Lintas Fokus – Nama Arsul Sani mendadak menjadi pusat sorotan setelah ia, sebagai Hakim Konstitusi, terseret isu dugaan ijazah doktor palsu. Di tengah kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi yang sudah lama diuji, kemunculan kasus ini terasa sensitif. Bukan hanya karena menyentuh integritas pribadi seorang hakim, tetapi juga karena menyentuh kualitas seleksi hakim MK oleh DPR, kinerja lembaga pengawas etik MK, hingga standar verifikasi akademik di level pejabat tinggi negara.
Isu bermula dari laporan sekelompok warga yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Pemerhati atau Pemantau Konstitusi ke Bareskrim Polri. Mereka menuding ijazah doktor hukum yang digunakan dalam proses seleksi hakim konstitusi tidak sah dan meminta polisi mengusut dugaan pemalsuan dokumen. Sejak saat itu, nama Arsul Sani hampir tidak pernah lepas dari judul berita yang mengaitkannya dengan istilah “ijazah palsu”, meski statusnya masih sebatas dugaan dan sedang dalam proses verifikasi di berbagai lembaga.
Isu Ijazah Palsu yang Menyeret Nama Arsul Sani
Laporan ke Bareskrim Polri menjadi titik awal formal polemik. Koordinator aliansi menyebut bahwa sebagai hakim konstitusi yang diusulkan DPR, Arsul Sani memegang jabatan yang menuntut standar integritas akademik tertinggi. Karena itu, dugaan penggunaan ijazah doktor yang tidak sah dipandang bukan sekadar pelanggaran administrasi, melainkan berpotensi mencederai konstitusi dan wibawa Mahkamah Konstitusi jika terbukti.
Dalam pelaporan tersebut, aliansi menyoroti gelar doktor yang diperoleh dari program kerja sama Universitas Collegium Humanum dengan Warsaw Management University di Polandia. Mereka mempertanyakan pola studi, kecepatan penyelesaian program, dan penggunaan ijazah itu dalam proses uji kelayakan hakim MK tahun 2023. Latar belakang ini yang kemudian memicu label “ijazah palsu” muncul di ruang publik, meskipun sejauh ini istilah itu masih merupakan tudingan pihak pelapor, bukan kesimpulan lembaga resmi.
Profil Arsul Sani sendiri bukan nama baru di panggung nasional. Ia adalah politikus senior yang lama berkarier di Partai Persatuan Pembangunan, pernah menjadi anggota DPR dua periode dan menjabat Wakil Ketua MPR sebelum akhirnya dilantik sebagai Hakim Konstitusi pada Januari 2024. Di dunia hukum, ia juga dikenal sebagai praktisi dan advokat yang menekuni berbagai perkara korporasi dan litigasi komersial. Jejak panjang inilah yang membuat isu ijazah terasa kontras dengan citra dirinya selama ini.
Wajib Tahu:
Kasus dugaan ijazah palsu ini tidak otomatis membuat seseorang bersalah. Proses di Bareskrim, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), dan mekanisme etik di DPR masih berjalan. Sampai ada keputusan hukum atau etik yang final, status Arsul Sani tetap sebagai hakim MK yang sah dan tuduhan tersebut berposisi sebagai dugaan yang sedang diuji.
Laporan ke Bareskrim, MKD, dan Respons MKMK
Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa isu ini tidak berhenti di Kepolisian. Aliansi serupa mendatangi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI dan mengadukan proses seleksi hakim MK dari unsur DPR. Mereka meminta MKD menggali bagaimana Komisi III melakukan verifikasi dokumen pendidikan ketika mengusulkan Arsul Sani sebagai hakim pada 2023.
Di Gedung DPR, Komisi III sempat “disorot balik” oleh publik karena dianggap lalai menguji dokumen saat fit and proper test. Beberapa anggota Komisi III menjelaskan bahwa DPR memang memeriksa dokumen, tetapi tidak memiliki kemampuan forensik untuk memastikan keaslian fisik ijazah. Polemik ini lalu merembet ke rapat uji kelayakan calon anggota Komisi Yudisial, di mana keaslian ijazah para calon kembali ditanyakan dengan menjadikan kasus Arsul Sani sebagai contoh betapa sensitifnya isu ini di mata publik.
Sementara itu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi memilih bersikap hati-hati. Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna menyebut mereka sudah hampir sebulan mendalami laporan terkait dugaan ijazah palsu, namun prosesnya dilakukan tertutup untuk menjaga martabat lembaga dan mencegah hakim “diadili” opini sebelum ada kejelasan. Ia juga mengingatkan bahwa hakim konstitusi dari unsur DPR, seperti Arsul Sani, pada dasarnya telah melalui tahapan seleksi di parlemen sehingga logis jika pelapor terlebih dahulu meminta klarifikasi ke DPR sebelum melapor ke polisi.
Di luar jalur formal, tekanan politik dan opini terus bergulir. Sejumlah kelompok masyarakat bahkan menggelar aksi di depan gedung MK dengan tuntutan agar Arsul Sani mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral sambil menunggu penuntasan kasus. Mereka berargumen bahwa jabatan hakim konstitusi sangat bergantung pada kepercayaan, sehingga sedikit saja keraguan terhadap legalitas gelar akademik dapat menggerus legitimasi putusan pengadilan.
Klarifikasi Terbuka di MK dan Jejak Pendidikan
Di tengah tekanan publik yang meningkat, Arsul Sani akhirnya memilih tampil langsung di hadapan media. Dalam konferensi pers di gedung MK pada Senin, 17 November 2025, ia memaparkan kronologi panjang pendidikan doktornya. Ia menegaskan bahwa tuduhan penggunaan ijazah palsu tidak benar dan menyebut tidak pernah sedikit pun berniat memalsukan dokumen akademik untuk mengejar jabatan.
Ia menjelaskan, perjalanan studinya dimulai ketika mengambil program doktor di Glasgow Caledonian University, Skotlandia, sekitar 2011. Karena kesibukan sebagai anggota DPR, penelitian disertasi sempat tersendat dan akhirnya ia mencari skema yang memungkinkan transfer atau pengakuan sebagian proses akademik ke universitas lain. Pilihan jatuh pada program doktor di Collegium Humanum yang bekerja sama dengan Warsaw Management University di Polandia, di mana ia menyelesaikan disertasi dan diwisuda pada 2023.
Dalam jumpa pers, Arsul Sani membawa sejumlah dokumen yang diklaim sebagai bukti keabsahan gelar. Ia memperlihatkan ijazah asli, salinan legalisasi yang dibubuhi stempel KBRI di Warsawa, serta disertasi dalam bentuk hardcopy. Ia juga memamerkan foto prosesi wisuda di Polandia yang menurutnya dihadiri Duta Besar Indonesia untuk Polandia saat itu, Anita Lidya Luhulima. Semua ini, kata Arsul Sani, sengaja ditunjukkan agar publik melihat bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak berdasar.
Mahkamah Konstitusi sendiri menyatakan bahwa pada saat proses pencalonan, DPR sudah menyampaikan berkas dan MK melakukan verifikasi administratif sebagaimana prosedur. MK menegaskan bahwa dokumen pendidikan yang diajukan telah dinyatakan sah pada saat itu sehingga Arsul Sani dapat diambil sumpahnya sebagai hakim MK pada Januari 2024. Meski begitu, MK menghormati proses yang sedang berjalan di Bareskrim maupun MKMK dan menyebut siap bekerja sama jika dibutuhkan.
Dalam kesempatan terpisah, ia juga menegaskan tidak akan melaporkan balik pelapor dengan tuduhan pencemaran nama baik. Sebagai hakim, menurutnya, tidak elok jika ia membawa perdebatan ini ke ranah pidana melawan warga negara yang mempersoalkan rekam jejaknya. Ia memilih menyerahkan proses sepenuhnya kepada aparat penegak hukum, MKMK, dan mekanisme etik yang berlaku bagi hakim MK.
Taruhan Integritas MK dan Pelajaran untuk Publik
Terlepas dari bagaimana kelak hasil penyelidikan, kasus Arsul Sani sudah telanjur menjadi cermin persoalan yang lebih luas. Pertama, soal kualitas verifikasi dokumen dalam seleksi pejabat tinggi negara. DPR mengakui mereka tidak memiliki kemampuan forensik untuk menilai keaslian fisik ijazah, namun di sisi lain publik berharap proses fit and proper test tidak sekadar memeriksa fotokopi atau legalisasi di atas kertas. Ke depan, tuntutan agar lembaga-lembaga negara menggandeng instansi berkompeten, baik dalam maupun luar negeri, untuk memeriksa keaslian ijazah tampaknya akan menguat.
Kedua, kasus ini menegaskan betapa rapuhnya kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi. Setelah sejumlah kontroversi besar di MK dalam beberapa tahun terakhir, munculnya isu dugaan ijazah palsu yang menimpa seorang hakim menambah daftar kekhawatiran publik. Di titik ini, proses yang sedang dijalankan MKMK dan Bareskrim akan menjadi ujian apakah lembaga-lembaga penegak hukum sanggup bekerja transparan dan cepat tanpa tekanan politik.
Ketiga, pengalaman Arsul Sani memperlihatkan bahwa pejabat publik kini hidup dalam era keterbukaan ekstrem. Semua jejak pendidikan, perjalanan karier, hingga foto wisuda bisa ditelusuri dan dipertanyakan secara terbuka. Di satu sisi, ini baik untuk akuntabilitas. Di sisi lain, tuduhan yang belum tentu benar dapat dengan cepat menjadi opini massal jika tidak diimbangi klarifikasi yang jelas dan data yang mudah diakses. Dalam konteks ini, konferensi pers dan pembukaan dokumen yang ia lakukan merupakan langkah penting, walau belum tentu memuaskan semua pihak.
Bagi publik, pelajaran terbesarnya adalah pentingnya menunggu proses resmi sembari tetap kritis. Dukungan maupun penolakan terhadap figur seperti Arsul Sani idealnya didasarkan pada putusan lembaga berwenang dan data yang terverifikasi, bukan sekadar potongan video atau narasi sepotong di media sosial. Bagaimanapun, kepercayaan terhadap MK sangat menentukan kualitas demokrasi. Jika kasus ini berakhir dengan penjelasan yang meyakinkan dan langkah pembenahan sistem verifikasi ijazah, polemik yang panas hari ini bisa berubah menjadi momentum perbaikan sistemik yang menguntungkan publik di masa depan.
Sumber: CNN Indonesia




