Lintas Fokus – Popularitas Olahraga Padel di Jakarta melejit dalam dua tahun terakhir—lapangan kaca bermunculan di atap mal, gudang disulap jadi arena biru, dan influencer memamerkan backhand smash di Instagram. Namun, euforia itu mendadak berhadapan dengan tembok regulasi: mulai 20 Maret 2025, Peraturan Kepala Bapenda DKI Jakarta No. 257/2025 menetapkan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) 10% untuk setiap transaksi sewa lapangan padel. Langkah pemerintah dianggap perlu demi “kesetaraan hiburan”, tetapi pelaku industri menilai kebijakan ini berpotensi membalik meja pertumbuhan yang baru saja hangat.
Pajak Baru menghantam Struktur Tarif Olahraga Padel
Aturan pajak hiburan 10% mewajibkan klub memungut levy di atas harga sewa lapangan, tarif listrik, serta jasa instruktur. Sebelum aturan, prime time di sebuah klub premium SCBD dipatok Rp 280.000 per jam; setelah PPN 11% dan PBJT 10% diterapkan, tagihan kasirnya melompat ke Rp 363.000—kenaikan 30% total, karena levy dikenakan juga pada komponen pajak sebelumnya. Pengelola merapalkan matematika baru: agar marjin terjaga, okupansi minimal naik dari 60% menjadi 70%.
Dalam konferensi pers, Bapenda DKI menegaskan padel tergolong “rekreasi dan hiburan” sebagaimana bowling atau biliar. Mereka mengutip Perda 1/2024 sebagai landasan hukum. Komunitas membalas: padel lebih dekat ke tenis—sebuah cabang olahraga, bukan wahana berbayar sekali cicip. Perdebatan definisi ini menohok, sebab opsi banding tinggal menunggu uji materi di Mahkamah Agung.
Dampak Finansial: Dari ROI Investor hingga Saku Pemain
Model bisnis lapangan Olahraga Padel menyerap modal sekitar Rp 1,8 miliar per court—komponen terbesar: rangka baja, panel kaca tempered 12 mm, rumput sintetis, dan lampu LED IP66. Sebelum pajak, break-even diproyeksi 30 bulan dengan tarif rata-rata Rp 250.000 per jam (okupansi 65%). Sesudah pajak, studi Asosiasi Padel Indonesia (API) memperkirakan payback period mundur ke 42 bulan.
Investor merespons dengan tiga skenario:
-
Tahan Ekspansi – Proyek 4 court di Pantai Indah Kapuk ditunda menunggu revisi insentif.
-
Bundling Membership – Klub menawarkan paket 50 sesi di muka dengan diskon 20%, sehingga levy terserap sekali jalan dan tarif per jam turun kembali di bawah Rp 300.000.
-
Crowd-ownership – Startup court-sharing “PadelCoop” menjual lot 5% kepemilikan kepada community member; dividen berupa kredit bermain bebas pajak hingga regulasi diperjelas.
Di sisi pemain, elastisitas permintaan tinggi. Survei 600 responden komunitas “Padel Jakarta United” menunjukkan 44% berniat mengurangi frekuensi main bulanan; 17% menyatakan mungkin pindah ke tenis atau badminton. Jika niat terwujud, pendapatan operator bisa terkoreksi 10–15% di kuartal ketiga.
(Sebaris senyap menghiasi kubah lapangan; gema bola padel memantul tanpa penonton.)
Jurus Bertahan Klub & Peluang Regulasi Olahraga Padel
Agar tidak gulung tikar, klub menyusun strategi multi-lapis:
-
Slot Early Bird – Tarif diskon 40% sebelum pukul 10:00; levy nominal lebih kecil, menarik pekerja fleksibel.
-
Event Corporate – Perusahaan rela membayar lebih demi kegiatan team-building; levy ditransfer ke bujet HRD, bukan dompet pemain.
-
Sekolah Padel Junior – Mengalokasikan 30% prime time untuk usia < 15 tahun. Draf revisi Perda menyebut kegiatan pembinaan bisa dikenai PBJT 5%, bukan 10%.
Di tingkat kebijakan, API menggandeng KONI DKI untuk mengusulkan padel sebagai cabang demonstrasi PON 2028. Argumentasinya: jika olahraga diakui lembaga resmi, klasifikasi “hiburan” dapat dicabut atau diperkecil. DPRD menanggapi dengan membentuk Panja Pajak Rekreasi—syaratnya, industri menyodorkan data konkret potensi hilangnya omzet UMKM sekitar lapangan (warung, penyewaan peralatan).
Simulasi Biaya & Jalan Tengah untuk Olahraga Padel
Mari hitung dampak pajak secara sederhana:
Pos Biaya | Nilai Sebelum | Nilai Sesudah | Catatan |
---|---|---|---|
Sewa Lapangan | Rp 300.000 | Rp 300.000 | Tarif dasar |
PPN 11% | Rp 33.000 | Rp 33.000 | Tak berubah |
PBJT 10% | – | Rp 30.000 | Levy baru |
Total | Rp 333 000 | Rp 363.000 | +9% |
Kenaikan 9% di kasir berubah signifikan saat diakumulasi. Dalam 200 jam sewa bulanan, pendapatan kotor naik Rp 6 juta, tapi levy itu langsung masuk kas daerah; klub tak ikut menikmatinya.
Jalan tengah yang kini gencar dibahas adalah credit-back voucher: Pemprov memberi potongan pajak 5% apabila klub menunjukkan laporan paket anak-anak > 25% jadwal. Model ini mirip tax credit untuk bioskop yang memutar film nasional. Selain meredam gejolak, kebijakan mendekatkan padel ke akar “olahraga sosial”.
Kisruh tarif baru menunjukkan betapa rapuhnya ekosistem Olahraga Padel yang masih muda di Indonesia. Pemerintah mengejar pendapatan daerah; klub mengejar pengembalian investasi; pemain mengejar kebugaran dan pergaulan. Tanpa kompromi fiskal yang adil, lapangan kaca itu bisa berubah jadi monumen mahal—sunyi, terkunci, dan berdebu. Ke depan, penentu nasib padel bukan lagi tren viral, tetapi negosiasi angka: berapa persen pajak membuat olahraga tetap hidup?
Sumber: Minum Kopi