Lintas Fokus – Bayangkan suatu pagi beberapa tahun ke depan, Anda memesan kopi dan melihat struk bertuliskan harga Rp 10, bukan Rp 10.000. Bukan karena promo besar-besaran, tetapi karena nominal rupiah sudah disederhanakan lewat kebijakan Redenominasi Rupiah. Bagi sebagian orang, skenario ini terdengar menarik, bagi yang lain justru memunculkan pertanyaan: apakah uang saya berkurang nilainya, atau hanya angka nol yang hilang di kertas dan layar?
Pertanyaan seperti itu kini mulai ramai lagi di lini masa setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang baru menjabat sejak September 2025 di kabinet Presiden Prabowo Subianto, secara terbuka mendorong percepatan rencana redenominasi. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025-2029, pemerintah memasukkan penyusunan RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) sebagai salah satu proyek besar yang ditargetkan tuntas pada 2027.
Di level global, rencana ini juga sudah terpantau media internasional. Reuters melaporkan bahwa Kementerian Keuangan menyiapkan RUU baru untuk redenominasi sebagai upaya meningkatkan efisiensi ekonomi, menjaga stabilitas, dan memperkuat kredibilitas rupiah. RUU ini disebut sebagai kelanjutan rancangan lama yang pernah diajukan pada 2013, saat pemerintah mengusulkan penghilangan tiga angka nol, meski pembahasan waktu itu kemudian berhenti di tengah jalan.
Berbeda dengan wacana yang dulu hanya sesekali muncul, kali ini arahnya jauh lebih konkret. Media seperti Detik, CNBC Indonesia, CNN Indonesia, dan MetroTV merangkum satu pesan besar: pemerintah serius menyiapkan kerangka hukum agar, jika seluruh proses politik berjalan mulus, skema penyederhanaan nominal yang kerap dicontohkan sebagai perubahan Rp 1.000 menjadi Rp 1 bisa dimulai sekitar 2027.
Di tengah hiruk pikuk informasi itu, nama Redenominasi Rupiah pun kembali menjadi kata kunci yang memancing rasa ingin tahu sekaligus kecemasan. Apalagi, di media sosial berseliweran narasi lama yang menyamakan redenominasi dengan pemotongan nilai uang seperti pada masa sanering di era Sukarno. Padahal, para ekonom dan otoritas moneter berulang kali menegaskan bahwa keduanya adalah kebijakan yang sama sekali berbeda.
RUU Perubahan Harga Rupiah dan Target 2027
Jika ditarik ke jalur formal, fondasi hukum rencana Redenominasi Rupiah saat ini bertumpu pada dua hal. Pertama, PMK 70/2025 yang secara eksplisit menyebut RUU tentang Perubahan Harga Rupiah sebagai “RUU luncuran” yang disiapkan Kementerian Keuangan dan ditargetkan selesai penggodokannya pada 2027. Kedua, keputusan DPR tentang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029 yang memasukkan RUU ini dalam daftar RUU usulan pemerintah, tercatat sebagai salah satu nomor prioritas di lampiran keputusan Baleg.
Artinya, secara politik, pemerintah dan DPR sudah sepakat bahwa pembahasan payung hukum untuk penyederhanaan nominal rupiah layak masuk daftar pekerjaan resmi. Ini berbeda dengan beberapa tahun lalu ketika wacana redenominasi lebih sering berhenti pada level diskusi di Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan tanpa kejelasan jadwal legislasi.
Menteri Keuangan Purbaya, dalam berbagai pemberitaan, menegaskan bahwa RUU ini akan dikoordinasikan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagai penanggung jawab utama. Targetnya bukan hanya menyelesaikan draf RUU, tetapi juga menyiapkan kerangka transisi yang rapih, mulai dari desain uang, masa peredaran bersama rupiah lama dan baru, hingga aturan penulisan harga di struk, label, dan sistem akuntansi.
Meski begitu, publik tidak bisa berharap perubahan terjadi dalam semalam. Pengalaman negara lain menunjukkan, redenominasi yang sukses biasanya melalui masa transisi beberapa tahun, ketika harga ditulis ganda, misalnya “Rp 10 (setara Rp 10.000 lama)”, untuk mencegah kebingungan dan peluang permainan harga. Studi-studi mengenai rencana redenominasi yang pernah disusun lembaga riset DPR dan akademisi juga menyarankan adanya fase sosialisasi panjang sebelum kebijakan ini diterapkan penuh.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi baru-baru ini menegaskan posisi penting DPR dan pemerintah dalam hal ini. MK menolak gugatan warga yang meminta pengadilan “memaksa” negara segera mengubah Rp 1.000 menjadi Rp 1. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa kebijakan redenominasi adalah kebijakan fundamental di ranah pembentuk undang-undang, bukan sesuatu yang bisa diperintahkan melalui pengujian UU Mata Uang.
Pesan tersiratnya jelas: kalau Anda ingin tahu kapan tepatnya Redenominasi Rupiah berlaku, jawabannya akan banyak ditentukan oleh dinamika politik di Senayan dan kesiapan pemerintah mengeksekusi detail teknis yang sangat kompleks.
Redenominasi Rupiah, Bukan Sanering yang Menakutkan
Di tengah derasnya headline, banyak orang masih menyamakan Redenominasi Rupiah dengan sanering, padahal secara konsep keduanya sangat berbeda. Penjelasan Bank Indonesia yang dikutip berbagai media menyebut redenominasi sebagai penyederhanaan dan penyetaraan nilai mata uang: beberapa angka nol di nominal dihapus, tetapi daya beli terhadap barang dan jasa tetap sama.
Contoh yang paling sering digunakan pemerintah dan media adalah ilustrasi penghapusan tiga angka nol. Dalam skenario ini, Rp 1.000 menjadi Rp 1, Rp 10.000 menjadi Rp 10, dan Rp 100.000 menjadi Rp 100. Harga nasi goreng Rp 20.000 akan ditulis sebagai Rp 20, tetapi gaji, tabungan, dan tagihan listrik Anda juga ikut “dipindah koma” dalam skala yang sama, sehingga tidak ada perubahan pada kemampuan belanja riil.
Sanering justru kebalikannya. Pada pemotongan nilai uang era 1960-an, pemerintah bukan hanya mencoret nol di atas kertas, tetapi juga menurunkan nilai uang terhadap barang sehingga daya beli masyarakat jatuh. Sejumlah kajian sejarah moneter menyebut kebijakan penggantian rupiah lama menjadi rupiah baru 1 banding 1.000 pada 1965 sebagai kombinasi redenominasi dan sanering di tengah hiperinflasi yang sangat tinggi.
Modern ini, konsep Redenominasi Rupiah yang diwacanakan pemerintah menekankan bahwa daya beli masyarakat tidak boleh dikorbankan. Tujuannya antara lain:
Menyederhanakan transaksi dan pencatatan akuntansi yang selama ini dipenuhi deretan nol, terutama di sistem perbankan dan pembayaran digital.
Membuat sistem IT keuangan dan pasar modal lebih efisien karena angka di layar dan server lebih ringkas.
Meningkatkan citra rupiah di mata pelaku pasar internasional, yang selama ini melihat rupiah berada di barisan mata uang bernominal besar.
Pemerintah juga berkepentingan mengurangi kebingungan publik akibat maraknya hoaks. Tahun lalu, sempat beredar video yang mengklaim Bank Indonesia sudah mengeluarkan uang baru hasil redenominasi. Klarifikasi resmi dari pemerintah menyatakan informasi itu tidak benar, dan menegaskan bahwa setiap perubahan besar pada rupiah hanya bisa terjadi setelah ada UU, keputusan pemerintah, dan pengumuman resmi yang masif.
Wajib Tahu:
Indonesia sebenarnya pernah menyederhanakan rupiah dengan rasio 1 rupiah baru setara 1.000 rupiah lama pada 1965, tetapi langkah itu dilakukan dalam situasi hiperinflasi dan sering dikategorikan sebagai bagian dari paket sanering, bukan redenominasi modern yang dirancang di era ekonomi stabil.
Risiko, Manfaat, dan Apa yang Perlu Disiapkan Publik
Di atas kertas, Redenominasi Rupiah tampak sebagai resep manis: transaksi lebih praktis, laporan keuangan lebih rapi, citra rupiah naik kelas. Namun, berbagai kajian dan pengalaman negara lain mengingatkan bahwa ada risiko yang tidak boleh diremehkan.
Yang paling sering disebut ekonom adalah potensi kenaikan harga akibat pembulatan. Dalam situasi normal, seharusnya harga Rp 5.800 lama akan menjadi Rp 5,8 rupiah baru. Namun di lapangan, ada kekhawatiran pelaku usaha memilih membulatkan ke angka Rp 6 demi kemudahan, yang jika terjadi secara masif bisa memicu kenaikan harga diam-diam.
Risiko lain adalah kebingungan kelompok masyarakat yang akses informasinya terbatas, seperti warga lanjut usia atau mereka yang tidak terbiasa dengan sistem perbankan. Tanpa edukasi yang jelas, tidak mustahil muncul kepanikan, misalnya mengira tabungan di bank “dipotong” dan bukan hanya diubah cara penulisannya. Karena itu, banyak analis mengingatkan bahwa keberhasilan Redenominasi Rupiah sangat bergantung pada kualitas komunikasi publik pemerintah dan Bank Indonesia, bukan hanya pada desain kebijakan di atas kertas.
Dari sisi makro, sejumlah pengamat yang dikutip media seperti Tempo menilai bahwa redenominasi bukan prioritas mendesak jika ekonomi masih bergulat dengan tantangan struktural lain. Namun di sisi lain, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia melihat momentum saat ini sebagai kesempatan untuk mulai menata kerangka hukum, agar ketika indikator stabilitas makro dan inflasi makin terkendali, pelaksanaannya tidak perlu dimulai dari nol lagi.
Bagi masyarakat umum, ada beberapa hal praktis yang bisa mulai dipahami sejak sekarang:
Nilai riil tidak berubah
Jika gaji Anda Rp 5.000.000 dan diterapkan pemangkasan tiga nol, nominalnya akan menjadi Rp 5.000 rupiah baru, sementara harga barang juga ikut disesuaikan.Akan ada masa harga ganda
Dalam banyak skenario, beberapa tahun pertama harga akan ditulis dalam dua format untuk memastikan tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan memberi waktu adaptasi bagi pelaku usaha dan konsumen.Peran digital semakin penting
Negara-negara yang sukses melakukan redenominasi umumnya sudah memiliki porsi transaksi non tunai yang tinggi. Indonesia masih menghadapi tantangan peredaran uang tunai yang besar, sehingga edukasi lewat perbankan digital dan dompet elektronik akan sangat krusial.Hoaks pasti bermunculan
Pengalaman cek fakta menunjukkan, setiap isu mengenai uang baru atau perubahan rupiah sangat mudah dipelintir oleh konten menyesatkan. Sumber resmi seperti situs Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan pengumuman pemerintah perlu dijadikan rujukan utama sebelum mengambil keputusan keuangan penting.
Pada akhirnya, apakah Redenominasi Rupiah akan menjadi “power move” yang membuat rupiah terlihat lebih gagah di mata dunia, atau justru memunculkan kekacauan harga karena komunikasi buruk, akan sangat ditentukan oleh cara pemerintah mengeksekusi rencana ini beberapa tahun ke depan. Yang jelas, sinyal dari dokumen resmi, pernyataan Menkeu Purbaya, dan masuknya RUU Perubahan Harga Rupiah ke Prolegnas menunjukkan bahwa wacana redenominasi kali ini bukan sekadar isu musiman, melainkan agenda kebijakan yang benar-benar sedang digarap serius.
Sumber: Reuters




