Lintas Fokus – Tidak banyak serial yang berani membuka pintu kembali ke Derry, kota karatan yang membesarkan legenda Pennywise. Welcome to Derry melakukannya dengan kepala tegak, memilih latar 1962 dan merangkai kisah keluarga Hanlon sebagai sumbu utama, sekaligus menghubungkan benang merah ke dua film laris IT garapan Andy Muschietti. Serial ini tayang di HBO dan bisa di-streaming di Max mulai 26 Oktober 2025, delapan episode, rilis mingguan hingga 14 Desember. Fakta-fakta itu penting untuk membingkai ekspektasi, karena ritmenya jelas bukan maraton sehari selesai, melainkan terror yang dipotong mingguan agar tensi sosial dan horor mengendap sempurna.
Di level “siapa di balik layar”, Welcome to Derry aman: dikembangkan oleh Andy dan Barbara Muschietti bersama Jason Fuchs, dengan Fuchs dan Brad Caleb Kane sebagai showrunner, dan Muschietti menyutradarai pilot. Kembalinya Bill Skarsgård sebagai Pennywise memastikan wajah teror tetap konsisten, sementara Benjamin Wallfisch kembali menggarap musik yang menusuk syaraf. Ini bukan sekadar nostalgia; ini kontinuitas kreatif yang jarang mulus ketika IP melebar ke layar kecil.
Di layar, trio pemeran utama memikul beban dunia: Jovan Adepo sebagai Leroy Hanlon, Taylour Paige sebagai Charlotte Hanlon, dan Blake Cameron James sebagai Will Hanlon. Keluarga ini baru pindah ke Derry ketika seorang bocah hilang, lalu satu per satu ketakutan lama bangun dari tidur panjang. Ada juga Chris Chalk yang memainkan Dick Hallorann, tokoh silang dari semesta Stephen King yang memberi aroma kosmik pada lorong-lorong Derry.
Welcome to Derry dan Fondasi Cerita: 1962 yang Terasa Nyata
Kekuatan terbesar Welcome to Derry bukan hanya jumpscare, melainkan cara serial ini memadatkan konteks 1960-an ke dalam konflik keluarga Hanlon. Entertainment Weekly menyorot bagaimana seri ini memusat pada Leroy dan Charlotte, menempatkan isu ras, militer, dan ketegangan sipil sebagai bahan bakar, termasuk referensi tragedi Black Spot yang diangkat dari interlude novel. Pendekatan ini memberi kedalaman yang jarang dimiliki prekuel, karena teror Pennywise terasa seperti penyakit yang memperparah luka sosial, bukan sekadar badut jahat yang muncul dari selokan.
Keputusan kreatif memindahkan titik fokus dari Will ke Leroy agar sinkron dengan timeline film terasa efektif. Alih-alih semata mengulang pola Losers’ Club, Welcome to Derry menempatkan orang dewasa sebagai penggerak drama, dan itu berpengaruh ke nada visual: kamera kerap meringkus ruang kerja militer, rapat warga, dan ritual komunitas yang menyimpan diam-diam. Ketika Pennywise muncul, bukan hanya korban yang menjerit, melainkan moral kota yang runtuh sedikit demi sedikit.
Aroma 1960-an, Komentar Sosial, dan Ketegangan yang Dibangun Pelan
Secara teknis, episode pembuka memamerkan produksi yang mapan. Lokasi syuting di Ontario yang kembali menyulap Port Hope menjadi Derry membuat dunia terasa berkelanjutan dengan film layar lebar. Warna kusam, papan iklan tua, dan kostum era Kennedy tidak hanya mempercantik gambar, melainkan memperdalam rasa tertindih waktu. Musik Wallfisch sekali lagi menjadi selimut dingin yang membuat adegan ruang makan atau pabrik kosong terasa seperti kuburan terbuka.
Namun “pelan itu pasti” juga bisa jadi pedang bermata dua. Metacritic mengindikasikan penerimaan campuran dengan skor 58 dari 23 ulasan, yang mengkritik kecenderungan serial ini menjejalkan terlalu banyak detail latar sebelum payoff besar benar-benar menghantam. Di sisi lain, Rotten Tomatoes menempatkannya di zona positif 77 persen per hari ini, dan skor audiens 83 persen mengisyaratkan bahwa penonton yang masuk dengan ekspektasi “lore + horor” cenderung puas. Perlu dicatat, ini masih musim pertama awal, sehingga volatilitas penilaian wajar terjadi seiring episode berjalan.
Wajib Tahu:
Rilis 26 Oktober 2025 di HBO dan Max, total 8 episode tayang mingguan sampai 14 Desember. Skor sementara 77 persen di Rotten Tomatoes dan 58 di Metacritic. Bill Skarsgård resmi kembali sebagai Pennywise.
Kekuatan dan Titik Lemah Produksi
Kekuatan pertama Welcome to Derry adalah keberanian menaruh drama di pundak orang dewasa. Adepo membawa wibawa yang rapuh, sementara Paige memerankan Charlotte sebagai jangkar emosi yang perlahan retak. Keduanya bukan sekadar saksi teror, melainkan warga yang dipaksa memilih antara bertahan pada idealisme atau tunduk pada sistem yang membusuk. Dalam bingkai yang lebih lebar, ini menggabungkan horor supranatural dengan horor sosial yang tidak kalah menyesakkan.
Kekuatan kedua ada di konsistensi visual dan atmosfer. Muschietti tahu bagaimana mengatur jarak kamera dengan tubuh penonton. Alih-alih terus-menerus melempar jumpscare, ia membiarkan penonton mendengar bunyi pipa, melihat noda karat yang merembes, atau menunggu bayangan yang tidak kunjung melintas. Gaya itu bekerja, apalagi untuk penonton yang menikmati slow-burn. Sedangkan di zona kelemahan, sebagian dialog ekspositori terasa terlalu ingin menuntaskan mitologi. Kritik-kritik awal mencatat bahwa ketika serial mencoba menjawab semua misteri, sebagian rasa takut justru menguap karena penjelasan yang terlalu terang.
Ada juga perdebatan wajar soal porsi Pennywise. Skarsgård tidak selalu hadir di tiap menit, dan itu keputusan kreatif yang disengaja agar bangunan dunia lebih dulu bernafas. Bagi sebagian penonton, ini menciptakan antisipasi. Bagi sebagian lain, ini terasa seperti menahan-nahan menu utama. Pilihan ini pada akhirnya kembali pada preferensi: apakah Anda menonton Welcome to Derry untuk membuka lembar mitologi Derry, atau untuk menunggu badut lapar beraksi tiap lima menit.
Putusan Akhir: Wajib Tonton untuk Pencinta Lore, Menarik untuk Penakut yang Penasaran
Sebagai prekuel, Welcome to Derry sukses memperluas semesta IT tanpa terjebak nostalgia buta. Ia mengaitkan trauma sosial 1960-an dengan legenda makhluk pemangsa yang tampil dalam wujud paling akrab: badut dengan senyum yang tidak pernah sampai ke mata. Penonton yang datang untuk dunia Derry, tokoh Hanlon, dan persinggungan dengan karakter lintas semesta Stephen King seperti Dick Hallorann akan menemukan banyak hal untuk dibongkar. Penonton yang menuntut “ketakutan instan” mungkin butuh sedikit kesabaran, karena serial ini lebih suka merobek pelan-pelan sebelum membiarkan darah metaforik mengalir.
Dengan delapan episode yang tayang tiap pekan, format mingguan justru cocok untuk karya seperti ini. Ada ruang bagi teori, perbincangan, dan pembacaan ulang simbol. Jika tren skor saat ini bertahan, Welcome to Derry berpeluang menjadi rujukan baru horor serial yang menggabungkan mitologi monster dan luka sejarah sebuah kota. Saran kami, tonton di ruangan yang cukup gelap, simpan ponsel, dan biarkan musik Wallfisch menuntun Anda menuruni tangga ke ruang bawah tanah yang seharusnya tidak pernah dibuka.
Sumber: EW.com
