27.3 C
Jakarta
Wednesday, November 19, 2025
HomeEkonomi BisnisBI Rate 4,75% Tahan, Siapa Yang Untung Siapa Yang Rugi?

BI Rate 4,75% Tahan, Siapa Yang Untung Siapa Yang Rugi?

Date:

Related stories

Low Tuck Kwong Gaet Terminal, Prospek BYAN Melonjak

Lintas Fokus - Ketika sebagian pemain batu bara sibuk menahan...

ADRO 2026: Dividen Menggoda, ITMG & PTBA Dibandingkan

Lintas Fokus - Seiring gema transisi energi menghantam pasar...

Gema Misteri Nama Besar Satoshi Nakamoto di HBO

Lintas Fokus - Saat whitepaper Bitcoin beredar 31 Oktober...

IPO CDIA Pecahkan Rekor, Kekayaan Prajogo Pangestu Melesat

Lintas Fokus - (Prajogo Pangestu) Pada 9 Juli 2025...
spot_imgspot_img

Lintas Fokus Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 18–19 November 2025 kembali memutuskan untuk menahan BI Rate di level 4,75%. Suku bunga Deposit Facility tetap 3,75% dan Lending Facility 5,50%. Ini adalah bulan kedua berturut-turut suku bunga acuan dipertahankan setelah serangkaian penurunan sejak 2024, dengan total pemangkasan sekitar 150 basis poin.

Bagi sebagian pelaku pasar, langkah ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Jauh sebelum hasil rapat diumumkan, survei sejumlah ekonom yang dikutip berbagai media internasional memperkirakan BI akan menahan suku bunga, meski peluang pemangkasan tambahan masih terbuka di bulan berikutnya. Di sisi lain, banyak pelaku usaha dan rumah tangga yang berharap BI Rate kembali turun agar cicilan kredit dan biaya dana bisa semakin ringan.

Bank Indonesia secara terbuka menjelaskan bahwa fokus jangka pendek masih pada stabilisasi rupiah dan upaya menarik arus modal asing di tengah ketidakpastian global yang belum mereda. Tekanan dari kebijakan suku bunga Amerika Serikat, pelemahan ekonomi di Eropa dan Jepang, hingga perlambatan Tiongkok membuat pasar keuangan dunia bergejolak. BI memilih menahan peluru, menjaga daya tarik imbal hasil rupiah sambil memastikan transmisi pelonggaran moneter yang sudah dilakukan benar-benar terasa di sektor riil.

Secara fundamental, ruang untuk mempertahankan BI Rate di 4,75% cukup kuat. Inflasi Indeks Harga Konsumen per Oktober 2025 tercatat sekitar 2,86% secara tahunan, masih nyaman di dalam target 2,5% plus minus 1%. Pertumbuhan ekonomi kuartal III 2025 juga berada di kisaran 5,04% year on year, menandakan aktivitas domestik tetap bergerak meski angin ekonomi global sedang tidak bersahabat. Dengan kombinasi inflasi rendah dan pertumbuhan yang masih moderat, BI bisa mengambil posisi menunggu sambil mengatur ritme penurunan suku bunga ke depan.


Dampak ke Bunga Kredit, Tabungan, dan Daya Beli Rumah Tangga

Bagi masyarakat, keputusan mempertahankan BI Rate di 4,75% punya arti yang sangat praktis. Suku bunga acuan yang tidak berubah biasanya membuat bank lebih hati-hati menurunkan bunga kredit maupun deposito. Sejumlah analis mencatat, meski BI sudah memangkas suku bunga enam kali sejak September 2024, penurunan bunga kredit perbankan jauh lebih lambat dibanding pemangkasan suku bunga kebijakan.

Untuk pemilik KPR dan kredit konsumsi dengan bunga mengambang, ruang penurunan cicilan masih ada, tetapi tidak akan secepat ekspektasi banyak orang. Bank cenderung menunggu situasi stabil sebelum secara agresif memotong bunga pinjaman. Keputusan BI menahan BI Rate memberi sinyal kepada industri perbankan bahwa fase pemangkasan besar kemungkinan memasuki jeda sementara. Artinya, diskon suku bunga ke depan lebih bertahap, bukan drastis.

Di sisi lain, nasabah deposito juga perlu menyesuaikan ekspektasi. Tingkat imbal hasil simpanan rupiah saat ini sudah berada di level yang jauh lebih rendah dibanding periode 2023 ketika suku bunga kebijakan masih di sekitar 6%. Dengan BI Rate bertahan di 4,75%, potensi bunga deposito naik dalam waktu dekat relatif kecil. Investor yang mengandalkan pendapatan pasif dari deposito perlu mulai melirik instrumen lain seperti obligasi pemerintah, reksa dana pendapatan tetap, atau Surat Berharga Negara ritel.

Bagi dunia usaha, terutama sektor yang padat modal seperti properti, manufaktur, dan infrastruktur, stabilnya BI Rate membantu memberikan kepastian biaya pendanaan. Namun, tantangan di lapangan sering kali bukan sekadar level suku bunga, melainkan kemampuan bank menyalurkan kredit dan keberanian pelaku usaha menambah investasi. Dengan permintaan global yang masih lemah dan konsumsi domestik yang belum sepenuhnya pulih, banyak perusahaan memilih menahan ekspansi meski biaya pinjaman lebih murah dibanding beberapa tahun lalu.

Wajib Tahu:

Sejak September 2024 hingga November 2025, Bank Indonesia sudah menurunkan BI Rate sebesar total 150 basis poin sebelum akhirnya menahannya di 4,75%, yang kini menjadi level terendah sejak 2022.


Strategi Investor Menghadapi Suku Bunga Stabil

Di lantai bursa, keputusan mempertahankan BI Rate langsung tercermin pada gerak IHSG dan rupiah. Data perdagangan menunjukkan indeks saham menguat sekitar 0,4% setelah pengumuman suku bunga, sementara rupiah menguat tipis terhadap dolar Amerika. Pasar menilai kebijakan ini sebagai kompromi yang cukup bersahabat: suku bunga tidak naik sehingga tidak menekan valuasi saham dan obligasi, tetapi tetap cukup menarik untuk menjaga aliran modal asing.

Bagi investor obligasi, BI Rate yang stabil di 4,75% berarti yield SBN cenderung bergerak terbatas. Bila BI benar-benar menurunkan suku bunga lagi dalam beberapa bulan ke depan, harga obligasi berpotensi naik sehingga investor yang sudah masuk di level sekarang berpeluang menikmati capital gain. Tidak heran, banyak manajer investasi reksa dana pendapatan tetap mulai kembali meningkatkan porsi surat utang berjangka menengah.

Investor saham juga perlu membaca pesan di balik keputusan ini. Fokus BI bukan hanya menahan BI Rate, tetapi juga memastikan transmisi ke perbankan berjalan. Program insentif likuiditas yang memberi keringanan giro wajib minimum bagi bank yang berkomitmen menurunkan bunga kredit membuat sektor perbankan mendapat sorotan positif. Jika bank lebih agresif menurunkan bunga, sektor properti, konstruksi, dan konsumsi menjadi kandidat utama yang diuntungkan karena akses kredit lebih murah.

Namun, stabilnya suku bunga juga mengandung pesan kehati-hatian. BI jelas tidak ingin rupiah kembali tertekan oleh arus keluar modal. Intervensi di pasar valas dan pembelian Surat Berharga Negara di pasar sekunder terus dilakukan untuk menahan volatilitas nilai tukar. Bagi investor ritel, langkah paling rasional adalah menjaga portofolio tetap terdiversifikasi antara deposito, obligasi, dan saham defensif, sambil memanfaatkan momentum jika BI Rate benar-benar dipangkas lagi.


Risiko Jika BI Terlalu Lama Menahan Suku Bunga

Tetap menahan BI Rate di 4,75% tentu bukan tanpa risiko. Jika perlambatan ekonomi global semakin tajam, permintaan ekspor Indonesia bisa terganggu dan pertumbuhan domestik ikut melambat. Sejumlah lembaga riset internasional menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2025 masih berada di kisaran 4,6–5,4%, yang berarti belum sepenuhnya lepas landas. Di tengah situasi seperti ini, suku bunga yang terlalu tinggi berpotensi mengerem kredit dan investasi, sementara suku bunga yang terlalu rendah bisa memicu tekanan pada rupiah dan arus modal keluar.

Dilema itu yang sedang dihadapi BI. Dari sisi moneter, BI Rate 4,75% dinilai cukup akomodatif karena real interest rate masih positif jika dibandingkan inflasi sekitar 2,8%. Namun, jika bank tidak segera menurunkan bunga kredit, efek pelonggaran tidak akan terasa di sektor riil. BI sudah menyiapkan berbagai insentif agar perbankan mau memotong bunga, tetapi pada akhirnya keputusan tetap berada di tangan manajemen masing-masing bank yang harus mempertimbangkan risiko kredit macet dan kebutuhan modal.

Bagi pemerintah, menjaga keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan menjadi krusial. Target pertumbuhan yang ambisius di era pemerintahan sekarang membutuhkan dukungan pembiayaan murah untuk proyek infrastruktur, ketahanan pangan, dan hilirisasi industri. Jika BI Rate dibiarkan bertahan terlalu lama tanpa ada dorongan nyata ke bawah, pemerintah mungkin harus semakin mengandalkan stimulus fiskal agar mesin ekonomi tidak kehilangan tenaga.

Pada akhirnya, keputusan mempertahankan BI Rate di 4,75% bisa dibaca sebagai strategi menahan napas sejenak. BI ingin memastikan pelonggaran yang sudah dilakukan benar-benar mengalir ke sektor riil, sambil menjaga rupiah dan pasar keuangan tetap stabil di tengah badai global. Bagi pelaku usaha, rumah tangga, dan investor, inilah saat yang tepat untuk mengevaluasi ulang strategi keuangan: menata ulang portofolio, meninjau kembali rencana ekspansi, dan tidak terburu-buru mengambil keputusan hanya berdasarkan satu kali pengumuman suku bunga.

Sumber: Bank Indonesia

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img