30.2 C
Jakarta
Thursday, October 2, 2025
HomeBeritaLangkah Berani atau Taruhan Berisiko? Tony Blair Diproyeksikan Pimpin Pemerintahan Sementara Gaza

Langkah Berani atau Taruhan Berisiko? Tony Blair Diproyeksikan Pimpin Pemerintahan Sementara Gaza

Date:

Related stories

Shutdown AS 2025: Layanan Terganggu, Siapa Salah dan Apa Artinya?

Lintas Fokus - Pemerintah Amerika Serikat resmi memasuki Shutdown...

Ahok dan Skandal LNG: Sinyal Besar, Fakta Keras, dan Arah Kasus

Lintas Fokus - Nama Ahok kembali mengemuka di ruang...

Munas PKS: Pidato Prabowo yang Mengguncang Ruang Rapat dan Kalkulasi Politik Nasional

Lintas Fokus - Pidato Presiden Prabowo Subianto di penutupan...

West Ham vs Everton: Prediksi Paling Masuk Akal atau Kejutan Pahit?

Lintas Fokus - Liga Inggris kembali menghadirkan duel beraroma...
spot_imgspot_img

Lintas Fokus Ketegangan geopolitik Timur Tengah memasuki babak baru. Berbagai laporan kredibel menyebut Tony Blair diproyeksikan memimpin rancangan pemerintahan sementara di Gaza melalui sebuah badan transisi bernama Gaza International Transitional Authority atau GITA. Rencana yang disebut mendapat dukungan kuat dari Washington dan dibahas bersama mitra regional ini menempatkan mantan Perdana Menteri Inggris itu sebagai ketua dewan pengawas yang mengarahkan eksekutif teknokrat nonpartisan untuk menata layanan publik, keamanan sipil, dan fondasi rekonstruksi pascaperang.

Menurut sejumlah media internasional, skema GITA dirancang sebagai jalan tengah menuju unifikasi pemerintahan Palestina di masa berikutnya, dengan target awal beroperasi dari Mesir sebelum masuk ke Gaza bersama kehadiran multinasionaI yang berpayung mandat PBB. Durasi masa transisi yang dibahas berkisar sampai beberapa tahun, dengan tujuan akhir menyerahkan kendali ke otoritas Palestina yang direformasi. Namun, sensitivitas politik kawasan serta rekam jejak Tony Blair pada perang Irak membuat sebagian pihak Arab dan kelompok masyarakat sipil menilai rencana ini berisiko tinggi jika tidak diikat peta jalan yang jelas menuju negara Palestina.

Di Washington, usulan ini dikabarkan terhubung dengan agenda “day after” yang didorong Gedung Putih. Beberapa laporan menyebut dukungan dari lingkaran kebijakan AS dan adanya konsultasi intensif dengan para pemangku kepentingan, dari negara-negara Teluk hingga para pejabat Eropa. Walau detail akhir masih dibahas, kerangka kerja yang menempatkan Tony Blair di posisi sentral disebut masuk radar pembuat kebijakan sebagai opsi paling realistis untuk memindahkan Gaza dari fase darurat menuju tata kelola sipil yang kredibel.

Peta Kebijakan: Mandat, Struktur, dan Target

Pokok gagasan GITA memuat dewan pengawas yang diketuai Tony Blair, dengan kabinet teknokrat, polisi sipil, serta unit perlindungan hak kepemilikan properti untuk menjaga klaim warga atas tanah dan aset selama masa transisi. Modelnya mencontoh administrasi transisi di Kosovo dan Timor-Leste yang pernah menggunakan mandat internasional untuk mengisi kekosongan kelembagaan, sambil meminimalkan intervensi politik harian. Mekanisme ini diharapkan memberi ruang aman bagi rekonstruksi infrastruktur dasar, normalisasi layanan, dan konsolidasi lembaga peradilan lokal sebelum transisi kekuasaan ke otoritas Palestina.

Rencana ini juga menekankan pemisahan fungsi militer dari sipil. Pasukan multinasional yang disetujui PBB diproyeksikan menyediakan payung keamanan, sementara GITA mengurus penyediaan layanan—air, listrik, kesehatan, pendidikan—serta reformasi administratif agar birokrasi lokal dapat beroperasi tanpa tekanan kelompok bersenjata. Desain tersebut dirancang agar pendanaan internasional, terutama dari mitra Teluk, bisa mengalir dengan pengawasan akuntabel dan bebas konflik kepentingan.

Tony Blair di Persimpangan: Kredibilitas dan Kontroversi

Penunjukan Tony Blair memantik dua narasi berlawanan. Di satu sisi, jejaring diplomatiknya luas dan pengalaman sebagai Utusan Kuartet untuk Timur Tengah memberi modal negosiasi yang tidak dimiliki banyak figur lain. Di sisi lain, rekam jejak dukungan terhadap invasi Irak 2003 menimbulkan resistensi moral dan politik, terutama dari komunitas Arab dan aktivis HAM yang meragukan penerimaan publik terhadap kepemimpinannya. Sejumlah tokoh Israel bahkan menyatakan siap bekerja sama pada tahap teknis, meski menolak peta jalan yang eksplisit menuju negara Palestina, memperlihatkan betapa tajamnya garis tarik-menarik di belakang meja.

Di tingkat regional, partisipasi negara Arab disebut bersyarat pada kejelasan jalan menuju solusi dua negara. Tanpa itu, dukungan finansial dan logistik bisa melemah, sementara legitimasi GITA akan mudah digugat. Karena itu, jika Tony Blair menerima mandat ini, kredibilitasnya akan sangat ditentukan oleh kemampuannya menautkan rekonstruksi dengan horizon politik yang nyata, bukan sekadar stabilisasi teknokratik.

Dampak Strategis: Ekonomi Bantuan, Keamanan, dan Jalur Politik

Secara ekonomi, skema transisi membuka kran bantuan dengan standar akuntabilitas ketat. Komitmen donor dari Eropa dan Teluk bisa diprioritaskan untuk sektor vital—air bersih, sanitasi, perumahan darurat, layanan kesehatan primer, dan sekolah—dengan pengadaan transparan agar menghindari kebocoran. Tony Blair dan timnya perlu menetapkan tolok ukur 100 hari: pemulihan listrik inti, akses air minimal, klinik fungsional, serta sistem pembayaran gaji pegawai layanan publik. Tolok ukur ini menjadi indikator dini apakah GITA efektif atau tidak. Laporan-laporan kebijakan yang dibocorkan ke media juga menyoroti kebutuhan unit khusus menjaga hak kepemilikan warga, agar rekonstruksi tidak melucuti klaim tanah dan aset.

Di aspek keamanan, rancangan ini meminta dukungan pasukan multinasional Arab yang mendapat endosemen PBB untuk menyekat ruang manuver kelompok bersenjata dan melindungi fasilitas publik. Mandat tersebut sensitif secara politik, namun dianggap perlu agar aparat sipil bisa bekerja tanpa intimidasi. Pada saat yang sama, jalur politik menuju penyatuan Gaza dan Tepi Barat di bawah otoritas Palestina yang direformasi mesti dipetakan melalui tonggak kebijakan: reformasi administrasi, pajak, dan sektor keamanan sipil. Tanpa roadmap yang konkret, legitimasi GITA akan retak sejak awal.

Wajib Tahu:

Beberapa draf kebijakan menyertakan pembentukan Property Rights Preservation Unit untuk melindungi klaim tanah warga Gaza selama masa transisi, sebuah klausul yang jarang dibahas tetapi krusial bagi keadilan rekonstruksi

Tantangan Implementasi: Legitimasi, Koordinasi, dan Exit Strategy

Tantangan pertama adalah legitimasi sosial. Warga Gaza membutuhkan sinyal bahwa GITA bukan “penjajahan baru”, melainkan mekanisme jembatan menuju pemerintahan yang dipilih rakyat. Konsultasi publik, partisipasi profesional lokal, serta transparansi anggaran harus menjadi pola, bukan janji. Kedua, koordinasi lintas-lembaga. <i>Cluster</i> bantuan kemanusiaan PBB, LSM internasional, dan lembaga donor perlu satu dasbor data dan <i>single procurement rule</i> agar tidak terjadi tumpang tindih proyek. Ketiga, exit strategy. Tanpa tenggat dan indikator keberhasilan yang terukur, masa transisi bisa memanjang dan memicu sinisme publik. Di sinilah figur Tony Blair diuji: apakah ia mampu menjahit kepentingan yang berseberangan sambil mengantarkan Gaza pada institusi yang legitimate.

Pada level geopolitik, sinyal dari Tel Aviv dan Ramallah tetap menentukan. Pemerintah Israel menunjukkan sikap keras terhadap pengakuan negara Palestina, sementara Otoritas Palestina menegaskan kesiapan mengambil alih Gaza setelah reformasi. Mengelola dua posisi yang saling bertolak belakang sembari menjaga dukungan donor akan menjadi ujian terberat tim transisi. Sejumlah laporan juga menulis bahwa diskusi tingkat tinggi dengan pemimpin AS telah berlangsung untuk mengamankan dukungan politik dan pendanaan.

Sumber: The Guardian

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img