Lintas Fokus – Mari kita telisik dengan kening berkerut dan senyum miring. Tim Reformasi Polri dibentuk oleh Polri sendiri melalui Surat Perintah Kapolri Nomor Sprin/2749/IX/2025 tertanggal 17 September 2025. Total 52 perwira tinggi dan menengah masuk dalam struktur, dengan Kalemdiklat Polri Komjen Chryshnanda Dwilaksana ditunjuk sebagai ketua. Dalam pengumuman resmi, ini disebut sebagai langkah akuntabilitas dan transformasi internal. Kedengarannya rapi, nyaris sempurna, seperti menilai tugas kelompok sendiri lalu membubuhkan nilai A plus.
Sehari, dua hari, headline berderet. Laman-laman arus utama merilis daftar anggota hingga detail jabatan. Ada yang menyebut 47 di antaranya bergolongan jenderal. Angka itu terdengar meyakinkan, seperti rapat akbar reformasi yang tidak kekurangan bintang. Namun pertanyaan publik tetap sederhana: bila Tim Reformasi Polri lahir dari rahim institusi yang hendak direformasi, siapa sebenarnya objek dan subjek perubahan itu. Publik membaca, mengangguk, lalu bergumam pelan.
Di lain sisi, Presiden Prabowo sedang menyiapkan tim level istana untuk reformasi kepolisian. Nama Mahfud MD muncul ke permukaan. Ia menyatakan siap membantu dalam struktur yang dibentuk presiden, bukan sekadar menyimak dari jauh. Kita mencatat ini penting untuk keseimbangan, karena ada kanal eksternal yang minimal berada di luar garis komando Polri. Tapi tumpang tindih istilah dan kewenangan mudah membuat publik bingung: ada Tim Reformasi Polri yang lahir dari internal, ada pula komite reformasi kepolisian versi presiden. Dua rel berjalan berdampingan, tujuannya sama, tapi masinisnya berbeda.
Teka Teki Transparansi: Mandat, Ukuran, Tenggat
Mandat Tim Reformasi Polri disebut untuk memastikan akuntabilitas dan perbaikan menyeluruh. Tetapi publik butuh rincian teknis yang operasional, bukan slogan. Apa indikator keberhasilan per kuartal. Bagaimana mekanisme audit independen yang memeriksa rekomendasi tim. Siapa yang berhak mengetuk palu bila rekomendasi itu bersinggungan dengan kepentingan internal. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak sekadar iseng, melainkan standar sebuah reformasi yang ingin dipercaya.
Menurut pemberitaan, pembentukan tim diinternalisasi melalui Sprin Kapolri, dengan struktur formal dan ketua yang jelas. Ada pula pernyataan pimpinan tim tentang agenda transformasi menyeluruh. Baik. Namun reformasi bukan poster. Ia memerlukan tolok ukur yang bisa diuji dan tanggal jatuh tempo yang tidak mengawang. Sebab, tanpa tenggat, Tim Reformasi Polri akan terdengar seperti rapat panitia yang rajin membuat notulen tetapi jarang membongkar fondasi.
Publik juga layak tahu tata kelola konflik kepentingan. Ketika rekomendasi menyentuh wilayah sensitif seperti penanganan pelanggaran etik, akses data penyidikan, atau pola mutasi jabatan, siapa pengawas dari luar. Apakah Ombudsman, Komnas HAM, atau lembaga independen diberi ruang kursi pengamat dan hak akses dokumen. Tanpa itu, reformasi hanya berganti nama menjadi rotasi, sementara kebiasaan lama tetap bertahan di balik tirai.
Ketika Reformasi Menjadi Cermin Satu Arah
Ada alasan mengapa banyak negara menyerahkan desain reformasi lembaga penegak hukum kepada komisi eksternal atau hibrida. Cermin eksternal memantulkan noda yang sering tak terlihat oleh mata sendiri. Tim Reformasi Polri versi internal sah secara organisasi, tetapi keabsahan sosialnya lahir dari sejauh mana ia menanggung kritik dan audit luar. Kita tidak meragukan niat baik, kita menagih arsitektur yang tahan uji.
Di saat bersamaan, jalur istana yang menggandeng tokoh sipil seperti Mahfud MD memberi peluang check and balance. Namun peluang bukan kepastian. Perlu garis koneksi yang jelas antara temuan komite presiden dengan program internal Polri. Tanpa jembatan itu, publik hanya mendapat dua siaran pers yang berjalan paralel. Yang satu berbicara tentang transformasi internal, yang lain mengusung reformasi struktural. Keduanya berlari, tetapi tidak saling berpapasan di simpang kebijakan.
Dari kacamata satir, kita bisa menyebut Tim Reformasi Polri sebagai juri, panitia, sekaligus peserta lomba. Tentu saja ini karikatur, namun karikatur lahir dari proporsi yang memang terlihat timpang. Jika panitia lomba memastikan pemenangnya adalah lomba itu sendiri, ya semua berakhir dengan tepuk tangan meriah. Reformasi yang kita butuhkan lebih dari itu. Ia harus berani menghadirkan skor yang bisa diverifikasi publik, bukan sekadar kata kunci yang trending sesaat.
Wajib Tahu:
Tim Reformasi Polri terbentuk melalui Sprin Kapolri Nomor Sprin/2749/IX/2025, beranggotakan 52 perwira. Ketua tim adalah Komjen Chryshnanda Dwilaksana, Kalemdiklat Polri.
Di level istana, Presiden menyiapkan komite reformasi kepolisian dan Mahfud MD menyatakan siap bergabung.
Media arus utama merilis daftar anggota, menonjolkan dominasi perwira jenderal di struktur.
Peta Jalan Yang Layak Ditagih Publik
Reformasi yang kredibel butuh tiga pilar. Pertama, mandat spesifik dan terukur. Misalnya target pemangkasan wewenang yang berpotensi tumpang tindih, digitalisasi proses penanganan laporan, dan akuntabilitas penegakan etik yang bisa dipantau publik. Kedua, partisipasi eksternal yang nyata. Kursi pengawas dari lembaga independen harus lebih dari sekadar undangan rapat. Mereka perlu akses data, hak koreksi, dan kewenangan memberi catatan yang wajib ditindaklanjuti. Ketiga, transparansi progres. Setiap 90 hari, Tim Reformasi Polri wajib merilis kemajuan, hambatan, serta rencana korektif. Tanpa itu, reformasi hanya menjadi kata benda yang cantik, bukan kerja kata kerja.
Kabar baiknya, pintu koordinasi terbuka. Ada rencana komite di tingkat presiden yang bisa memegang peran jembatan. Kabar menantangnya, jalan konkret masih harus ditulis. Publik tidak menuntut keajaiban, hanya kejujuran prosedural dan keberanian politik untuk menanggung konsekuensi. Pada akhirnya, Tim Reformasi Polri baru akan dipercaya bila sanggup memutus kebiasaan menilai diri sendiri tanpa sanksi dari luar.
Kesimpulan
Satir bukan untuk mengejek, melainkan mengasah logika. Tim Reformasi Polri sudah berdiri, daftar nama sudah diumumkan, mandat sudah diklaim. Kini saatnya menghadirkan desain yang terukur, pengawasan independen yang tak bisa dipilih sesuka hati, dan tenggat yang tidak luwes. Di luar pagar, komite presiden dengan figur seperti Mahfud MD bisa menjadi jangkar agar reformasi tidak berubah menjadi seremoni. Kalau semua ini disatukan dalam satu peta jalan, publik akan percaya. Jika tidak, kita hanya menambah koleksi akronim, sementara kata reformasi kembali terlipat di laci rapat.
Sumber: Tirto