Lintas Fokus – Nama Tan Shot Yen mendadak berada di pusat perdebatan publik setelah tampil berapi-api di rapat dengar pendapat dengan DPR membahas program Makan Bergizi Gratis atau MBG. Di depan para legislator, dokter dan ahli gizi masyarakat ini menyorot menu yang dinilai “melenceng” dari tujuan program: burger, spageti, hingga makanan ultra-olahan yang menurutnya tidak selaras dengan konsep gizi seimbang berbasis pangan lokal. Ia mendesak agar porsi menu lokal ditingkatkan, bahkan menargetkan dominasi sekitar 80 persen agar anak-anak Indonesia belajar makan yang benar, bukan sekadar kenyang cepat. Kritik itu terekam jelas dalam pemberitaan hari ini yang mengutip pernyataannya di forum resmi.
Konteksnya makin benderang ketika jejaring organisasi kesehatan masyarakat juga membawa kekhawatiran yang sama ke parlemen. Selain menyoal mutu menu, mereka menyorot keamanan pangan dan tata kelola dapur. Dalam rapat di Senayan, koalisi LSM meminta evaluasi ketat terhadap dapur penyedia serta mekanisme penghentian sementara di titik yang mencatat kasus keracunan. Data per 22–25 September menunjukkan pemerintah mengakui ribuan dugaan kasus keracunan dari lebih 1 miliar porsi yang telah didistribusikan sejak peluncuran awal tahun, dan anggaran tahun depan dikabarkan akan naik signifikan. Di forum itu, Tan Shot Yen menekankan risiko jangka panjang bila menu ultra-processed dibiarkan mendominasi.
Tan Shot Yen: Inti Kritik dan Bukti Lapangan
Menurut Tan Shot Yen, tujuan MBG seharusnya bukan hanya mengenyangkan, melainkan mengedukasi lidah dan pola makan anak Indonesia. Menu berbasis tepung terigu yang diolah berlapis dan tinggi garam–gula–lemak menjerumuskan anak pada kebiasaan yang salah sejak dini. Ia memotret fenomena burger atau spageti yang muncul di sejumlah daerah sebagai contoh mudah diingat, sekaligus simbol dari salah kaprah desain menu. Di rapat, ia meminta penataan ulang sehingga mayoritas menu kembali ke pangan lokal seperti umbi, ikan air tawar, telur, tempe, tahu, sayur, dan buah musiman. Pernyataan dan fokus kritik ini konsisten di berbagai kanal berita arus utama.
Yang juga disorot Tan Shot Yen adalah kompetensi, pengawasan, dan standar keamanan dapur. Ia menegaskan dapur penyaji wajib paham prinsip kebersihan dan manajemen bahaya pangan. Ia bahkan menyinggung bahwa tenaga yang terjun di lapangan harus benar-benar memahami standar sistem keamanan pangan, bukan sekadar “bisa masak” atau baru lulus tanpa pengalaman memadai. Nada tegas tersebut menggambarkan urgensi penyisiran kualitas SDM di balik rantai pasok MBG.
Menu Ultra-Proses, Risiko Jangka Panjang
Kritik Tan Shot Yen tidak berdiri pada sentimen semata. Ia memetakan risiko konsumsi ultra-processed food terhadap kebiasaan makan yang memicu penyakit tidak menular di masa depan. Makanan ultra-olahan identik dengan kepadatan energi tinggi namun miskin mikronutrien, sering mengandung aditif, serta memicu preferensi rasa manis dan gurih berlebihan. Bila pola ini menjadi normal di sekolah, anak justru belajar cita rasa yang menjauh dari pangan segar. Ia mendorong penggunaan bahan lokal segar yang mengenalkan keragaman rasa Nusantara sekaligus menggerakkan ekonomi daerah melalui pasokan protein dan sayuran dari produsen sekitar. Narasi ini sejalan dengan seruan LSM di rapat parlemen yang meminta fokus pada nilai gizi, bukan sekadar distribusi porsi.
Di titik ini, diskusi tentang MBG perlu kembali ke desain kebijakan. Makan bergizi bukan berarti “makan yang terlihat modern”. Sering kali yang dibutuhkan adalah menu sederhana namun padat gizi: nasi atau umbi sebagai sumber karbohidrat, lauk hewani seperti telur atau ikan, pendamping nabati, sayur tumis atau rebus, serta buah segar. Dengan porsi dan frekuensi tepat, anak belajar kenyang yang bertahan lama, performa belajar pun meningkat. Paradigma inilah yang terus diulang Tan Shot Yen di ruang-ruang edukasi gizi yang ia geluti selama bertahun-tahun.
Anggaran, Tata Kelola, dan Rantai Pasok
Anggaran MBG yang besar menuntut tata kelola yang rapi. Laporan parlemen mengindikasikan program telah menjangkau puluhan juta penerima, namun kapasitas logistik, dapur, dan pengawasan mutu masih bertumbuk. Koalisi LSM mendesak evaluasi menyeluruh pada dapur yang mencatat insiden, termasuk opsi jeda setempat sampai standar kembali terpenuhi. Tan Shot Yen sejalan: perbaikan harus menyentuh hulu ke hilir, dari perencanaan menu, keamanan pangan, pemilihan pemasok, hingga pelatihan tenaga dapur. Jika tidak, risiko keamanan dan mutu gizi akan kembali menghantui, dan biaya kesehatan di masa depan justru membengkak.
Ia juga menyorot pentingnya rantai pasok pendek. Bahan yang datang dari produsen lokal cenderung lebih segar, biaya angkut lebih rendah, dan jejak karbon lebih kecil. Sekolah dapat bermitra dengan kelompok tani, BUMDes, atau koperasi nelayan agar suplai protein dan sayuran lebih terjamin. Menguatkan jejaring lokal selaras dengan semangat kemandirian pangan yang sejak lama didorong para pakar gizi. Poin-poin ini banyak disarikan media yang mewawancarainya dan mengulas kembali argumentasi di rapat DPR. +1
Wajib Tahu:
Tan Shot Yen meminta perombakan menu MBG agar 80 persen berbasis pangan lokal, mengecam dominasi makanan ultra-olahan seperti burger dan spageti, serta menekankan evaluasi dapur yang mencatat insiden keamanan pangan.
Rekomendasi Perbaikan: Dari Dapur ke Kebijakan
Agar kritik tidak berhenti sebagai headline, ada beberapa langkah praktis yang sejalan dengan usulan Tan Shot Yen dan masukan koalisi kesehatan masyarakat. Pertama, tetapkan standar menu nasional berbasis pangan lokal dengan ambang batas jelas untuk gula, garam, lemak, serta daftar bahan aditif yang dilarang. Kedua, buat skema pelatihan dan sertifikasi berjenjang untuk koki sekolah dan pengelola dapur yang memuat higienitas, rantai dingin, dan penanganan alergi. Ketiga, benahi sistem audit berbasis risiko: dapur yang pernah mengalami kasus harus melalui audit menyeluruh sebelum beroperasi lagi. Keempat, dorong transparansi digital. Menu, bahan baku, pemasok, hasil uji sampel, hingga komplain publik sebaiknya diunggah rutin agar wali murid tahu apa yang masuk ke piring anak.
Kelima, kurikulum kecil tentang “kenyang yang benar” layak disisipkan di jam belajar. Anak tidak sekadar menerima makanan, mereka belajar mengenali sayur, buah, sumber protein, dan cara makan yang sopan serta higienis. Keenam, pemerintah daerah bisa menerapkan pilot project “100 persen lokal” di beberapa sekolah untuk menguji pola menu musiman; hasilnya menjadi referensi nasional. Rangkaian rekomendasi ini sejalan dengan seruan agar MBG kembali ke tujuan awal: memperbaiki gizi sambil membentuk kebiasaan makan yang sehat. Di forum parlemen, bahkan muncul dorongan agar titik bermasalah dihentikan sementara untuk perbaikan.
Pada akhirnya, kritik Tan Shot Yen tidak dimaksudkan untuk mematikan MBG, melainkan mengembalikan orientasinya ke mutu gizi dan keamanan. Program berskala nasional tidak boleh menjadikan anak sebagai “eksperimen rasa cepat saji”. Piring anak Indonesia harus merefleksikan kekayaan pangan lokal sekaligus standar kebersihan yang ketat. Dengan begitu, uang besar yang digelontorkan tidak lenyap di tengah jalan, dan generasi mendatang mewarisi kebiasaan makan yang benar, bukan sekadar tren yang sesaat.
Sumber: CNN Indonesia