakan organisasi yang mengikat internal fraksi.
Dari sudut DPR, rotasi alat kelengkapan yang lebih dulu terjadi—Sahroni keluar dari pimpinan Komisi III lalu masuk Komisi I, Rusdi Masse naik—memberi konteks bahwa penertiban barisan sudah dimulai bahkan sebelum langkah Surya Paloh menonaktifkan dua kadernya itu.
Makna “Nonaktif” di Fraksi & Dampaknya ke Dua Anggota
Secara organisasi, nonaktif = dibekukan dari aktivitas fraksi/partai. Artinya, Sahroni dan Nafa masih berstatus anggota DPR menurut konstitusi, tetapi tidak lagi berperan di kanal internal fraksi: tidak terlibat dalam rapat lini fraksi, pengambilan posisi fraksi, penugasan komunikasi fraksi, ataupun akses strategis lain di barisan NasDem di DPR. Ini keputusan domain partai; Surya Paloh selaku ketua umum sah menerapkannya sesuai AD/ART partai—apalagi didahului dinamika publik yang luas.
Di praktik harian, efeknya terasa: akses ke “jalur fraksi” (jatah bicara yang disusun fraksi, lobi, hingga penugasan resmi) menyempit. Mereka bisa hadir di ruang sidang sebagai anggota DPR, tetapi tanpa payung fraksi, ruang manuver politik menurun drastis. Penonaktifan adalah rem politik: tegas ke publik, tetap membuka opsi hukum-administratif jika suatu saat partai memutuskan melangkah lebih jauh.
Bedanya “Nonaktif” vs “Pemecatan” (PAW) di Kursi DPR
Istilah “dipecat” kerap disamakan dengan dicabut kursinya. Padahal, pencabutan kursi DPR hanya bisa melalui Pemberhentian Antarwaktu (PAW)/recall, sebuah proses hukum berlapis. Rutenya jelas: partai mengusulkan pemberhentian antarwaktu ke Pimpinan DPR, lalu DPR meneruskan ke KPU, dan KPU menetapkan PAW (calon pengganti umumnya peraih suara terbanyak berikutnya di dapil yang sama dari partai yang sama). Baru setelah itu disahkan dalam paripurna dan anggota baru diambil sumpahnya.
Dasar hukumnya tegas. UU MD3 Pasal 239 ayat (2) huruf d menyebut anggota DPR dapat diberhentikan antarwaktu atas usul partainya. Sementara aspek teknis PAW diatur lebih lanjut dalam rezim UU Pemilu 7/2017 dan peraturan KPU. Dengan demikian, nonaktif ≠ PAW: nonaktif adalah sanksi/penertiban internal fraksi, sedangkan PAW adalah pemberhentian konstitusional atas kursi. Tanpa usul PAW yang diproses DPR–KPU, status anggota DPR tetap melekat.
Wajib Tahu:
Secara hukum, partai tidak bisa “sekali ketuk” mencabut kursi DPR. Surya Paloh boleh menonaktifkan di fraksi, tetapi PAW membutuhkan usul resmi, proses verifikasi/admin di DPR–KPU, dan penetapan pengganti sebelum kursi benar-benar berpindah tangan.
Manuver Surya Paloh: Sinyal ke Publik, Peringatan ke Kader
Apa pesan politik di baliknya? Pertama, Surya Paloh menutup ruang interpretasi bahwa partai “diam”. Ini gesture cepat pascaguncangan opini publik, sembari masih taat pada pagar aturan kursi DPR. Kedua, kepada internal, pesan disiplin jelas: perilaku yang dinilai melukai nalar publik bisa berakhir pada pembekuan peran—even sebelum proses etik/hukum lain menyusul. Ketiga, Surya Paloh menjaga opsi: jika ekspektasi publik makin mengeras dan bahan hukum memadai, partai bisa mengakselerasi PAW. Jika tidak, nonaktif sudah cukup sebagai cooling-down measure—tanpa mengubah komposisi kursi secara hukum.
Di luar itu, konteks struktural perlu dicatat. Penggantian Wakil Ketua Komisi III ke Rusdi Masse menandai bahwa pembenahan tidak berhenti pada individu; ia menyentuh aritmetika kekuasaan di alat kelengkapan DPR. Sementara itu, informasi resmi menunjukkan Nafa Urbach memang anggota DPR periode 2024–2029 di Komisi IX, sehingga penonaktifan darinya juga mengandung dampak komunikasi besar: figur publik, sorotan publik. Semua ini terjadi dalam koridor data yang bisa dicek ulang publik—bukan isu kabur.
Kesimpulan: Langkah Surya Paloh menonaktifkan Sahroni dan Nafa menempatkan NasDem pada posisi responsif di mata publik sekaligus disipliner di internal. Namun, jika publik menagih “konsekuensi kursi”, rutenya jelas: PAW. Sampai keputusan itu ditempuh, nonaktif tetaplah suspensi fraksi—bukan pemberhentian antarwaktu. Memahami beda istilah ini penting agar debat publik kita tajam, adil, dan akurat.
Sumber: Detik