26.7 C
Jakarta
Thursday, November 20, 2025
HomeNasionalBlunder Cucun Ahmad Syamsurijal Soal Ahli Gizi: Mengguncang MBG dan Profesi Gizi

Blunder Cucun Ahmad Syamsurijal Soal Ahli Gizi: Mengguncang MBG dan Profesi Gizi

Date:

Related stories

Indonesia Berduka: Rugaiya Usman Wafat

Lintas Fokus - Kabar duka datang pada Minggu, 16...

Luwu Timur Ikut Riuh: Rp20 Ribu, Guru Dipecat, Lalu Diselamatkan Prabowo

Lintas Fokus - Gelombang percakapan di Luwu Timur memuncak...

Tragedi Yang Berbuah Hormat: Marsinah Akhirnya Diakui Pahlawan Nasional

Lintas Fokus - Pada peringatan Hari Pahlawan 10 November...
spot_imgspot_img

Lintas Fokus Nama Cucun Ahmad Syamsurijal tiba-tiba menjadi pusat perhatian publik setelah video dirinya di sebuah forum resmi beredar luas di media sosial. Dalam rekaman itu, Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi PKB yang mewakili daerah pemilihan Jawa Barat II tersebut berbicara mengenai pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Panggung pernyataan itu adalah rapat konsolidasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) MBG se-Kabupaten Bandung. Acara ini awalnya dimaksudkan untuk mematangkan teknis dapur dan pengawasan gizi di lapangan. Dalam forum tersebut, seorang ahli gizi menyampaikan masukan agar Badan Gizi Nasional (BGN) merangkul Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) demi memastikan standar gizi di setiap SPPG betul-betul dijaga tenaga profesional.

Respons Cucun Ahmad Syamsurijal jauh dari sejuk. Di hadapan para peserta, ia menolak usulan tersebut dan menegaskan bahwa menurutnya program MBG tidak harus bergantung pada tenaga ahli gizi. Dalam video yang viral, ia bahkan terekam mengucapkan kalimat yang menjadi sumber kemarahan banyak pihak, termasuk potongan ucapan “tidak perlu ahli gizi, tidak perlu Persagi” yang kemudian dikutip luas oleh berbagai media.

Yang membuat situasi makin panas, Cucun Ahmad Syamsurijal tidak berhenti pada penolakan. Ia menyebut akan mendorong perubahan diksi resmi dalam struktur program MBG, dari “ahli gizi” menjadi sekadar “tenaga yang menangani gizi”. Dalam pemberitaan, ia juga disebut mengusulkan agar lulusan SMA yang cakap dapat dilatih selama kurang lebih tiga bulan untuk mengisi peran pengawas gizi di dapur MBG.

Narasi ini segera terbaca publik sebagai upaya “menurunkan derajat” profesi gizi demi menambal kekurangan tenaga di lapangan dengan cara yang dianggap instan. Kombinasi statusnya sebagai Wakil Ketua DPR RI, posisi strategis program MBG sebagai janji politik nasional, dan pilihan kata yang tajam membuat pernyataan Cucun Ahmad Syamsurijal terasa seperti blunder besar yang menyentuh tiga isu sekaligus: tata kelola program, etika kebijakan publik, dan penghargaan terhadap profesi kesehatan.

Gelombang Kritik ke Cucun Ahmad Syamsurijal dari Ahli Gizi dan Publik

Tak butuh waktu lama, video ucapan Cucun Ahmad Syamsurijal tersebut menyulut kemarahan di berbagai kanal digital. Laporan media mencatat bagaimana kolom komentar akun Instagram resminya dibanjiri kritik, protes, hingga kecaman dari warganet yang menilai ucapannya arogan dan merendahkan profesi ahli gizi.

Di lapangan, organisasi dan komunitas tenaga gizi merespons lebih substantif. Perwakilan Persagi Cirebon menilai nalar kebijakan yang memandang pengawasan gizi bisa digantikan oleh tenaga lulusan SMA dengan pelatihan singkat tidak sejalan dengan kompleksitas pekerjaan ahli gizi. Mereka mengingatkan bahwa pengelolaan gizi bukan sekadar menyajikan makanan, tetapi mencakup perhitungan kebutuhan nutrisi, keamanan pangan, dan pemantauan status gizi anak yang jika keliru bisa berdampak jangka panjang.

Sorotan tajam juga datang dari praktisi di tingkat nasional. Dalam wawancara dengan media, sejumlah ahli gizi menekankan bahwa profesi mereka tidak bisa dipersempit menjadi urusan “masak dan bagi makanan”. Mereka menegaskan bahwa di balik satu porsi makan bergizi untuk anak sekolah, ada standar ilmiah, prosedur pengawasan, serta tanggung jawab etik yang tidak dapat digantikan begitu saja oleh tenaga nonprofesional, betapapun niat baik yang dimiliki.

Di sisi lain, publik yang mengikuti perkembangan Program Makan Bergizi Gratis turut mempertanyakan konsistensi pemerintah. Di satu sisi, negara menjanjikan program berskala nasional yang menyentuh jutaan anak. Di sisi lain, ada wakil rakyat penting seperti Cucun Ahmad Syamsurijal yang di mata banyak orang seolah meremehkan peran ilmiah yang justru menjadi fondasi kualitas program tersebut. Beredar pula kekhawatiran bahwa jika pernyataan seperti ini dibiarkan, standar pengawasan gizi di lapangan bisa longgar dan membuka ruang bagi praktik asal jadi, sekadar untuk mengejar target distribusi.

Gelombang kritik ini membuat posisi politik Cucun Ahmad Syamsurijal semakin rumit. Ia bukan hanya menghadapi amarah profesi ahli gizi, tetapi juga sorotan publik yang menilai sikap dan cara bicaranya tidak mencerminkan sensitivitas seorang pimpinan lembaga legislatif yang seharusnya menjaga martabat semua profesi yang bekerja untuk kepentingan publik.

Wajib Tahu:

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu program prioritas nasional yang dijalankan lewat dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di berbagai daerah, dengan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pengampu kebijakan. Kekurangan tenaga ahli gizi memang diakui, tetapi para pakar menegaskan solusi tidak bisa sekadar mengganti peran profesional dengan pelatihan singkat tanpa pengawasan ketat.

Respons Politik, Klarifikasi, dan Ujian Kepercayaan Publik

Setelah tekanan opini menguat sepanjang hari, Cucun Ahmad Syamsurijal akhirnya memilih merespons. Melalui akun Instagram dan pernyataan yang dikutip sejumlah media, ia menyampaikan permohonan maaf apabila dinamika pembahasan dalam rapat internal SPPG di Bandung tersebut dianggap menyinggung profesi ahli gizi.

Dalam klarifikasinya, Cucun Ahmad Syamsurijal mencoba memberi konteks bahwa perdebatan sebenarnya berkisar pada masalah nomenklatur dan pengisian tenaga lapangan, bukan niat menghapus peran ahli gizi sepenuhnya. Ia menyebut, ada usulan agar istilah “ahli gizi” dihapus dari struktur program, yang menurutnya justru berpotensi membuka pintu bagi pihak yang bukan ahli gizi tapi turut memakai label tersebut. Karena itu, ia mengklaim diskusi yang terjadi sebenarnya bertujuan menjaga kejelasan batas profesi, bukan menghina.

Namun, narasi yang dibangun di klarifikasi ini tidak serta merta menghentikan kritik. Banyak pihak menggarisbawahi bahwa apa pun konteksnya, pilihan kata dan cara menyampaikan pesan di forum publik tetap menjadi tanggung jawab seorang pejabat tinggi negara. Saat Cucun Ahmad Syamsurijal menegaskan akan “menyelesaikan di DPR” dan membicarakan pelatihan tiga bulan bagi lulusan SMA untuk mengawasi gizi, warganet melihat adanya reduksi serius terhadap profesionalisme tenaga kesehatan.

Di tengah polemik, Cucun Ahmad Syamsurijal juga mendorong agar semua elemen masyarakat ikut mengawasi pelaksanaan program MBG supaya tidak ada permainan dalam pengadaan dan distribusi makanan bergizi. Dalam kesempatan lain, ia menyebut minimnya ahli gizi di lapangan sebagai salah satu akar persoalan dan mendorong adanya skema pelatihan bagi tenaga nonprofesional agar dapur SPPG tetap berjalan.

Pertanyaannya, apakah publik akan menerima narasi bahwa pernyataannya hanya salah paham konteks, atau menganggap ini sebagai sinyal cara berpikir yang bermasalah tentang profesi gizi dan standar layanan kesehatan publik. Di sinilah kepercayaan publik terhadap Cucun Ahmad Syamsurijal dan terhadap keseriusan negara menjaga mutu program MBG benar-benar diuji.

MBG, Standar Layanan Gizi, dan Dampak Kebijakan ke Daerah

Kontroversi ini sesungguhnya menyentuh inti persoalan yang lebih besar: bagaimana negara menyeimbangkan ambisi program besar seperti MBG dengan ketersediaan tenaga ahli di lapangan. Data dan laporan dari berbagai daerah menunjukkan bahwa jumlah ahli gizi memang belum memadai untuk mengawal dapur SPPG di seluruh Indonesia. Di tengah kekurangan inilah muncul ide-ide “pemadatan” syarat kompetensi, termasuk gagasan pelatihan singkat untuk lulusan SMA yang sempat disinggung Cucun Ahmad Syamsurijal.

Di atas kertas, memperluas basis tenaga pengawas gizi terdengar pragmatis. Tetapi para pakar mengingatkan bahwa gizi bukan hanya soal memastikan piring terisi lauk dan sayur. Ahli gizi memegang peran mulai dari perencanaan menu sesuai kebutuhan usia, pemantauan risiko alergi dan penyakit penyerta, hingga pengawasan keamanan bahan baku. Kesalahan pengelolaan di satu titik saja bisa berujung keracunan massal atau masalah gizi jangka panjang pada anak yang menjadi sasaran program MBG.

Bagi pemerintah daerah, polemik Cucun Ahmad Syamsurijal menjadi alarm keras. Mereka dipaksa melihat ulang apakah penyusunan anggaran, pola rekrutmen, dan kerja sama dengan organisasi profesi sudah memadai untuk menopang program skala nasional seperti MBG. Di beberapa daerah, koordinasi antara BGN, dinas kesehatan, dan sekolah masih belum sejalan, sehingga program rawan dipersempit hanya menjadi kegiatan bagi makanan tanpa evaluasi gizi yang ketat.

Di sisi lain, organisasi profesi seperti Persagi dan komunitas ahli gizi mendapatkan momentum untuk memperkuat posisi tawar. Reaksi keras mereka terhadap pernyataan Cucun Ahmad Syamsurijal menunjukkan bahwa profesi ini tidak lagi siap menerima kebijakan yang mengabaikan standar keilmuan. Mereka menuntut agar keterlibatan ahli gizi dalam MBG ditegaskan secara eksplisit dalam regulasi, bukan sekadar disebut “tenaga yang menangani gizi”.

Bagi orang tua murid dan masyarakat luas, kisruh ini menjadi pengingat bahwa program makan gratis dari negara harus diikuti dengan jaminan kualitas, bukan hanya soal kuantitas. Warga berhak meminta transparansi: siapa yang menyusun menu, siapa yang mengawasi proses produksi, dan bagaimana pemerintah memastikan tidak ada kompromi terhadap standar gizi. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kini menggantung di udara setelah pernyataan Cucun Ahmad Syamsurijal terbongkar ke publik.

Pada akhirnya, kasus ini lebih dari sekadar kontroversi lisan seorang pejabat. Ini adalah cermin bagaimana kebijakan publik bisa tergelincir ketika sensitivitas terhadap profesi, sains, dan keselamatan masyarakat tidak ditempatkan di garis depan. Apakah Cucun Ahmad Syamsurijal dan para pengambil kebijakan lain akan menjadikan kritik ini sebagai titik balik untuk memperkuat peran ahli gizi dalam MBG, atau sekadar menunggu badai opini mereda tanpa perubahan berarti, akan sangat menentukan masa depan program makan bergizi anak sekolah di Indonesia.

Sumber: Suara

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img