Lintas Fokus – Sejak Oktober 2023, kata “blokade” mengalami transfigurasi makna di Jalur Gaza. Ia bukan lagi sekadar pembatasan logistik, melainkan alat penghancur perlahan yang kini diperdebatkan sebagai wujud genosida Gaza. Beberapa hari lalu, perdebatan itu memasuki babak baru ketika Donald Trump—politikus yang selama ini dikenal pro‑Israel—berucap lantang di Turnberry: “Kita sedang menyaksikan kelaparan nyata di Gaza.” Pernyataan tersebut memicu gelombang diplomasi, membongkar data kelam, dan menampar keras klaim Tel Aviv bahwa “tak ada krisis pangan signifikan.” Artikel berikut mengupas tuntas metode, kronologi, serta dampak pengakuan Trump bagi upaya memutus rantai penderitaan dua juta warga Gaza.
Jejak Tragis Genosida Gaza dalam Statistik Terbaru
Sejumlah lembaga hak asasi—mulai dari B’Tselem hingga Physicians for Human Rights‑Israel—menyusun empat pola yang menegaskan dugaan genosida Gaza. Pertama, intensitas serangan udara rata‑rata 1.200 ledakan per kilometer persegi—empat kali Fallujah 2004. Kedua, penghentian total pasokan bahan bakar sehingga rumah sakit lumpuh. Ketiga, pengurangan 85% izin truk pangan, padahal Gaza bergantung 70% pada impor. Terakhir, penembak jitu ditempatkan di koridor evakuasi, memaksa warga bertahan di zona maut.
Data Kementerian Kesehatan Gaza per 30 Juli 2025 mencatat 59.800 kematian, 38% di antaranya anak‑anak. Lebih mencekam lagi, Unit Analisis Gizi PBB mengklasifikasi 470.000 penduduk pada Integrated Food Security Phase 5—definisi klinis kelaparan. Angka‑angka ini memperlebar jurang antara narasi “operasi kontra‑teror” versi Israel dan tudingan “pemusnahan kelompok” versi pengamat internasional. Tanpa suplai gizi, UNICEF menghitung risiko stunting permanen generasi baru Gaza mencapai 68%. Jika bukan pemusnahan, apa nama yang tepat?
Dinamika Diplomasi tentang Genosida Gaza dan Kelaparan
Pidato Trump di Skotlandia mengubah nada percakapan meja perundingan. Ia menyatakan, “Pemandangan perut kembung anak‑anak itu tidak bisa disangkal.” Ia juga menekan Netanyahu agar membuka gerbang bantuan “sekarang juga, bukan besok.” Inilah kali pertama mantan Presiden AS—ikon bagi kubu kanan Israel—secara terbuka menyebut “starvation” dan menuntut aksi.
Efek domino langsung terasa. Inggris di bawah PM Keir Starmer bergabung menyerukan ceasefire humaniter; Prancis, Brasil, dan Indonesia menandatangani surat bersama ke Dewan Keamanan. Uni Eropa mengundang Mesir serta Qatar memfasilitasi jalur darat alternatif, sekaligus mengancam embargo amunisi bila Israel mengabaikan permintaan. Kantor PM Israel merespons dengan janji “jeda dua jam harian” dan buka lintasan Kerem Shalom, namun pelaksanaannya kacau—truk bantuan kerap tertahan hingga 36 jam di titik pemeriksaan.
Di Washington, kubu Republik terbelah. Senator Lindsay Graham menyebut kelaparan “konsekuensi tak terhindarkan dari membasmi Hamas.” Sebaliknya, Mitt Romney menyatakan, “Kelaparan sebagai senjata adalah genosida, titik.” Rancangan Undang‑Undang “Gaza Relief Act” senilai US$1 miliar dilontarkan Demokrat, namun sayap kanan Partai Republik menolak. Ironisnya, Trump—yang belum jelas apakah akan mendukung RUU—tetap mengusulkan pendirian “pusat distribusi pangan tanpa pagar kawat” bersama Uni Eropa.
Pengakuan Trump soal Genosida Gaza Memicu Reaksi Dunia
Pernyataan Trump tidak berdiri di ruang hampa. BBC merilis rekaman drone yang memperlihatkan warga Khan Younis berburu dedaunan untuk direbus. Al Jazeera mencatat ibu‑ibu menggiling pakan hewan demi menanak roti darurat. Setiap tayangan itu menegaskan “senjata kelaparan” yang dilaporkan dua LSM Israel sejak awal 2025.
Mahkamah Kriminal Internasional menanggapi dengan permintaan dokumentasi tambahan. Pakar hukum Richard Falk menilai pengakuan Trump dapat menjadi unsur mens rea genosida: membuktikan bahwa aktor internasional menyadari konsekuensi fatal kebijakan Israel. Jika ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan, konsekuensi hukumnya bukan main—aset pejabat Israel bisa dibekukan, dan Uni Eropa wajib menghentikan ekspor komponen senjata.
Sementara itu, Bursa Tel Aviv merosot 4,6% sehari pasca‑pidato. Investor khawatir sanksi multilateral bakal menghantam industri teknologi Israel. Department of State Amerika Serikat mengeluarkan imbauan perjalanan kategori tertinggi ke Israel dan wilayah pendudukan, mempertegas krisis reputasi.
Jalan Keluar Krisis Genosida Gaza Menurut Pakar Hukum
Professor Christine Schulz, peneliti genosida Universitas Hamburg, menekankan tiga prasyarat menghentikan spiral krisis: pertama, akses penuh organisasi kemanusiaan—bukan jeda dua jam. Kedua, mekanisme verifikasi independen di perlintasan; artinya, pihak ketiga seperti Turki atau Norwegia memantau truk, memastikan bantuan tidak dialihkan Hamas. Ketiga, road map politik yang mengaitkan pencabutan blokade dengan jadwal pemilu Palestina di bawah pengawasan PBB.
Schulz menyebut kelaparan “elemen paling kuat untuk membuktikan genosida Gaza, karena niat menghancurkan dapat diukur melalui kebijakan pangan.” Ia menilai, jika Israel berubah haluan seiring tekanan Trump dan Eropa, masih ada ruang mencegah prahara kemanusiaan total. Tetapi bila blokade terus diketatkan, kemungkinan hukuman internasional sekadar soal waktu.
Wajib Tahu:
Korban tewas per 30 Juli 2025: 59.800 jiwa; 38% anak‑anak.
470.000 warga digolongkan pada Famine Phase 5.
Pidato Trump di Turnberry (28 Juli) menyebut “starvation is real in Gaza.”
Israel mengumumkan jeda harian dua jam, kritik menyebut “gimmick.”
Uni Eropa mempertimbangkan embargo amunisi jika akses bantuan tak diperluas.
Genosida bukan istilah enteng; ia menuntut bukti niat dan aksi terencana menghancurkan suatu kelompok. Namun ketika foto anak Gaza berwajah pucat memeluk boneka di sela puing masjid viral di linimasa, perdebatan semantik berubah menjadi jeritan moral. Pengakuan Trump soal kelaparan parah membuka celah tekanan global yang kian besar. Dunia kini bertanya: akankah Israel melunakkan blokade demi menyelamatkan generasi Gaza, atau justru menggandakan operasi militer? Jawabannya akan menandai reputasi kemanusiaan abad ke‑21—apakah kita belajar apa‑apa setelah Rwanda dan Srebrenica, atau kembali membiarkan catatan sejarah bernoda darah dan lapar.
Sumber: The Guardian